Part 13

249 11 0
                                    

Bab 13 🍁 Mimpi

"Assalamu'alaikum, Bu. Kok, masih sibuk, sih, ini sudah malam lho. Istirahat dulu, ya, besok baru di lanjutin lagi," omelku, setelah mengucapkan salam, sambil mencium punggung tangan beliau yang belepotan karena tepung.

"Wa'alaikumussalam, Nak. Sudah pulang, Sayang," jawab Ibu sambil tersenyum lembut, menerima uluran tanganku.

"Ini ada pesanan kue dari langganan Ibu, katanya besok ada arisan di rumahnya. Jadi pelangan Ibu yang punya rumah di komples sebelah pesan kue lumayan banyak, Nak."

"Ibu tidak mau menolak rejeki, apalagi rejeki yang halal seperti ini. Ibu akan melakukannya dengan senang hati, kamu tidak perlu khawatir, ya, Sayang," jelas beliau menenangkan.

"Iya sudah, yang penting Ibu tetap harus jaga kesehatan, ya," gumamku di balik punggung beliau, karena saat ini aku memeluk Ibu dari belakang.

Entah mengapa aku ingin berada di dekat beliau seperti saat ini, ingin rasanya mencurahkan segala isi hati ini. Agar hati ini sedikit tenang, apalagi mengingat kejadian tadi.

Tubuh yang tergeletak di tanah, dengan tubuh di penuhi darah. Aku mengingat semua kejadian tadi, dan itu membuat hati ini gelisah.

Aku tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi esok hari.

Semoga saja semua ada jalan keluarnya, hingga Mas Haris tidak sampai berurusan dengan pihak berwajib.

Aku tidak bisa membayangkan semua, karena itu membuatku takut saja.

"Bu, bolehkah Sena bertanya?"

"Boleh dong, Sayang. Memangnya mau tanya apa, hmm?" jawab beliau lembut sembari menuntunku untuk di kursi, Ibu pun ikut duduk di sebelahku.

"Ini hanya seandainya, ya, Bu. Jadi Ibu jangan marah atau khawatir," ucapku lembut, sambil meraih kedua tangan mulai keriput itu.

"Memangnya ada apa, Nak. Jangan buat Ibu bertanya-tanya," jawab Ibu cepat dan mulai fokus menatap wajah ini.

"Jika seandainya Sena pergi cukup lama, dan tidak bisa tinggal sama Ibu. Apa Ibu akan sedih, tapi ini karena pekerjaan, kok, Bu. Bukan hal aneh lainnya," ucapku tenang, entah mengapa aku bisa mengatakan kata-kata barusan.

"Memangnya, kamu dapat pekerjaan di mana, Nak? Kalau pekerjaan itu membuat masa depan kamu jauh lebih baik, dan bisa membuat namamu lebih baik. Maka kejarlah apa yang menjadi cita-cita kamu, dan Ibu akan mendukungmu," jawab Ibu penuh dengan nasehat, dan itu membuat diri ini merasa bersalah.

"Ibu tidak apa-apa, jika kamu pergi meraih kesuksesan kamu, Nak. Tapi ingat jangan sampai membuat masalah, atau berurusan dengan polisi jangan sampai, ya. Nak," lanjutnya sama penuh dengan nasehat.

"Iya, Sena mengerti, Bu. Sena tidak akan membuat masalah, apalagi berurusan dengan hukum. Sena mana berani, Bu," ucapku menenangkan.

"Baguslah, kalau begitu Ibu bisa tenang. Memang kapan kamu akan berangkat?" tanya Ibu, sambil menggenggam tanganku lembut.

"Tidak tahu, Bu. Mungkin minggu ini, Sena berangkat. Sebelum itu, Ibu harus janji dengan Sena. Kalau Ibu harus menjaga kesehatan dan jaga diri Ibu," ucapku berbohong, karena apa yang kutanyakan dari tadi hanya kebohongan.

"Iya, Ibu janji. Seperti katamu, Sayang. Ibu akan jaga diri dan jaga kesehatan Ibu. Kamu pun sama, harus jaga kesehatan, dan jangan lupa kabari Ibu tiap saat," jawab beliau penuh semangat, karena Ibu kira aku benar-benar akan pergi untuk bekerja, dan meraih cita-citaku ingin menjadi orang sukses.

"Ya sudah, kalau kamu tidak capek. Bisa tidak tolong bantuin Ibu sebentar, sedikit lagi juga sudah selesai," ajak beliau, agar aku membantunya.

"Tentu saja, Bu. Mana mungkin, Sena biarin Ibu membuat ini semua," jawabku semangat, sambil menunjuk kue-kue sudah jadi di meja.

"Terima kasih, Sayang," ucap beliau dengan senyum teduhnya.

Aku pun membalas dengan senyuman. Namun, dalam hati ini tidak tenang. Aku terus memikirkan Mas Haris, bayangan tubuhnya yang gemetar dengan deraian air mata.

Membuat hati ini merasa sakit, sungguh selama aku mengenal Mas Haris. Dia sama sekali tidak pernah menunjukkan kelemahannya, kalau pun dia ada masalah hanya wajah lesunya yang dia nampakkan.

Namun, tadi di saat dengan mata kepalaku sendiri. Mas Haris melihat korban yang dia tabrak tentu itu mengunjang batinnya, apalagi saat mengingat dia baru saja menjadi seorang pengacara dan di terima di perasaan besar.

Tentu Mas Haris takut jika kariernya hancur, dan takut di tatap sebelah mata oleh orang lain. Jika ketahuan dialah yang menabrak orang, apakah aku akan membiarkannya. Ini juga pilihan tersulit buatku.

Selama membantu Ibu, aku hanya terdiam sambil memikirkan keadaan Mas Haris.

"Nak, sudah malam. Tidurlah, biar Ibu yang melanjutkannya,'' ucap lembut Ibu, sembari menyentuh lenganku.

Seketika membuatku tersadar, dari lamunan. "Iya, Bu. Sena ke kamar dulu, ya," jawabku patuh, langsung beranjak ke dalam kamar.

Sampai di kamar, aku langsung membersihkan diri. Setelah itu kuambil wudu, dan salat isya yang belum sempat kulaksanakan.

Selesai salat, aku bermunajad memohon ampun dan meminta petunjuk. Agar apa yang kualami dengan Mas Haris tadi bisa kami lewati tanpa membuat kami berpisah.

Setelah selesai dengan kewajibanku, aku mulai berbaring dan bersiap tidur. Selain capek, mata ini juga mulai mengantuk. Namun, tidak dengan hati ini, masih saja resah dan terus terpikir tentang kecelakaan tadi.

Tidak lama aku pun mulai tertidur, sejenak diri ini merasa berada di dalam ruang gelap. Namun, tiba-tiba berubah terang, dan di sana terlihat diriku yang bekerja di kafe seperti biasanya.

Kulihat di situ, diriku sedang di marahi seorang pria. Bahkan pria itu berkata kasar dan ingin memukulku, aku yang di situ mulai ketakutan.

Aku langsung menutup wajahku, dengan kedua telapak tanganku.

Namun, tidak kurasakan pukulan itu. Aku mencoba membuka mataku, dan melihat kenapa pria tadi tidak sampai memukulku.

Ternyata, ada pria tampan yang tidak lain adalah Mas Haris sedang menahan kepalan pria di depanku.

Mas Haris di situ terlihat marah, bahkan dengan kerennya langsung membelaku. Dia memukul pria yang ingin berbuat kasar denganku.

"Jangan kasar dengannya, jika tidak ingin kamu berhadapan denganku!" ucap Mas Haris di situ, sambil menyembunyikan tubuhku di belakang punggungnya.

"Kenapa kamu ikut campur dengan urusanku, pergi kamu! Jika tidak, aku akan menghajarmu," ancam pria itu dengan wajah garangnya.

''Tentu saja ini menjadi urusanku, karena gadis ini adalah pacarku. Jadi, aku sama sekali tidak takut denganmu, Pak tua," tantang Mas Haris di situ, tanpa rasa takut.

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba diri ini di bawa ke tempat gelap. Bahkan aku mulai berjalan dalam lorong, saat aku melihat ke arah depan terlihat Mas Haris dengan pakaian tahanan dengan kedua tangannya di borgol.

"Mas ... Mas Haris," panggilku, sembari ingin mendekatinya.

Namun, di situ Mas Haris hanya tersenyum kecut dan mengucapkan salam perpisahan.

"Jaga diri kamu, Sayang," jawab Mas Haris dengan senyuman yang tidak kusuka, lalu dia masuk ke dalam ruangan beruji besi di ikuti kedua sipir di sisi kanan dan kirinya.

Seketika aku berteriak.

"Jangan-jangan tinggalkan aku, Mas. Mas ...," panggilku dengan kencang.

Setelah itu aku pun terbangun, dari tidurku. Dengan keringat dingin mengucur di seluruh tubuh, bahkan degub jantungku masih bertalu karena takut. Aku pun tidak rela dia berada di dalam sana.

Bersambung

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang