Penolakan

1K 134 10
                                    

Kegiatan yang keluar dari agenda, seharusnya Jimin mendatangi kursus Kimia sepulang sekolah. Tetapi karena Taehyung mengatakan ingin berlatih taekwondo di rumahnya, Jimin mengatakan pada sang ayah jika ia akan belajar dengan Taehyung.

Mungkin memang nasib baik, Tuan Park dengan mudah memberikan persetujuannya.

Dua remaja dengan kegiatan yang berbeda itu nampak sibuk dengan apa yang mereka lakukan. Jimin yang masih berkutik dengan bukunya dan Taehyung dengan samsak yang baru saja ia gantung.

"Tak ingin mencoba beberapa pukulan?" Taehyung mendudukkan tubuhnya di samping Jimin sembari mengusap keringat yang mengalir di lehernya.

"Tidak, masih banyak yang harus ku selesaikan." Jimin menjawab ringan tanpa menatap Taehyung.

"Baiklah, bagaimana jika akhir pekan kau pergi ke rumahku?" Taehyung berujar seraya meraih gelas jus yang disiapkan oleh salah satu maid.

"Ah... ini sangat menyenangkan." Taehyung meregangkan tubuhnya dan berjalan mendekati samsaknya. Sampai seorang pria yang nampak mendekat membuat Taehyung terhenti.

"Selamat siang Paman." Dengan senyuman ramah khas Kim Taehyung, remaja itu membungkuk singkat menyambut kedatangan Tuan Park.

"Sudah kuduga, Jimin tak akan membeli samsak dan semua benda ini tanpa alasan." Tuan Park menepuk bahu Taehyung dengan senyum tipis, hanya saja netranya tetap tertuju ke pada sang putra yang berada di meja kecilnya dengan tumpukan buku.

"Apakah sudah selesai?" Jimin mengangkat kepala menatap sang ayah, menggeleng singat dengan menggigit bibir bawahnya.

"Lanjutkan saja, jika sudah selesai katakan pada appa."

"Ne." Singat dan suara yang begitu lirih dari seorang Park Jimin.

Berbeda dengan Taehyung yang sering menggunakan nada tinggi ketika bicara dengan ayahnya, Jimin lebih memilih menjawab seadanya dan dengan volume pelan.

"Taehyung-ah, kapan saja jika kau ingin berlatih datang saja kemari. Aku mengerti dengan sikap tempramental ayahmu."Senyuman Tuan Park yang terasa sangat menyakitkan bagi Jimin. Bagaimana bisa ia lebih peduli pada Taehyung dibanding dengan putranya sendiri, bukan maksud Jimin merasa cemuru tetapi kenyataannya memang seperti itu.

Tuan Park beranjak, meninggalkan sekantung kue dan juga soda. Taehyung yang memnag doyan makan segera melahab habis semua bagiannya. Mungkin Jimin tidak lapar atau ia memang tak napsu makan. Remaja itu hanya diam menatap kaleng sodanya.

"Jim, apakah kau akan membicarakan tentang tawaran Kim Saem pada ayahmu? kursa itu akan bagus jika kau ikut kelompok belajar." Taehyng mengusap sudut bibirnya sembari menarik buku dari tangan Jimin guna menarik perhatian remaja itu.

"Mengapa bisa seperti itu?" Jimin sendiri tak yakin dengan kelompok belajar, daan sekarang Taehyung berusaha membujuknya untuk bergabung.

"Dengan ikut kelompok belajar kau dapat bersosialisai dengan siswa lainnya, dan mungkin paman akan mengurangi waktu kursusmu, bukankah itu hal baik?" Jimin kembali  terdiam, berusaha memikirkan hal itu, tetapi tetap saja. Apakah ayahnya akan mengijinkan?

"Entahlah Tae, sebaiknya kau pulang sekarang sebentar lagi Namjoon hyung akan datang." Jimin bangkit dan mengemasi bukunya, banyak hal yang harus ia pikirkan saat ini. Tidak hanya tentang kelompok belajar, tetapi juga tes masuk perguruan tinggi.

"Aku akan menginap malam ini, kau tak bisa mengusirku." Jimin tak lagi mendengarkan Taehyung, remaja Park itu sudah cukup jauh untuk bisa mendengar suara Taehyung.

Mungkin hari ini akan menjadi hari yang panjang, banyak hal terjadi dan itu membuat Jimin merasa tidak nyaman.

***

Memang benar - benar terjadi, hal yang Jimin khawatikan akhirnya terjadi. Sang ayah dengan wajah tegasnya berjalan di sepanjang lorong sembari menarik lengan Jimin yang mulai kemerahan.

"Bisa saya bertemu dengan wali kelas?" Suara lantang Tuan Park mengisi rung guru yang terbilang ramai, ada beberapa siswa dan guru yang sedang berbincang. Namun semua menjadi hening saat suara Tuan Park terdengar.

"Tuan Park, mari  masuk." Wakil kepala sekolah berjalan mendekat, pria paruh baya itu menatap Jimin yang berdiri dibelakang sang ayah dengan kepala tertunduk.

"Saya tak ada waktu untuk itu, dimana wali kelas Jimin?" Tuan Park memang cukup terkenal di sekolah, ia merupakan investor terbesar dan Jiminpun adalah siswa berprestasi.

"Saya... wali kelas Jimin." Seokjin mendekat deraya merapikan kemeja abu-abunya.

"Bisa kita bicara sebentar Saem?"

.

.

Suasana sangat tegang, Jimin hanya duduk sembari memilin ujung jas almamaternya. Semalaman Jimin menjadi sasaran kemarahan sang ayah, bahkan Tuan Park meminta Taehyung untuk pulang, awalnya Taehyung menolak tetapi ia tau jika hal itu akan semakin mempersulit Jimin.

"Apa maksud anda mengadakan kelompok belajar?" Tuan Park mengawali pembicaraan, tatapannya tak beralih sedikitpun dari Seokjin yang duduk dihadapannya.

"Begini Tuan, saya berpikir akan lebih mudah untuk para siswa jika mereka belajar bersama. Mereka dapat saling membantu satu sama lain." Dengan tenang, Seokjin berusaha menjelaskan. Ia berusaha tidak gugup ataupun terlihat takut.

"Jadi apakah anda pikir Jimin kurang dalam memahami pelajaran?"

"Ti... tidak, bukan itu maksud saya. Jimin termasuk siswa berprestasi, jadi saya pikir Jimin dapat membantu siswa lainnya mengejar ketertinggalan. Akan lebih mudah memahami suatu materi jika belajar bersama." Tatapan Tuan Park semakin mengintimidasi, keringat bahkan mulai mengair di pelipis Seokjin.

"Bukankah itu sudah tugas anda menjadi seorang guru untuk mengajar para siswa? lalu mengapa membuat siswa yang lain harus mengajari para siswa bodoh itu?" Ucapan Tuan Park yang tak pantas membuat Seokjin meninggikan nada bicaranya.

"Mereka tidak bodoh! Saya hanya...."

"Anda meminta Jimin memberikan bimbingan belajar pada mereka? Itu benar-benar keterlaluan. Apakah anda tau berapa biaya ynag saya keluarkan untuk semua kursus yang Jimin lakukan, dan sekarang anda meminta Jimin untuk membagi hal yang ia dapat secara percuma."

"Tuan bukan seperti itu." Seokjin berusaha melanjutkan ucapanya, tetapi Tuan Park selal memotongnya.

"Jadi bukan seperti itu? Kalau begitu saya tidak mengijinkan Jimin untuk bergabung di kelompok itu. Jimin dapat mendapat nilai tinggi karena usahanya sendiri dan bukan karena teman-temannya itu. Jadi katakan pada siswamu yang lain untuk berusaha, jangan hanya bisa mengandalkan orang lain."

"Apakah anda pantas disebut guru? bahkan kau tak dapat mendidik siswa dengan baik. Jika bukan karena kode etik sekolah, ku pastikan anda akan menyesal." Tuan Park menarik pergelangan tangan Jimin, ia berniat pergi dari rungan itu segera.

"Tuan, semua siswa mendapatkan hak yang sama di sekolah. Hanya saja tidak semua siswa dapat bersosialisasi dengan mudah. Kelompok belajar bukan hanya bertukar ilmu tetapi juga belajar cara bersosialisasi dengan lingkungan" Mendengan penuturan Seokjin, Tuan Park berbalik cepat.

"Dan sebelum anda menayakan apakah saya pantas menjadi seorang guru. Coba anda pikir apakah anda sudah pantas menjadi orang tua?"

Tak lagi peduli dengan hal itu, Tuan Park kembali menarik tangan sang putra keluar dari dalam ruangan. Jimin ingin melawan karena tangannya begitu sakit, tetapi ia tak ingin menambah lagi masalah hari ini.








Bersambung...............

Take MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang