Part 16

218 8 0
                                    

🍁 Tak Mengerti

Selama dua hari ini aku bisa menghabiskan waktu bersama Ibu, mengajak beliau jalan-jalan dan sengaja membelikan beberapa pakaian serta keperluar di rumah.

Sebagian tabunganku sudah kusisipkan untuk keperluan sehari-hari, aku mungkin bukanlah seorang anak yang baik. Tapi aku tidak akan pernah melupakan kewajibanku, meski itu hanya sedikit.

"Bu, tolong simpan ini untuk keperluan Ibu selama Sena tidak ada di rumah. Nanti akan ada teman Sena yang sering tenggokin Ibu, jadi Ibu tidak akan kesepian," ucapku sembari memberikan amplop coklat pada Ibu.

"Tapi, Nak---"

"Tidak, Sena tahu dengan apa yang akan Ibu katakan. Tolong terima, Bu. Biar hati Sena tenang," potongku cepat.

"Baiklah, Sayang. Ibu akan gunakan uang ini sebaik mungkin," jawab Ibu dengan mata yang berkaca-kaca, setelah itu beliau memeluk diri ini begitu erat.

Aku membalas pelukan Ibu tidak kalah erat, mungkin setelah ini aku akan jauh dengan beliau dalam waktu yang cukup lama.

"Sebentar lagi Sena akan pergi ke kantor polisi, karena panggilan dari polisi hari ini, Bu," pamitku pada Ibu.

"Apakah harus sekarang, Nak."

"Iya, Bu. Sena sudah meminta waktu pada pihak polisi, dan waktu itu sudah habis. Maafkan putri Ibu ini, ya. Sena belum bisa jadi anak yang berbakti, malah membuat Ibu sedih setiap saat memikirkan tentang Sena," lirihku dalam pelukan Ibu.

Embun yang sekuat kutahan akhirnya tumpah, aku hanya bisa menangis dalam diam.

Kuusap air mata ini tanpa sepengatahuan Ibu, setelah itu diri ini mencoba tersenyum dan menunjukkan kalau aku kuat.

"Sena sudah menaruh pakaian dalam tas, hanya beberapa potong saja jadi Sena tidak banyak membawa banyak barang," ucapku kembali.

"Iya, Sayang. Tidak apa-apa, biar Ibu yang akan membawanya nanti. Jadi Ibu punya alasan untuk sering mengunjungimu di dalam sana, Nak," jawab beliau sembari menahan air matanya.

"Kalau begitu, Sena pamit dulu. Soalnya ini sudah siang, takut kena macet di jalan. Assalamu'alaikum," pamitku, sembari mencium punggung tangan Ibu.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati di jalan ya, Nak. Jangan ngebut kalau bawa motornya," nasehat Ibu.

"Iya, Bu,"jawabku dengan senyuman, setelah itu aku menaiki motor dan mulai melajukannya.

***

Cukup lama pihak polisi menginterogasiku, dan yang membuat hati ini kaget adalah korban wanita yang Mas Haris tabrak saat itu tengah mengandung.

Aku pun keluar dari kantor polisi, dalam pikiran ini tidak ada hentinya memikirkan bagaiman nasib keluarga yang di tinggalkan wanita itu.

Sungguh aku tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga wanita itu, pasti mereka sedih sekali.

Terutama suami dari wanita itu, pasti sangat sedih mengingat istrinya tengah mengandung buah hati mereka. Sampai di luar kantor polisi, sedari tadi aku merasa ada yang mengawasiku.

Aku mencoba mencari, sambil menoleh siapa tahu ada orang yang sedang memperhatikanku. Namun, aku tidak menemukan siapa pun.

Saat aku ingin menuju motorku, tiba-tiba ada seseorang yang mendorong bahuku dengan badannya.

"Gadis ceroboh! Kau orang itu?!" ucap pria di depanku dengan nada dingin.

"Gadis ceroboh, kamu tidak boleh lari. Setelah kamu menabrak orang," pria di depanku berbicara lagi, dengan sorot mata di penuhi kemarahan dan mungkin juga benci.

"Maafkan saya, Tuan," jawabku cepat, saat mengingat pria di depan adalah Narendra dan mobilnya sempat bertabrakan dengan motorku.

"Jika meminta maaf, seharusnya ada rasa bersalah tunjukkan di wajahmu itu," ucap Narendra, sembari mendorongku dengan kasar.

Aku mencoba berontak, tapi kekuatan Narendra jauh lebih besar dariku.

"Maafkan saya, jika itu menyangkut tentang mobil Anda. Namun, saat ini saya belum bisa memperbaiki mobil Anda. Jadi saya mohon, pengertian Anda," jawabku, sembari ingin melangkah.

Namun Narendra menarik tanganku, lalu mendoronku hingga badan ini membentur tembok yang ada di samping tubuhku.

Dengan kasar Narendra mencengkeram leherku, wajahnya sudah merah padam sorot matanya penuh kemarahan.

Dia tidak puas mencengkeram leherku dengan satu tangannya, akhirnya dia menambahkan satu tangannya lagi untuk mencekik leherku.

Aku berusaha memukul tubuh Narendra bahkan memberontak, tapi tetap tidak bisa. Rasa sakit di leherku begitu menyakitkan, dan aku mulai kesulitan bernapas.

Aku hanya bisa berteriak kesakitan.

"Orang sepertimu, berani sekali menyentuh milikku!" desis Narendra dengan kemarahannya.

Aku mencoba berontak dan akhirnya cekikan itu terlepas dari leherku, seolah tidak puas Narendra kembali menarik pergelangan tanganku lalu menghempaska badan ini ke lantai.

Aku mulai ketakutan, tanpa sadar air mata ini menetes. Bahkan tubuhku juga bergetar hebat, seumur hidup baru kali ini aku melihat seseorang begitu marah padaku.

Narendra kembali menarik tanganku, lalu membawa dan menghimpit tubuh ini di tembok. Dia mulai mengungkung tubuhku, dengan kedua tangannya yang berada di sisi kanan dan sisi kiri.

Sorot mata Narendra masih sama, di penuhi kebencian, wajahnya pun masih merah padam. Kulihat dia berusaha keras untuk mengontrol emosinya padaku, tiba-tiba kurasakan gerakan tangannya ingin memukul wajahku.

"Ma--maafkan saya, Tuan," mohonku
mohonku, pada Narendra dan berharap dia punya belas kasih mau melepaskanku.

Saat tubuhku sudah bergetar ketakutan, karena aku pikir Narendra akan benar-benar memukulku ternyata tidak. Dia tidak memukulku yang dia pukul adalah tembok, pukulan itu begitu keras.

Hingga menyebabkan luka di seluruh punggung tangannya, luka itu terlihat begitu dalam. Darah segar pun, mulai mengalir di permukaan tangannya.

Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Narendra, karena saat dia memukul tembok aku sudah menyembunyikan wajahku di dadanya.

"Hal seperti ini, tidak bisa di selesaikan dengan kata 'Maaf'. Karena aku 'lah, yang di sini paling merasakan terluka," gumam Narendra yang masih bisa ku dengar.

Narendra meremas baku sisi kiri dengan begitu kuat, hingga kurasakan sakit. Namun, aku hanya bisa merintih dan tidak bisa berbuat apa-apa. Karena tubuhku dalam kungkunggannya.

Saat aku sudah mulai putus asa, karena tidak bisa melawan Narendra. Akhirnya terdengar orang datang dan merelai tubuh kami, ternyata yang datang adalah dua orang polisi dan salah satu orang kepercayaan Narendra.

"Hai, lepaskan tangan kamu itu. Kenapa kalian bertengkar di sini?" tanya salah satu polisi, sembari menarik tubuh Narendra dari tubuhku.

Narendra tidak mau, dia terus berontak malah yang ada dia semakin meremas lenganku dengan seluruh kekuatannya. Rasanya begitu sakit sekali.

"Jangan berlagak seolah takut, dengan hal sekecil ini saja, hah!" teriak Narendra, setelah pelukan kami terlepas.

Akhirnya Narendra melepaskan pelukannya dari tubuhku, sebelum dia pergi dia mengucapkan kalimat yang membuatku takut.

"Kita akan bertemu lagi, gadis ceroboh!" peringat Narendra, sembari menunjukku dengan telunjuknya.

Narendra pun pergi menuju mobil SVU hitam mewah, yang tidak jauh dari motorku. Begitu pun dua polisi tadi yang menolongku, mereka pun sudah kembali ke kantor mereka.

Aku tidak tahu, kenapa Narendra begitu marah padaku? Hanya karena aku tidak mengganti kerusakan pada mobilnya, kenapa dia begitu kasar menyakitiku.

Bersambung.







Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang