Bab 3

322 17 0
                                    

🍁 Hilang Kabar

Seperti biasa aku bekerja di sebuah kafe yang lumayan rame dengan para pengunjungnya, karena kafe tempatku bekerja memang terkenal di semua kalangan. Kebetulan hari ini aku mendapatkan shif malam, menggantikan teman yang sakit.

Hari ini kafe sangat ramai, karena saat ini malam minggu. Ada pasangan muda-mudi, juga pasangan suami-istri. Terlihat mereka begitu menikmati, saling bercanda dan memuji pasangan masing-masing.

Tidak seperti malam minggu biasanya, Mas Haris pasti akan mengabari dan mengajakku untuk malam mingguan seperti pasangan muda yang lainnya. Mungkinkah dia begitu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga lupa mengabariku.

Setelah malam di hotel waktu itu, jangankan menelefon mengirim pesan hanya bisa di hitung dengan jari. Jika saja aku tidak menelefon atau kirim pesan duluan, dia pasti akan melupakanku.

Aku berharap dia tidak berubah, dan mengingkari janjinya untuk menikahiku. Apalagi setelah dia mengambil hal yang  paling berharga dalam diriku, ya, semoga saja dia tidak berubah.

"Hai, ngelamun terus," ucap Putri sahabat karibku, tiba-tiba datang mengagetkanku.

"Ngagetin aja kamu, Put," jawabku, sambil memegang dada karena kaget.

"Hehee, maaf. Habisnya, aku lihat sedari tadi ngelamun terus. Apa kamu ada masalah, Na?" tanyanya perhatian.

"Nggak ada, cuma senang saja lihat mereka sedang menghabiskan malam minggu. Sedangkan aku ada di sini, kerja," jawabku sambil menghela nafas.

"Namun, ada kamu di sini, Put. Jadi aku merasa tidak sendiri. Tapi, kamu 'kan tidak punya pacar. Malam minggu dan tidak malam minggu pun sama, hehee ...."

Meskipun dia mempunyai wajah yang cantik, malah lebih cantik dariku. Namun, aku sama sekali tidak pernah melihat dia jalan bareng sama pacarnya.

"Enak saja bilang belum punya pacar, aku sudah punya pacar tau. Memang sengaja tidak ku tunjukkan sama kamu, biar jadi pacar rahasiaku," jawab Putri sambil memukul lenganku pelan.

"Idih ... punya pacar rahasia, nih. Turut senang aku, akhirnya kamu punya pacar juga, Put. Meskipun kamu tidak mau memperkenalkannya padaku," ucapku lesu, karena Putri sudah mulai berubah.

Dia tidak lagi terbuka, sedangkan rahasiaku dia mengetahui semua kecuali malam di hotel itu.

"Makasih, Sena. Maaf ya, aku belum siap memperkenalkan kamu sama cowokku," bisiknya, sambil memelukku.

"Iya ... tidak apa-apa, itu hak kamu. Tapi aku masih penasaran siapa pacar kamu, jadi lupa memperkenalkanku ketika kamu sudah siap," jawabku tersenyum sambil membalas pelukannya.

"Tentu saya, Sena. Aku pasti akan memperkenalkanmu dengannya nanti," ucap Putri setelah melepaskan pelukannya. "Sekarang kita ke depan, sudah habis waktu istirahatnya," ajak Putri, dan kubalas dengan anggukan kepala.

Aku pun bergegas melangkah keluar dari ruang istirahat karyawan, kulihat Putri tengah menerima panggilan telefon. Lalu dia mengisyaratkanku, untuk pergi dahulu.

***

"Put, mau kemana? Kok sudah ganti pakaian," tanyaku saat melihat putri akan keluar kafe.

"Oh ... ta-tadi dapat telepon dari rumah. Di suruh pulang cepat oleh Ibu, jadi aku minta izin sama Manager," jawab Putri terbata, entah mengapa dia merasa gugup saat menjawab pertanyaanku.

"Gitu ... terus pulangnya sama siapa, dan siapa yang menjemput?" tanyaku penasaran dan ingin tahu, entah mengapa aku ingin tahu dengan siapa dia akan pulang.

"Di jemput ... ya, di jemput sama pacarku 'lah. Ya, sudah aku pulang dulu, ya ... daa ...." jawabnya sambil berlalu, entah mengapa aku merasa tidak puas akan jawabannya.

Aku masih berdiri di tengah pintu masuk kafe, sambil melihat punggung Putri sahabatku kian menjauh. Hingga aku di kejutkan suara lembut mengagetkanku.

"Maaf, Nona. Bisa tidak, Nona minggir sebentar karena saya ingin masuk ke dalam," ucap wanita anggun di depanku, dengan nada sopan.

"Oh, maafkan saya. Silahkan masuk," jawabku malu, lalu sedikit menggeser tubuh dan mempersilakan kedua pasangan yang amat sempurna itu memasuki kafe.

Kuikuti pasangan yang amat mesra itu, hingga keduanya mengambil tempat duduk. "Anda mau pesan apa Nona, dan Tuan mau pesan apa?" tanyaku sesesopan mungkin.

"Buatkan saya orange jus, dan untuknya kopi hitam saja," jawab wanita di depanku dengan senyumannya.

"Baiklah, tunggu sebentar," ucapku setelah mencatat pesanan lalu, aku bergegas ke belakang restoran.

Tidak sampai sepuluh menit pesanan pasangan tadi sudah siap, aku pun membawa pesanan itu dalam baki menuju ke meja yang tadi. Saat ingin menyajikan pesanan di meja, karena kecerobahanku.

Kopi yang masih panas itu, tumpah dan mengenai paha wanita cantik yang tengah duduk di samping kananku.

"Akh, panas!" teriak wanita cantik itu dia langsung berdiri, sambil mengelap-ngelap dres selutut miliknya.

''Sayang ... apa sangat sakit?" tanya pria yang semula fokus dengan ponselnya, terkaget ketika mendengar suara orang yang di cintai menjerit.

"Apa yang sudah kamu lakukan padanya, hah! Lihat pahanya sampai merah begitu? Apa kamu tidak punya mata, hingga kamu berani menumpahkan minuman di tubuh wanitaku!" bentak pria tampan di hadapanku, sambil mencengkeram lenganku kuat.

"Ma-maaf, maafkan saya Tuan, saya tidak sengaja menumpahkan minuman itu, sungguh saya tidak sengaja," jawabku takut, sambil menahan sakit di pergelangan tangan kiriku, sesaat aku bisa melihat sorot matanya yang dipenuhi kemarahan.

"Maaf, hanya maaf katamu! Cihh, aku tidak butuh maafmu, apalagi ada orang yang berani menyentuh apalagi melukai milikku! Kamu harus mendapatkan bala---" ucapan pria tampan itu, terpotong ketika ku lihat wanita di samping tadi mengenggam tangan pria di depanku, sambil berkata dengan nada lembut.

"Sudah, Sayang. Jangan marah, dia mungkin tidak sengaja. Ayo duduk lagi, malu dilihatin banyak orang," ucap wanita cantik itu lembut, sambil menatap wajah prianya.

Pria di hadapanku yang semula masih mencengkeram tanganku, mulai melespakan tangannya meski sorot matanya memancarkan kemarahan.

"Bersyukurlah malam ini aku melepaskanmu, karena wanitaku! Tapi tidak lain kali, jika kamu berani melakukan hal yang sama," ucap pria itu dingin.

"Terimakasih, Tuan," jawabku, sedikit menunduk meski aku mendapatkan balasan pancaran kebencian dari sorot matanya.

"Sekali lagi maafkan saya, Nona. Saya tadi benar-benar tidak sengaja," lanjutku merasa bersalah.

"Iya tidak apa-apa," jawab wanita cantik itu ramah, dan mau memafkan sungguh aku masih merasa bersalah.

"Kita pulang saja, gaun kamu kotor, Sayang" ajak pria tampan itu lembut, pada wanitanya. "Iya, kita pulang. Jangan lupa bayar dulu, Sayang," jawab wanita cantik tak kalah lembut.

Pria tampan itu, mengambil dompet yang berada di dalam jasnya lalu mengeluarkan uang dan menaruhnya di meja. Setelah itu ia merangkul wanitanya, keluar dari kafe tempatku bekerja.

"Ihh, galak banget sih pria itu, saat marah tadi," ucap temanku tiba-tiba.

"Wajar saja dia marah, memang aku yang bersalah disini," jawabku yang masih merasa bersalah karena kecerobohanku tadi.

"Jangan lagi buat masalah dengan orang itu, jika kamu tidak ingin mendapatkan masalah darinya lagi," nasehat temanku.

"Memangnya kenapa? Apa kamu tau siapa mereka tadi, Rin?" tanyaku mulai penasaran.

"Yang pria tadi namanya Narendra Satya Wijaya, pewaris dari keluarga Wijaya Grup dan wanita tadi adalah istrinya Laura Salsabila, wanita yang sangat di cintai pria tadi.

"Jadi jangan sekali-kali lagi kamu berurusan dengannya lagi, apalagi sama pria bernama Narendra itu orangnya dingin dan kasar," saran Rina dengan nada serius.

Aku pun menganggukkan kepala tanda mengerti, dan berharap tidak bertemu lagi dengan pria tadi. Apalagi berurusan dengannya lagi.

Bersambung

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang