Part 21

266 13 0
                                    

🍁 Malu

Kemarahanku seketika hilang, saat melihat Narendra pingsan di bahuku. Aku berusaha menahan bobot tubuhnya, dengan pikiran binggung.

Bagaimana caranya mengantar Narendra pulang ke rumahnya, jika yang akan di tanyain saja pingsan.

Aku ingat dia mempunyai ponsel, tapi apakah itu sopan menggeledah di saat orangnya tidak sadar seperti sekarang ini.

Aku pun menelepon taxi langgananku, sembari menunggu taxi datang aku memegangi tubuh Narendra lalu memasukkan dia sementara di mobilnya. Tidak sampai sepuluh menit, taxi pun datang.

Aku memasukan Narendra ke kursi penumpang dengan dibantu supir, lalu kususul duduk di sampingnya. Taxi mulai melaju, dan aku membetulkan letak tidur Narendra agar sedikit lebih nyaman.

Sengaja aku sandarkan di kaca samping mobil, tapi kepala Narendra malah jatuh ke pundakku. Kudorong lagi, agar dia bersandar kembali. Tapi karena guncangan mobil, kepala dia jatuh kembali ke tubuhku.

Malah sekarang kepala Narendra sudah berada di pangkuanku, aku mau mengangkat kepalanya dan menyandarkan di sandaran kursi.

Tapi entah mengapa, aku menjadi tidak tega. akhirnya kubiarkan saja, kepalanya berada di pangkuanku.

"Maaf, Nona. Tujuannya kemana, ya?" tanya supir taxi ramah.

Aku binggung akan membawa Narendra kemana?

"Tuan, rumah Anda di mana?" meskipun sudah tahu Narendra sedang pingsan, dan tidak bisa di ajak bicara. Kenapa malah aku menanyainya, seperti orang bodoh saja.

Dengan pasrah, aku pun menjawab pertanyaan supir taxi itu. "Ke alamat ini saja, Pak," jawabku, sembari memberikan kartu namaku.

Supir pun mengerti, dan mulai mengendarai mobil dengan sedikit kecepatan. Mungkin situasinya sudah larut malam, dan jalanan mulai sepi kendaraan. Jadi supir taxi, lebih mudah mengendarai mobilnya dengan sedikit kecepatan.

Tidak sampai tiga puluh menit, aku sampai di rumah. Aku mulai turun lalu merangkul Narendra, dan membawa dia ke dalam pelataran rumahku dengan di bantu supir taxi.

"Terima kasih, Pak," ucapku tulus, setelah itu aku memberikan ongkos taxi dengan sedikit kulebihkan. Karena dia banyak membantuku tadi.

"Sama-sama, Nona," jawab supir taxi, setelah itu pergi.

Terlihat di teras Ibu sudah berdiri di sana, sambil mengernyitkan dahinya saat beliau melihat Narendra dalam rangkulannku.

"Nak, siapa dia?"

"Lho, bukannya ini Pak Narendra, orang yang baik dan sering meminjami Ibu uang," ucap Ibu antusias, ketika melihat Narendra.

"Ibu kenal, sama orang ini?" tanyaku penasaran, sembari membawa Narendra ke dalam dengan di bantu Ibu.

"Iya, Ibu kenal. Pak Narendra sering datang kemari, selama kamu di penjara. Kadang dia selalu memberi uang Ibu, dan Ibu sangat senang dengannya. Karena Pak Narendra orangnya baik," jawab Ibu dengan binar bahagianya.

Ah, pantas saja Narendra bilang padaku kalau Ibu punya hutang padanya. Ternyata dia menghitung uang yang ia berikan kepada Ibu, sebagai hutang.

Dasar, pria perhitungan. Bagaimana bisa dia bersikap curang sama orang yang lebih tua, untung saat ini kamu sedang tidur, Narendra. Kalau tidak sudah habis kamu kumakan.

Aiss, kenapa aku bisa punya pemikiran seperti itu. Ingin memakan Narendra, apa enaknya. Yang ada pasti dagingnya sangat pahit, seperti orangnya pahit. Karena tidak pernah tersenyum, galak lagi.

Lamunanku buyar, setelah Ibu bertanya dengan hal yang sama. Entah mengapa Ibu begitu penasaran ketika aku membawa Narendra ke rumah.

"Nak, kamu kok bisa bawa Pak Narendra, kemari. Memangnya kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Ibu dengan pertanyaan yang sama.

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang