Bab 5 🍁 Rindu Yang Terobati
Lembayung senja mengusik cakrawala, membawa angan serta asa. Sejuk semilir menerpa raga, terkatup kalbu membawa rindu pada dirinya.
Seperti puisi, itu yang tengah kurasakan, kala hati ini begitu rindu padanya. Namun, sedari semalam Mas Haris juga belum menghubungiku. Rasa rindu ini, tidak bisa kubendung lagi.
Selain terselip rasa khawatir akan keadaanya, dan rasa takut jikalau dia mengingkari janji yang sudah ia buat seminggu yang lalu.
Suasana pagi yang cerah. Namun, sang surya belum menampakkan sinarnya. Kulajukan motorku ke rumah Mas Haris, sengaja datang pagi ke rumahnya. Karena hanya di pagi hari dia masih di rumah, dan itu kesempatanku untuk bertemu dengannya.
Di tengah perjalanan, kuhentikan motorku di pasar dahulu untuk membeli buah tangan. Sengaja ku belikan jajan pasar dan buah-buahan, sebab toko kue yang biasa kudatangi masih tutup.
Setelah selesai membeli buah tangan, kulajukan kembali motorku menuju rumahnya. Cukup jauh memang, tapi tidak menyurutkan niatku yang ingin melihat keadaannya dan sedikit mengobati rinduku.
Tiga puluh menit kemudian, kubelokkan motorku ke pelataran rumah Mas Haris. Kebetulan terlihat mama Mas Haris sedang menyiram bunga, tanpa membuang waktu kuparkirkan motor lalu menghampiri beliau.
"Assalamu'alaikum, Tante," kuucapkan salam pada mama Mas Haris, sembari mengulurkan tangan mencium punggung tangan beliau.
Namun, mama Mas Haris hanya menyentuh tanganku sedikit lalu melepaskan dengan sedikit kasar sembari membalas salamku.
"Wa'alaikumussalam ... ada keperluan apa? Pagi-pagi sudah kemari?" tanya mama Mas Haris dengan nada ketus.
"Saya ingin bertemu dengan Mas Haris, Tante. Oh, maaf ini sedikit oleh-oleh semoga Tante suka," ucapku sopan, sambil mengulurkan buah tangan pada beliau.
"Bawa saja pulang itu, di rumah saya sudah banyak. Haris sudah berangkat ke kantor, jadi lebih baik kamu pulang saja," usir mama Mas Haris.
"Bukannya ini masih terlalu pagi pergi ke kantor, ya. Izinkan saya menemui Mas Haris sebentar, Tante. Saya mohon," ucapku tak percaya, sambil memohon agar aku bisa dipertemukan dengan Mas Haris.
"Kamu ini! Sudah dibilangin sudah berangkat, ya, sudah berang---"
Ucapan mama Mas Haris terpotong, ketika terdengar suara yang kukenal.
"Ma ... kenapa selalu berkata kasar sama Sena? Apa tidak bisa Mama sedikit lembut padanya, dia wanita yang ku cintai, Ma!" ucap Mas Haris tiba-tiba, sambil menghampiriku, terlihat dia sudah rapi dengan pakaian kantornya.
"Ya! Mama memang tidak bisa berkata lembut padanya karena Mama tidak suka, apalagi kamu berhubungan dengannya Mama sama sekali tidak suka," Marah mama Mas Haris sambil menunjuk ke arahku.
Aku yang mendapat penolakan begitu sedih, bukan sekali ini beliau berkata kasar dan itu membuatku sedih.
"Ta-tapi Haris mencintainya, Ma," ucap Mas Haris terlihat ragu, dan itu terlihat dari sorot matanya.
"Cih, cinta! Hanya omong kosong, Mama tahu sifat kamu, Haris. Mama yakin kamu hanya main-main dengannya. Pokoknya Mama sama Papa tidak akan merestui hubungan kalian, jadi lebih baik cepat putuskan hubunganmu dengannya," jawab mama Mas Haris, sambil masuk ke dalam rumah.
Kusembunyikan kesedihan di wajah ini, dari orang yang amat kucintai. Namun, tetap saja dada ini terasa sesak. Hingga netraku terasa panas seolah akan tumpah air mataku, tapi sebisa mungkin kutahan.
"Sena kenapa kamu datang kemari, sih? Apa tidak bisa menghubungiku saja, biar nanti Mas yang menemuimu,'' ucap Mas Haris dengan nada datarnya.
"Apa? Menghubungi Mas dulu? Bukannya aku sudah puluhan kali menelepon, dan sudah ratusan pesan yang kukirim. Tapi apa? Nomer Mas nggak aktif, lalu siapa yang salah di sini, hah!" marahku.
"Setelah malam itu, Mas Haris seolah lupa padaku. Mas tidak pernah lagi menghubungiku bahkan mengantar jemputku ke tempat kerja juga tidak, hiks, kenapa?"
"Apa salahku, Mas. Apa Mas berusaha menghindariku, setelah membuat janji padaku waktu itu. Katakan sekarang, jangan biarkan aku berburuk sangka padamu Mas!'' ucapku beruntun, meminta kejelasan padanya.
"Maaf, Sayang. Akhir-akhir ini memang Mas sangat sibuk sekali, dan tidak sempat menghubungimu. Mas tidak lupa sama kamu, Sayang. Hanya saja waktunya tidak ada, dan Mas harus fokus bekerja dan sengaja mematikan ponsel biar bisa fokus bekerja," rayu Mas Haris sambil membingkai wajahku, dengan senyumannya.
"Benar hanya sibuk, dan tidak berusaha menghindariku 'kan Mas?'' tanyaku yang masih penasaran.
"Iya, Sayang. Mas tidak punya niatan menghindarimu, kok. Maaf, ya, tidak pernah menelepon dan membalas pesan kamu. Karena di kantor amat sibuk sekali, sudah jangan menangis. Maafkan kata-kata Mama juga, ya," jelasnya, yang membuatku lega.
"Kamu tahu sendiri, selain Mas bekerja jadi pengacara. Mas juga harus bekerja di perusahan Wijaya Grup," lanjutnya menjelaskan, sambil memelukku.
"Baiklah, aku percaya denganmu Mas. Tapi janji padaku dulu, kalau ada waktu luang jangan lupa menghubungiku, ya," bisikku, yang masih bisa di dengar Mas Haris.
"Iya janji, Sayang." ucap janjinya, lalu mencium keningku, kemudian dia memelukku kembali.
"Ahh, rasanya hangat sekali. Rindu sekali sama, pelukan hanyat Mas Haris," ucapku sambil senyuman, dan menghirup aroma parfum khas miliknya.
"Benarkah ... baiklah biar Mas peluk kamu sepuasnya, jadi seperti ini terus, ya. Tapi, apa kamu tidak malu dilihatin orang yang lewat di jalanan sana," goda Mas Haris, sambil terkekeh.
"Nggak juga, Mas. Ya sudah, aku pulang dulu. Mas hati-hati kalau berangkat ke kantor, dan ini tolong bawa masuk ke dalam. Semoga Mama Mas suka, meski tadi beliau tidak mau menerimanya," ucapku sambil melepaskan pelukan, lalu mengulurkan buah tangan padanya.
"Iya, Sayang. Kamu hati-hati, ya, kalau bawa motor dan pakai helm kamu dengan benar," jawab Mas Haris lembut, sambil mengambil helm lalu memasangkan helm di kepalaku.
"Iya, Mas. Terimakasih buat perhatiannya, dan tolong luangkan waktu nanti malam atau besok. Kita harus bicara, dan aku berharap kamu bisa meluangkan waktu untuk itu," ucapku sembari menatap netranya.
"Iya, Mas akan usahakan sekarang pulanglah karena sebentar lagi Mas juga berangkat ke kantor. Maaf, Mas tidak bisa mengantarmu," jawabnya dengan raut wajah yang tidak bisa kutebak.
"Baiklah, aku pulang. Assalamu'alaikum ...," pamitku padanya.
"Wa'alaikumussalam ...."
Aku pun pulang dengan hati yang lega dan juga bahagia, karena Mas Haris tidak menghindariku atau pun melupakan janjinya. Dia hanya sedang sibuk, dan aku akan berusaha mengerti akan kesibukannya.
Meskipun tadi mama Mas Haris belum juga menerima hubungaku dengan putranya, tetapi aku akan berusaha mendapatkan hatinya.
Aku harus menyiapkan hatiku, untuk menaklukan hati mama dan papanya. Meskipun itu tidaklah mudah, tetapi, aku sudah siap. Jikalau kata-kata kasar akan terdengar di telinga ini, aku yakin nanti bisa melaluinya. Selama Mas Haris mencintaiku, dan selalu bersamaku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Cinta sena Anjani
General FictionSebuah insiden kecelakaan, membawa kehidupan Sena Anjani ke dalam titik terendah. Kehilangan putranya yang baru beberapa tahun ia lahirkan, membuat ia hampir gila. Kesedihan Sena, bertambah ketika tunangannya yanh ia lindungi tega mengkhianati cinta...