Bab 9

274 8 0
                                    

Bab 9 🍁 Mulai Ragu

"Assalamu'alaikum, Bu," kuucapkan salam sembari menuntun motor ke dalam rumah.

"Wa'alaikumussalam, Nak."

"Kenapa baru pulang, Nak? Tidak biasanya, Ibu jadi sangat mengkhawatirkan kamu, Sayang?" tanya Ibu beruntun sambil mengikutiku dari belakang.

"Iya, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, Bu. Makanya Sena telat pulang." jawabku sambil memarkirkan motorku.

"Memangnya ada masalah apa? Kamu tidak apa-apa 'kan, Nak?" tanya Ibu masih dengan rasa khawatirnya."

"Lho! Ini kenapa, Nak? Kenapa sampai di perban segala?" Ibu berteriak, ketika melihat lenganku yang tertutupi perban.

"Oh, ini. Tidak apa-apa, Bu. Tadi Sena terjatuh, karena tidak hati-hati sewaktu ke kerja. Cuma lecet sedikit, kok. Dalam beberapa hari ini pasti cepat sembuh," jawabku berbohon, karena aku tidak mau beliau terlalu khawatir.

"Ibu tadi masak apa? Sena sudah sangat lapar," kataku mengalihkan perhatian beliau.

"Meskipun lecet sedikit, pasti sangat sakit, ya," jawab beliau dengan wajah sedih.

"Ibu masak kare ayam kesukaan kamu, lekas cuci muka dan tangan setelah itu makan, ya. Ibu hangatin dulu, lauknya," lanjut beliau, sambil memelukku.

"Iya ... Ibu, jangan khawatir lagi, ya. Karena Sena tidak apa-apa," kubalas pelukan Ibu, sambil menenangkan rasa khawatirnya.

"Iya, Sayang. Ibu sudah tidak khawatir lagi, sekarang cepat pergi ke kamar dan ganti baju. Ibu akan menemani kamu makan," ucap Ibu dengan nada lembut.

"Iya," jawabku langsung bergegas masuk ke kamar.

Ibu adalah sosok yang mudah tersentuh hatinya, dan paling tidak bisa melihatku terluka. Ketika beliau melihat ada luka di tubuhku, meski itu luka kecil. Ibu pasti akan langsung khawatir, dan tanpa sadar terlihat raut sedih di umur senjanya.

Sampai di kamar, aku langsung berganti pakaian. Kemudian mencuci wajah, tangan dan juga kaki. Kuambil handuk kecil yang ada di belakang pintu kamar mandi, setelah beres aku bergegas ke ruang makan.

Di ruang makan tepatnya di meja, sudah tertata nasi, kare ayam dan lauk tempe dan tahu tidak lupa ada sambal juga. Karena sudah merasa lapar, tanpa membuang waktu langsung kusendok nasi beserta lauknya.

Ketika ingin menyiapkan ke mulut, gerakkanku terhenti saat melihat Ibu tidak turut makan.

"Kenapa, Ibu tidak makan juga?" tanyaku penasaran.

"Ibu sudah kenyang, Sayang. Kamu sendiri yang makan, Ibu hanya menemani kamu doang," jawab beliau dengan senyum teduhnya.

"Benar Ibu sudah kenyang? jangan sampai Ibu belum makan lho, Bu. Sena tidak akan suka, jika Ibu sampai telat makan,'' tanyaku memastikan.

"Benar, Sayang. Ibu tadi sudah makan, dan kenyang juga. Makanya sekarang Ibu hanya menemanimu makan," jawab beliau meyakinkan.

"Syukurlah kalau begitu, Sena makan dulu, ya, Bu. Udah lapar soalnya, hehee ....," kataku sambil memasukkan satu sendok makan ke mulutku dengan tidak sabaran.

"Pelan-pelan, Nak. Nanti kamu bisa tersedak, lho," nasehat beliau penuh perhatian.

"Habisnya Sena sudah kelaparan, Bu," jawabku sambil tersenyum, lalu melanjutkan makan malamku.

Ibu yang melihat kelakuanku hanya bisa geleng-geleng kepala, sambil mengambilkan air putih dan menaruhnya tepat di hadapanku.

***
Setelah makan, kubawa piring dan gelas yang kotor lalu mencucinya. Ibu sudah berpamitan ke kamar ingin istirahat.

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang