Chapter 41 - Jangan Lagi

947 220 69
                                    

Prangg!!

"Arghtt!!" Jian berteriak kalap sambil melayangkan pukulan kepada cermin secara membabi buta. Rasa benci kembali membuncah setiap kali dia menatap pantulan diri di kaca, seolah menunjukkan dengan jelas kepada dirinya bagaimana rupa seorang pecundang.

Lagi lagi Jian kalah, dia gak bisa berbuat apa-apa, Jian ngerasa perasaan bangsat seperti dulu.

"Gue gak salah, gue gak salah." Jian bergumam di sela tangis yang mulai pecah, kepala mendongak dengan ekspresi frustasi yang begitu ketara, Jian gak tahan lagi.

"Gue gak salah... kenapa gak ada yang percaya..." Tangan mungil berlumur darah itu dia bawa untuk memukul dada sendiri, mencoba menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga tersebut. Cukup, Jian udah cukup nahan segala kesedihannya sejak tadi, udah cukup dia mencoba kelihatan baik-baik aja di hadapan Reyno, karena ketika si manis sampai di kamarnya, pemuda bersurai arang itu bisa setidaknya sekejap aja untuk menjadi diri sendiri.

Sisi yang begitu menyedihkan.

Malam ini Jian sedikit kesulitan mengontrol diri, rasa benci menjerat begitu erat, membuat si manis kembali larut dalam perasaan negatif yang perlahan datang menyerang. Ya bayangin aja segimana bencinya Jian setelah mendapat ketidakadilan tadi, padahal di sini dia yang menjadi korban, lalu kenapa pula dia yang disalahkan? Apa hukum benar-benar ada di dunia yang udah busuk ini?

"Kenapa hiks- hidup gak adil banget ke gue."

Jian hanyalah manusia biasa, terlepas dari sifat ceria serta positif seorang Jian Wijaya, sosok tersebut juga sama rapuhnya dengan orang lain. Sesekali akan mengeluhkan keadaan, sesekali akan mempertanyakan kebaikan Tuhan dan sesekali juga ingin menyerah akan takdir yang tertulis.

Kalau boleh jujur, Jian capek, banget. Tapi dia gak bisa lari, udah cukup di masa lalu sekarat sampai masuk rumah sakit karena kehilangan banyak darah sehabis cutting, cukup di masa lalu aja dia menyaksikan seberapa sedih mama dan papanya, dan cukup di masa lalu juga Jian mendambakan kematian.

Dia baik-baik aja sekarang, Jian gak- ah mari berhenti berbohong. Anak itu rapuh, memerlukan seseorang untuk menjadi topangan saat ini. Jian pikir dirinya baik-baik aja, namun nyatanya tidak.

Punggung tersebut ia benturkan dengan cukup keras di sisi lemari pakaian, meluruh turun lalu meringkuk layaknya seorang anak kecil. Lutut Jian tekuk lalu peluk begitu erat, menenggelamkan wajah di sana sambil menumpahkan tangis dalam isakan pilu. Dia ingin berteriak dengan kencang, tapi rasanya pun percuma, gak akan ada yang berubah, paling tetangga bakal dateng sambil bawa obor.

Cklekk...

Suara pintu terbuka mampu mengagetkan sosok manis tersebut, kepalanya sontak mendongak lalu beradu tatap dengan sang mama yang terlihat mematung di ambang pintu. Fokus manik kelam itu mulai kembali secara perlahan, mata bulat Jian membelalak terkejut, sama sekali gak mengharapkan kehadiran Tika untuk saat ini.

Buru-buru bangkit untuk menjelaskan, Jian menyeka air matanya dengan kasar, mencoba ngulas senyum di bibir bergetarnya sembari menghalangi pandangan wanita cantik tersebut dari cermin yang udah dia pecahkan.

"Ma- mama hiks... aku gak apa hiks ma- jangan lihat, jangan lihat..." Jian bergumam pelan, rasa frustasinya makin menjadi-jadi, kenapa pula dia lupa ngunci pintu tadi?

Ngelihat sosok tersayang yang kini melemparkan tatapan sendu ngebuat Jian ngerasa semakin buruk, ah, apa dirinya masih berhak mendapat sebuah pengampunan?

Di sisi lain Tika masih gak bisa percaya dengan apa yang dia lihat, sungguh, wanita cantik itu gak marah atau kecewa ke Jian, perasaan tersebut dilayangkan untuk dirinya sendiri. Betapa bodoh dan naifnya Tika sampai tertipu dengan sandiwara anak sendiri.

Trend; Self Injury [Minsung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang