Part 24

337 15 0
                                    

🍁 Kebenaran Yang Menyakitkan

"Tuan," panggilku, sembari menarik lengan Narendra sedikit menjauh.

"Apa lagi, Sena. Kenapa menariku ke mari?" tanya Narendra dengan nada tidak suka.

"Saya sangat gugup sekali, bisa saya pergi ke toilet sebentar," izinku padanya.

"Apa kamu mau kabur, dari sini? Dengan alasan pergi ke toilet, begitu," ujarnya berprasangka buruk padaku.

"Ihh, Tuan. Bagaimana saya bisa kabur, kalau Anda tidak pernah melepaskan saya barang sebentar saja," jawabku kesal.

Bagaimana dia bisa berpikiran begitu. Kalau aku kabur, sudah dari tadi, pas ada di butik.

"Pergilah, aku beri waktu lima belas menit. Jika lebih dari waktu itu, aku akan mencarimu. Bahkan ke dalam toilet sekali pun," ujarnya pasrah.

"Iya," jawabku, sambil mulai melangkah.

Namun, langkahku terhenti ketika Mas Haris, putri dan kedua orang tuanya menghampiriku dengan Narendra yang berada di belakangku.

Narendra yang mengerti akan kedatangan Haris sekeluarga, langsung mensejajarkan tubuhnya denganku.

Bahkan tangan kirinya telah melingkar di perutku, sesaat aku terkejut dan langsung menghadap ke arahnya dengan tatapan tanya.

"Sena ... kenapa kamu bisa datang dengan Pak Narendra?" tanya Putri, dengan rasa ingin tahunya dan tatapannya mengarah ke lengan Narendra di perutku.

"A--aku ...."

"Dia datang bersamaku, apa kamu tidak melihat kalau saat ini aku sedang merangkulnya," potong Narendra dengan nada datar, sedangkan tatapannya masih mengarah padaku.

"Selamat malam, Pak," sapa Mas Haris dan kedua orang tuanya. Namun, Narendra sama sekali tidak menjawab. Dia malah asyik menatapku.

Sesaat aku melihat ke arah Putri dan Mas Haris, pandangan keduanya seperti tidak suka saat melihat keberadaanku dalam pesta ini. Apalagi dengan sikap Narendra yang tiba-tiba berubah possesive padaku, dan menunjukkan pada mereka.

"I--iya, aku datang bersamanya," jawabku canggung pada Putri.

"Sayang, bukankah tadi kamu ingin ke toilet, sekarang pergilah. Jangan lama-lama, dan cepat kembali. Aku menunggumu," ujar Narendra panjang.

Entah apa maksud Narendra bersikap manis padaku, apalagi di depan Mas Haris, putri dan kedua orang tua Mas Haris.

Bahkan Narendra tanpa malu, mengelus pipiku lembut dan menyelipkan rambu ke belakang telinga.

Aku yang di perlakukan seperti itu, bukannya senang. Yang ada, aku merasa takut. Lebih baik dia bersikap seperti biasanya, kasar dan dingin.

"Kenapa malah diam? Apa kamu terpesona padaku, hmm ...," lanjutnya, sembari membelai pipiku dengan punggung jari tangan kanannya.

Tanpa membalas ucapan Narendra, aku bergegas pergi ke toilet seperti niatku sebelumnya. Saat aku baru melangkah beberapa langkah, terdengar suara Putri yang sedang berpamitan pada Mas Haris ingin pergi ke toilet juga.

"Sayang ... aku ke toilet sebentar, ya," pamit Putri dengan suara manjanya, dan itu membuatku kesal.

***

Aku terus melangkah menuju toilet yang lumayan jauh dari ruang ballroom, di belakangku terdengar langkah. Tanpa melihat pun, aku tahu dia adalah Putri.

Sampai di toilet setelah menyelesaikan urusanku dalam toilet, kini aku sedang mencuci tangan dan melihat tampilanku di dalam cermin.

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang