Bab 8 🍁 Pura-pura Pingsan
"Kenapa, kamu diam? Apa kamu tidak mau bertanggung jawab dengan apa yang kau timbulkan tadi," sarkas pria tampan di depanku.
Sedangkan aku masih diam, dan berpikir bagaimana caranya bisa terlepas dari masalah ini. Bukan karena aku tidak mau bertanggung jawab, ya.
Cuma aku tidak punya cukup uang, untuk memperbaiki mobil mewah miliknya. Bahkan tabunganku saja tidak akan cukup, membayar ongkos bengkel perbaikan mobilnya nanti.
"Apa? Kenapa kamu menatap saya, dengan pandangan memelas begitu. Saya tidak akan mudah tertipu tahu," ucap Narendra dengan nada datarnya.
Benar saja aku menatapnya dengan pandangan memelas, berharap pria tampan itu mau memaafkan lalu melupakan insiden tadi. Tapi, nyatanya tidak, dia terus bergumam seperti layaknya wanita saja.
"Bukan seperti itu, Tuan. Maafkan kejadian yang tadi, ya," mohonku berharap pria di depanku berubah pikiran dan mau berdamai.
"Tidak! Saya tetap dengan pendirian saya, perbaiki mobil saya atau kamu mau saya laporin ke polisi. Karena tidak mau bertanggung jawab, dengan apa yang kamu perbuat tadi," ucap pria tampan masih dengan pendiriannya.
Haruskah, aku benar-benar berpura-pura pingsan saja. Biar Tuan tampan cerewet ini, tidak meminta ganti rugi lagi padaku. Ya, lebih baik pura-pura pingsan saja.
Kalau masalah motor, aku yakin mereka pasti akan mengurusnya. Namun, untuk sekarang ini jalan satu-satunya adalah penyelamatan diri. Biarkan nanti, dia berkata apa pun tentang diri ini yang penting uang dalam tabunganku selamat.
Ah, kenapa aku jahat begini, ya? Seolah lari dari tanggung jawab sama seperti ucapannya padaku tadi. Tapi, dia 'kan punya banyak uang. Meski tidak memakai uang dariku, pasti dia akan memperbaiki mobilnya dengan mudah apalagi dia juga sangat kaya raya.
Tanpa menghiraukan pria tampan kulihat keadaan motorku, yang juga lecet di bagian depan. Setelah itu kucoba menyalakannya, dan berharap tidak ada kerusakan atau macet dan alhamdulillah motorku dalam keadaan baik.
"Aduh, kenapa kepalaku pusing sekali?" keluhku sedikit keras, setelah selesai memeriksa motorku. Aku memegangi kepala dan berharap pria tampan itu iba.
"Sudah jangan pura-pura kamu karena saya tahu itu hanya akal--" kata Narendra tidak percaya.
Aku mulai menutup mata pura-pura pingsan, sebelum tubuh ini terjatuh ke aspal tiba-tiba kurasakan ada yang menyangga tubuhku.
"Hai--hai, buka mata kamu. Jangan pura-pura, cepat bangun," terdengar Narendra berkata sambil menepuk pipi ini sedikit keras.
Kenapa dia tidak bisa lembut sedikit? Dia menepuk pipiku lumayan keras 'kan sakit, tapi aku berusaha tetap menutup mata. Lalu terdengar, nada sedikit panik darinya karena tidak mendapatkan jawaban dariku.
"Menyusahkan saja," keluh Narendra.
Setelah mendengar dia mengeluh, tiba-tiba kurasakan tubuh ini seperti melayang. Narendra mulai membopong, sesaat aku terkaget tapi tetap kupertahankan agar tidak berteriak dan membuka mata.
Narendra mulai berjalan, sambil berbicara pada pria berpakaian hitam.
"Surya ... kamu bawa motor itu, biar aku yang membawa mobil," ucap Narendra sambil kurasakan dia mulai melangkah menuju mobilnya.
"Kita ke rumah sakit," lanjutnya.
Kurasakan tubuh ini sudah berada di kursi dalam mobil tepatnya di belakang kursi penumpang. Sedikit kubuka mata, sambil melihat pria tampan itu mulai mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.
Aku berharap Narendra benar-benar membawaku ke rumah sakit, jangan sampai ke kantor polisi aku 'kan takut.
***
Tidak sampai lima belas menit, akhirnya mobil yang di kendarai Narendra berhenti. Karena rasa penasaran dalam diri, dimana dia memberhentikan mobilnya.Akhirnya aku mencoba mengintip dan bersyukur dia tidak membawaku ke kantor polisi.
Setelah turun dari mobilnya, Narendra membuka pintu lalu mengangkat tubuhku kembali. Bukannya membopong seperti tadi, yang ada dia mengangkat tubuhku layaknya karung beras.
Sungguh dia benar-benar tidak memperlakukanku seperti seorang wanita, tidak ada lebutnya sama sekali dia.
Sesampai di dalam rumah sakit, terdengar Narendra berbicara pada dokter jaga.
"Dokter tolong periksa wanita ini, dari tadi dia pingsan dan belum bangun-bangun juga,'' terdengar suara Narendra bicara.
"Baik, Pak. Mari ikuti saya," terdengar suara wanita menjawab.
Setelah sampai di ruangan, aku di baringkan di brankar pasien. Kemudian dokter pun mulai memeriksa tubuhku dan kurasakan dokter juga mengobati luka yang ada di lenganku.
Saat dokter tengah memeriksa dan mengobati lukaku, terdengar suara telepon dan aku yakin itu suara ponsel milik Narendra.
Terdengar dia mulai berbicara pada seseorang yang meneleponnya, terdengar suara wanita. Karena posisi dia berada di sampingku
"Bagaimana keadaannya, Dok? karena saya tidak mempunyai cukup waktu untuk menunggu wanita ini. Karena saya masih ada keperluan," tanya Narendra dengan nada buru-buru.
"Oh ... saya rasa pasien ini tidak apa-apa, hanya perlu istirahat. Untuk lukanya, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Karena tidak ada luka yang serius, dalam beberapa hari ini juga sembuh, kok. Saya akan memberikan vitaman dan obat untuk lukanya," terdengar dokter menjawab dengan nada ramahnya.
Tok, tok.
"Maaf, Pak. Ini tas dan juga kunci motor, Mbak yang tadi," tiba-tiba terdengar suara orang dan aku yakin itu pria yang bersama Narendra.
"Taruh di meja sana." Narendra menjawab pria tadi.
"Surya, urus semua administrasi wanita ini. Setelah itu kita pulang," ucap Narendra yang masih kudengar.
"Baik, Pak," setelah menjawab ucapan Narendra terdengar suara sepatu mulai berjalan menjauh, kurasa pria tadi langsung melakukan apa yang Narendra katakan.
"Dok, saya permisi dulu. Tolong titip wanita ini, mungkin besok saya akan datang lagi. Masalah pembayaran administrasi wanita ini, sudah di urus orang kepercayaan saya tadi," kata Narendra dan itu membuatku senang.
Karena setelah ini dia akan pulang, dan aku bisa bebas darinya.
"Iya, Pak. Silahkan, saya akan menyuruh Suster untuk memantau keadaannya."
Setelah dokter menjawab perkataan Narendra, terdengar suara sepatu yang mulai menjauh begitu pun dengan dokter. Saat situasi sudah sepi, aku langsung membuka mata dan mencari di mana tas dan juga kunci motorku.
Aku turun dari brankar lalu mulai mengambil tas serta kunci motor, langsung kudekap tas dan kunci motorku sambil berucap syukur.
Karena setidaknya pria tampan itu tidak menahan tas mau pun motorku, meskipun dia terlihat dingin dan kasar tapi kurasa dia juga mempunyai hati yang baik.
Aku sengaja menunggu sampai waktu berlalu selama lima belas menit, biar Narendra dan orang kepercayaanya pergi dulu. Setelah memastikan situasi aman, aku pun pergi meninggalkan kamar inap, tanpa mengambil obat terlebih dahulu.
Sesampai di luar rumah sakit, aku mulai mencari di mana motor metikku di parkir. Setelah menemukannya, aku mulai mengendarai motor bersiap untuk pulang ke rumah.
Meskipun malam semakin larut, tapi jalanan masih cukup ramai akan kendaraan yang masih berlalu-lalang. Bersyukur rumahku dekat dengan jalan raya, dan tidak jauh dari rumah sakit tadi.
Jadi aku bisa cepat sampai di rumah, saat turun dari motor. Sudah terlihat Ibu di teras menyambut kepulanganku, dengan raut wajah khawatirnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Cinta sena Anjani
General FictionSebuah insiden kecelakaan, membawa kehidupan Sena Anjani ke dalam titik terendah. Kehilangan putranya yang baru beberapa tahun ia lahirkan, membuat ia hampir gila. Kesedihan Sena, bertambah ketika tunangannya yanh ia lindungi tega mengkhianati cinta...