🍁 Merindukanmu
Sudah setengah jam, aku menunggu Ibu pulang dari pasar. Namun, Ibu belum juga pulang. Hati ini benar-benar tidak tenang.
Aku terus mondar-mandir di teras. Namun, pandanganku tidak lepas melihat ke arah jalan. Akhirnya keresahan hati ini sirna, ketika melihat orang yang kusayangi membuka pagar rumah.
Dengan tidak sabar aku berlari langsung memeluk Ibu, tanpa sadar cairan bening yang kutahan sedari tadi mulai membasahi pipi.
Melihat Ibu pulang dalam keadaan selamat, sungguh membuatku senang. Tadinya aku takut sekali, jika ancaman mama Mas Haris menjadi nyata. Aku tidak mau walau hanya sekadar membayangkannya saja.
"Nak, kok sudah pulang? Terus ini, kenapa kamu menangis?" tanya Ibu beruntun.
"Sena tidak apa-apa, Bu. Ayo kita masuk ke dalam dulu, karena ada hal penting yang harus Sena sampaikan," ajakku, sembari meraih belanjaan Ibu di tangannya.
Aku pun membawa belanjaannya Ibu, lalu merangkul Ibu masuk ke dalam rumah. Setelah kutaruh semua belanjaan di meja ruang makan, aku menyuruh Ibu duduk di kursi.
Begitu pun denganku, aku mengambil tempat duduk di samping Ibu.
"Bu, apakah kita bisa pindah dari rumah ini. Bahkan jauh dari kota ini, Sena ingin pergi dari sini, Bu. Sena ingin memulai kehidupan baru, tanpa bayang-bayang Mas Haris dan keluarganya lagi," ucapku lembut, meski itu tidak menutupi kecemasanku dari Ibu.
"Kenapa kamu bicara seperti ini, Nak? Apakah ada masalah, ceritakan sama Ibu. Karena Ibu yakin kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari Ibu?" tanya Ibu dengan rasa penasarannya.
"Tadi mama Mas Haris datang, dan mengancam Sena, Bu. Sena takut, jika ucapannya menjadi nyata. Apalagi ini ada sangkut pautnya sama Ibu," jawabku jujur.
"Kenapa mesti takut, Nak. Kalau dia mengancam, kita bisa lapor polisi. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan Ibu, ya," ucap Ibu, tanpa rasa takut. Namun, tidak denganku.
"Tentu saja Sena mengkhawatirkan Ibu, karena Ibu adalah orang yang paling kusayangi. Cukup Arsen yang menjadi korban mereka, tapi tidak dengan Ibu," jawabku jujur, dengan diiringi cairan bening yang mulai berjatuhan.
"Jadi merekalah yang membuat Arsen tiada, Nak. Kenapa tidak kamu laporkan saja mereka pada polisi, Nak? Jangan takut, Ibu akan menemanimu untuk melaporkan keluarga yang tidak punya rasa berterima kasih padamu itu!" geram Ibu sambil berdiri, dan berniat mengajakku pergi ke kantor polisi.
"Sena tidak mempunyai bukti untuk menyeret mereka ke dalam penjara, Bu. Walaupun Sena melaporkan keluarga Mas Haris itu percuma, belum tentu polisi menanggapi laporan yang Sena buat. Karena polisi tidak akan percaya, jika tidak ada bukti apa pun dari Sena," aku menggenggam tangan Ibu lembut, dan mengisyaratkan Ibu duduk kembali.
"Dasar keluarga tidak tahu di untung dan tidak tahu berterima kasih! Lalu apakah kita mesti meninggalkan rumah ini, dan meninggalkan semua kenangan kita di sini," Ibu mulai menangis, karena aku tahu Ibu pasti berat meninggalkan rumah ini.
"Iya, Bu. Lagian rumah ini juga bukan milik kita lagi, rumah ini sudah jadi milik Narendra begitu pula warung Ibu. Karena Sena mempunyai hutang padanya, maafkan jika Sena baru mengatakannya sekarang," ucapku sedikit berbohong.
"Kamu punya hutang berapa banyak, Nak, sama Pak Narendra. Sampai kamu menggadaikan rumah dan warung padanya," jawab Ibu dengan nada kecewa padaku.
Aku hanya tidak ingin Ibu tahu, kalau selama aku di penjara. Dengan kebaikan Narendra memberikan Ibu uang, itu bukannya dia ikhlas.
Tapi dia punya niat tersembunyi, yaitu menginginkan aku selalu berada di dekatnya dan membalas dendam atas kematian istrinya.
"Maafkan Sena, Bu. Sungguh Sena belum bisa jadi anak yang berbakti, Sena selalu saja membuat Ibu kecewa dan sedih seperti sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Cinta sena Anjani
General FictionSebuah insiden kecelakaan, membawa kehidupan Sena Anjani ke dalam titik terendah. Kehilangan putranya yang baru beberapa tahun ia lahirkan, membuat ia hampir gila. Kesedihan Sena, bertambah ketika tunangannya yanh ia lindungi tega mengkhianati cinta...