Bab 4

296 15 2
                                    

Bab 4 🍁 Khawatir dan Rindu

Malam semakin larut dan udara semakin dingin terasa menusuk tulang, kafe semakin ramai bahkan saat ini sudah memasuki jam sembilan malam.

Biasanya Mas Haris sudah menelepon dan bersiap menjemputku seperti biasanya, karena sebentar lagi sudah waktunya jam pulang kerja. Namun, hampir seminggu ini dia seolah lupa padaku. Entahlah.

Drrrttt
📱My Love

Kucoba menelepon Mas Haris, hingga berulang kali. Namun, yang terdengar hanya suara operator telepon.

Kemana dia? Kenapa nomernya tidak aktif, apakah dia sedang sakit atau 'kah saat ini dia sedang sibuk bekerja. Hingga Mas Haris lupa, bahkan tidak sempat menelepon atau sekadar mengirimiku pesan.

Dalam hati terbesit rasa penasaran sekaligus rasa khawatir akan keadaan Mas Haris, sekarang aku harus bagaimana? Jika langsung datang ke rumah Mas Haris dan melihat keadaannya, apakah orang tuanya akan marah padaku.

Karena yang kutahu, Papa dan Mama, Mas Haris tidak menyukai diri ini. Apalagi merestui jalinan hubungan cinta di antara kami.

Mungkin lebih baik besok saja aku ke rumah Mas Haris, dan melihatnya. Meskipun Mama Mas Haris tidak menyukai kedatanganku, tapi aku akan tetap ke sana dan memastikan keadaannya baik-baik saja atau 'kah tidak.

Kumasukkan kembali ponsel dalam saku celanaku, dan bersiap untuk pulang. Lalu mulai kulajukan motor dengan sedikit kecepatan, meski udara sangat dingin malam ini.

Namun, jalanan masih terlihat sangat ramai. Kuhentikan motor di penjual nasi goreng langgannku, dan memesan dua bungkus untuk di bawa pulang.

Cukup lama menunggu hingga nasi goreng pesananku selesai, sambil menunggu kulihat ke sekeliling banyak penjual beraneka makanan. Cukup rame di setiap stan kedai, ada beberapa orang datang dan memilih makanan yang mereka suka.

"Mbak, ini pesanannya sudah selesai," ucap penjual nasi goreng mengagetkanku.

"Oh, iya. Ini uangnya. Makasih, ya, Mang," jawabku sambil mengulurkan uang dan mengambil nasi yang berada di meja.

"Sama-sama, Mbak," ucap penjual nasi goreng ramah.

Kubalas dengan senyuman, sambil bergegas keluar dari kedai lalu menaiki motor dan pulang. Tidak sampai lima belas menit, motor yang kukendarai sampai di pelataran rumah.

Terlihat Ibu sudah membukakan pintu, aku pun turun lalu menuntun motor masuk ke dalam rumah.

"Assalamu'alaikum, Bu," ucapku setelah memarkir motor, sambil mencium punggung tangan beliau.

"Wa'alaikumussalam, Sayang. Cepek, ya?" tanya beliau penuh perhatian.

"Sedikit ... Bu, ini tadi Sena beli nasi goreng. Ibu makan, ya, mumpung masih hangat," ucapku, sambil memberikan kresek berisikan nasi goreng.

"Makasih, Sayang. Sekarang kamu ganti baju dulu, setelah itu kita makan bersama," jawab beliau, sambil berjalan ke ruang makan yang bersebelahan dengan ruang tamu.

Kuanggukkan kepala, lalu melangkah ke kamar dan berganti baju. Selesai ganti baju, kutemui Ibu yang sedang membuat teh hangat. Kuhempaskan tubuhku di kursi kayu, lalu membuka nasi goreng begitu pun Ibu.

"Nak, kok tumben Nak Haris beberapa hari ini tidak terlihat kemari. Apa kamu ada masalah dengannya?" tanya Ibu dengan rasa penasarannya, akan kabar Mas Haris.

"Sena juga tidak tahu, Bu. Saat Sena menghubungi dan menanyakan kabar kata Mas Haris sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan Sena tidak mau mengganggu kesibukannya," jawabku jujur.

"Oh, begitu. Ya, sudah cepat makan dan minum teh kamu, ya, Nak.
Setelah itu kamu istirahat," ucap beliau mengerti dan juga perhatian.

"Iya, Bu. Ibu juga makan yang banyak, biar selalu sehat dan kuat," jawabku dengan senyuman.

Dalam doaku, setiap hari. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan, dan umur yang panjang oleh Allah.

"Iya, Sayang," ucap beliau sambil mengelus rambutku, sebab Ibu duduk sebelahku.

"Ibu sudah selesai, kamu habiskan dulu makanannya. Ibu ke kamar duluan, ya, Nak. Selamat istirahat, Sayang,'' lanjut beliau sambil mencium puncak kepalaku, setelah itu beliau beranjak ke kamarnya.

"Selamat istirahat juga, Bu," jawabku sambil tersenyum.

Setelah Ibu ke kamar, aku pun baru saja menyelesaikan acara makan malamku. Lalu kuhabiskan teh buatan Ibu.

Kucuci gelas serta piring, agar tidak memberatkan Ibu di esok hari. Kemudian aku pun pergi ke kamarku dan bersiap tidur.

Saat diri ini sudah berbaring dan mencoba untuk tidur. Namun, yang ada malah bayangan Mas Haris menari-nari dalam pikiranku. Aku pun tidak dapat tidur, dan mengingat semua kenangan bersamanya.

Sebelum mengenal Mas Haris, aku adalah wanita mandiri. Hidup berdua dengan Ibu, menjadikanku wanita yang tidak bergantung pada orang lain.

Setiap gajian, sebagian uang dari gaji kutabung. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa membeli sebuah motor metik, hasil jerih payahku sendiri.

Namun, semenjak ada Mas Haris. Aku jarang membawa motor bila ke tempat kerja, karena dia yang selalu mengantar jemputku ke tempat kerja.

Mas Haris sering melarangku membawa motor, di saat aku pulang kerja pas sift malam. Karena dia mengkhawatirkan keselamatanku, ketika membawa motor pas malam.

Jadi dia berinisiatif mengantar- menjemputku ke tempat kerja, dengan syarat kapan pun butuh harus menghubunginya. Namun, aku tidak mau memanfaatkan kebaikannya itu.

Selama hampir seminggu ini, Mas Haris mulai tidak pernah menjemputku lagi, sudah puluhan pesan yang kukirim padanya. Namun, jarang di balas.

Dia hanya mau mengangkat teleponku, itu pun hanya sebentar. Aku pun tidak bisa menuntut banyak, sebab dia telah memberitahu kalau saat ini Mas Haris tengah sibuk dengan pekerjaan kantornya.

Dalam telepon, dia mengatakan kalau dia sedang sibuk di kantor. Nanti dia akan mengusahakan menghubungiku. Aku pun percaya dan menunggu, tapi sampai malam ini dia masih belum juga meleponku.

Kuambil ponsel yang berada di atas meja samping tempat tidur, lalu ku coba meneleponnya. Tetap sama hanya operator yang menjawab, dan mulai kukirim pesan padanya karena rasa penasaran dan juga rindu suaranya.

[Mas ... kenapa nomernya, nggak aktif. Aku merindukanmu, Mas. Jangan menghindariku, ya.]

[Setelah malam itu, Mas Haris sudah jarang menghubungiku, kenapa? Aku takut, Mas. Mas melupakan janji yang Mas Haris buat.]

[Setelah membaca pesanku ini, telepon Sena, ya. Aku mencintaimu, Mas.] pesan kukirim, dan berharap Mas Haris akan menghubungiku. Agar rasa keresahan di hati ini hilang.

Setelah mengirim pesan pada Mas Haris, aku mencoba memejamkan mata ini dan berharap cepat tertidur.

***

Terdengar sayup-sayup suara Adzan subuh telah berkumandang, aku pun beringsut bangun dari tempat tidurku langsung ke kamar mandi, setelah selesai dengan urusanku di kamar mandi lalu kuambil wudhu.

Aku memulai salat dua rakaat, begitu selesai hanya doa-doa mohon ampunan, dan doa untuk orang-orang yang kucintai.

Begitu selesai salat, aku memsihkan rumah dan mengepel lantai. Sebelum pergi ke rumah Mas Haris, untuk melihat bagaimana kabarnya.

Kulihat Ibu baru selesai salat subuh, aku bersyukur mempunyai Ibu yang baik serta taat beribadah dan itu membuatku termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Bersambung

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang