Bab 2

394 15 1
                                    

🍁 Bujuk Rayu

Setelah Mas Haris mendapatkan kunci kamar, ia menghampiriku lalu menuntun langkah menuju kamar inap. "Mas, apa tidak ada kamar lagi?" tanyaku masih penasaran, meski tadi aku sudah mendengar kalau semua kamar telah penuh.

"Tidak ada, Sayang. 'Kan kamu sudah dengar sendiri tadi, resepsionisnya bilang apa," jawab Mas Haris cepat, sembari mengeratkan genggaman tangannya. "Apa kamu tidak suka sekamar denganku, ya," lanjutnya dengan nada tidak suka.

"Bu-bukan seperti itu, Mas. Aku cuma tanya saja, siapa tau masih ada kamar lain. Aku suka sekamar dengan, Mas, kok. Jangan marah, ya," bujukku, dengan nada lembut. Karena aku tahu betul dengan sifat kerasnya.

"Syukurlah ... Mas kira kamu tidak suka sekamar denganku, Sayang. Hitung-hitung kita belajar, 'kan sebentar lagi kita akan menikah dan tadi aku juga sudah melamar kamu. Jadi kamu tidak perlu takut, kalau pun nanti terjadi sesuatu di antara kita. Mas telah siap untuk menikahimu, Sayang," ucap Mas Haris menenangkanku.

"I-iya ... aku percaya sama, Mas," jawabku terbata, entah mengapa aku masih belum siap dan merasa ragu.

Kami pun mulai melangkah memasuki lift, tidak sampai 5 menit aku dan Mas Haris sampai di dalam kamar. Sengaja aku langsung melangkah ke jendela, lalu ku sibakkan gorden dan berharap hujan reda.

Namun sialnya, di luaran sana terlihat hujan masih sangat lebat. Bahkan suara petir pun terdengar, aku pun menghela nafas karena yakin hujannya pasti akan lama berhentinya.

Di saat aku tengah melamun kapan hujan akan berhenti, tiba-tiba aku dikagetkan dengan tangan kekar melingkar di perutku.

"Sayang, apa yang sedang kamu lamunkan?" tanya Mas Haris dengan berbisik di telingaku.

Deg, deg.

Suara detak jantungku bertalu, kala Mas Haris di belakangku terus mengeratkan pelukannya. Dagunya sengaja ia taruh di pundak kananku, dan sesekali mencium pipiku.

"Ha-hanya berpikir, kapan hujan akan berhenti," jawabku, merasa tak nyaman.

"Mas ...."

"Hemm ...." bisiknya, lalu mencium tengkukku. Seketika membuat seluruh tubuhku meremang.

"Jangan seperti ini, Mas. Aku takut. Mas Haris tidak akan bisa mengendalikan diri Mas lagi," ucapku lembut mencoba mengingatkan, dan berharap Mas Haris mau menuruti kemauanku sembari ku elus tangannya lembut.

"Memang itu yang Mas inginkan, Sayang. Setelah Mas melamar kamu tadi, Mas berharap kamu percaya padaku," jawab Mas Haris, sambil membalik tubuhku. Aku pun langsung bisa menatap mata sayunya.

"Jadilah milikku seutuhnya malam ini, Sayang. Karena Mas sudah tidak bisa menahannya lagi, mengingat kita telah menjalin kasih selama dua tahun dan malam ini adalah puncaknya. Mas menginginkanmu, Sena Anjani. Jadilah milikku seutuhnya, Sayang," lanjutnya dengan suara parau, matanya sudah di penuhi kabut.

"Ta-tapi Mas, kita belum resmi menikah," ucapku mencoba mengingatkan. "Apa kamu tidak mau, Sena! Kalau tidak mau, ya, sudah. Aku tidak akan memaksa kamu!" jawab Mas Haris dingin, setelah itu dia berusaha menjauh dariku.

Aku pun terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Jika aku menolak pasti dia akan marah, dan dia tidak akan pernah mau bertemu bertemu maupun mengabariku hingga beberapa hari lamanya.

"Jika hujan berhenti, Mas akan mengantarmu pulang," lanjutnya dengan nada datar, lalu dia beranjak ingin keluar kamar.

"Mas mau kemana? Jangan pergi. Maafkan kata-kataku tadi, Mas," ucapku sambil memeluk Mas Haris dari belakang.

Dia masih diam, tanpa mau menjawab apa yang aku ucapkan dan itu membuatku takut.

"Mas, jangan marah, ya. Aku sangat mencintaimu, Mas, dan aku akan melakukan apa pun yang Mas katakan," rayuku dan berharap dia luluh.

"Jangan diamin aku, Mas," bisikku dengan suara bergetar menahan tangis, karena aku benar-benar takut Mas Haris akan marah.

Mas Haris berbalik, lalu mulai menatap mencari kejujuran di mataku.

"Jadi apakah kamu mau, Sa---"

"Iya, Mas," jawabku menganggukkan kepala meyakinkannya.

Seketika senyuman di wajahnya mengembang, dia langsung mencium bibirku tanpa mau melepaskan diriku lalu membawaku ke ranjang. Sesaat ia meminta izin dengan sorot mata sayunya yang sudah di selimuti kabut nafsu.

Aku pun menganggukkan kepala sambil tersenyum, dan tanganku pun sudah berada di pipinya, meyakinkan kalau aku telah siap menjadi milik Mas Haris seutuhnya.

Tanpa membuang waktu ia kembali menciumku, tanpa mau memberiku kesempatan membalasnya.

Malam yang dingin, kami larut dalam surganya dunia. Tanpa mau berpikir apa yang akan terjadi nanti, yang ada dalam pikiran kami hanya menghabiskan waktu bersama dalam kehangatan.

Malam ini dengan saksi gelapnya malam dan hujan deras di luaran sana, aku dengan iklas menyerahkan hal yang paling berharga dalam hidupku padanya. Meskipun terselip rasa ragu, dan tidak percaya namun kalah akan cinta yang ada dalam hati ini.

***
"Hiks, hiks ...."

"Sudah jangan menangis dong, Sayang. Mas akan bertanggung jawab sama kamu, janji dalam waktu dua minggu lagi kita akan menikah jadi jangan menangis," ucap Mas Haris lembut, sambil memelukku yang duduk di ujung tempat tidur.

"Janji, dua minggu lagi kita akan menikah. Karena aku tidak mau, saat nanti di sini ada kehidupan baru," jawabku meminta kepastian, sambil menyentuh perut rataku.

"Tapi kita baru melakukannya, pasti tidak akan terjadi apa-apa sama kamu, jadi jangan berpikir terlalu berat, ya," ucap Mas Haris mencoba menenangkanku, bukannya tenang yang ada aku malah khawatir.

Karena Mas Haris seolah menyepelekan, apa yang aku ucapkan tadi. "Tapi saat ini masa suburku Mas, dan kita baru saja melakukannya," jawabku dengan nada menuntut, sambil menatap matanya.

"Baiklah-baiklah Mas berjanji, dalam dua minggu ini kita akan menikah. Sekarang kamu senang," janji Mas Haris pasrah, namun dengan nada serius sambil menangkup kedua pipiku.

"Iya, aku sangat senang semoga rencana kita dilancarkan, ya. Lalu bagaimana dengan mama dan papa Mas Haris. Apakah mereka sudah tahu kalau hari ini Mas melamarku?" tanyaku penuh penasaran.

"Tentu saja sudah dong, Sayang. Kalau pun mereka tidak merestui kita, Mas akan tetap akan menikahai kamu. Apalagi malam ini kamu sudah menjadi milikku seutuhnya, dan Mas akan menetapati janji Mas sama kamu," jawabnya penuh kesungguhan.

Saat kutatap matanya, di sana tidak ada kebohongan. Aku pun mulai tenang, dan tidak ragu lagi.

"Tapi bisakah Mas minta lagi, sebelum kita pulang," bisiknya menggoda.

"Ihh, dasar mesum. Nggak mau, ini saja masih sakit, tau. Hmm, kayaknya hujan sudah reda. Bisakah kita bersiap pulang, aku tidak mau Ibu khawatir," tolakku, sambil mencubit perutnya. Lalu aku melangkah berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri, namun langkahku terhenti saat mendengar rajukannya

"Ah ... nggak asyik kamu, Sayang. Padahal Mas masih pengen lho," rajuknya, masih dengan suara menggoda. Namun, aku tidak menghiraukan kemauannya.

"Hahaa ... main saja sendiri, aku mau mandi dulu," tolakku mengejek sembari terkekeh, lalu masuk ke kamar mandi.

Setelah mandi dan berganti pakaian, begitu pun Mas Haris. Kami pun meninggalkan hotel yang menjadi saksi penyatuan kami. Waktu sudah larut malam, hujan juga sudah berhenti.

Senyuman di wajahku dan wajahnya tidak pernah hilang, selama dalam perjalanan pulang. Tautan tangan kirinya sama sekali tidak terlepas dari  tanganku, sedangkan pandangan fokus ke depan dan tangan kanannya menyetir mobil.

Sungguh aku merasa amat bahagia, dan berharap kebahagiaan ini tidak akan pernah hilang dari kehidupanku.

Bersambung

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang