Bab 1

862 23 0
                                    

🍁 Kejutan Yang Indah

Sehabis salat magrib, aku dan Ibu tengah menyiapkan makan malam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, aku pun bergegas ke ruang tamu dan membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka terlihat Mas Haris, dengan pakaian rapi dan tidak ketinggalan senyumannya yang selalu membuatku terpesona. Sudah berdiri tepat di depan pintu.

Aku yang masih terpaku karena terpesona melihatnya, terkejut ketika  ia mengucapan salam.

"Assalamu'alaikum ... assalamu'alaikum, Sayang. Kenapa tidak menjawab salam Mas, melamunin apa, sih? Jangan bilang kamu lagi terpesona sama Mas, ya," ucap mas Haris beruntun padaku, sambil mengampit hidungku gemas.

"Wa-wa'alaikumussalam, Mas. Hmm ... apa tidak boleh terpesona sama pacar sendiri, ya," jawabku sambil merajuk.

"Ya boleh dong, Sayang. Bersiaplah sekarang, karena Mas ingin mengajak kamu ke suatu tempat. Dandan yang cantik, ya, Mas tunggu," ucap Mas Haris dengan nada lembut, dan itu selalu membuatku semakin mencintainya.

"Ya sudah, Mas masuk dan temuin Ibu dulu. Biar aku ganti pakaian, ya," jawabku, sambil mengampit lengan Mas Haris ke dalam rumahku yang sederhana.

"Iya, tapi cepat, ya. Soalnya biar tidak kena macet di jalan nanti."

Aku pun mulai beranjak ke kamar, yang tidak jauh dari ruang tamu. Iya, aku hidup hanya bersama Ibuku saja. Karena Ayah telah meninggal sedari aku masih kecil, namun Ibu tidak pernah mengeluh membesarkan ku seorang diri.

Aku pun menjadi wanita yang mandiri, meskipun aku hanya lulusan SMA tetapi alhamdullilah aku bisa bekerja dan membantu kebutuhan di rumah. Aku juga bersyukur bisa mempunyai seorang kekasih yang mau menerimaku, dengan segala kekuranganku maupun keadaanku.

Ibuku bernama Rahayu, dan
Kekasihku bernama Haris Purnama. Dia berprofesi sebagai seorang pengacara, dan baru beberapa bulan ini dia sudah resmi bekerja di salah satu kantor ternama milik keluarga Wijaya.

Entah mengapa hari ini Mas Haris mengajakku keluar. Biasanya dia akan mengajakku pergi, bila malam minggu tiba. Namun hari ini, masih hari selasa. Aku pun penasaran, kemanakah dia akan membawaku pergi.

Sengaja aku memilih gaun yang jarang kupakai, karena gaun polos berenda berwarna pink itu masih terlihat baru. Memang jarang aku membeli pakaian, maupun gaun baru. Sebab aku lebih memilih untuk menabung ketimbang membeli pakaian baru.

Tidak sampai lima belas menit, aku selesai dengan urusanku di dalam kamar. Ketika keluar terdengar Ibu dan Mas Haris tengah asik bercerita, hingga mereka tidak menyadari kehadiranku.

"Mas ... aku sudah selesai, nih. Kita jadi berangkat sekarang?" tanyaku mengagetkan mereka.

"Oh, iya Sayang. Kita berangkat sekarang," jawab mas Haris langsung berdiri dari duduknya. "Bu, saya pamit dulu. Mungkin agak larut saya mengantar Dek Sena, karena saya ingin mengajak dia ke suatu tempat," pamit mas Haris sama ibuku.

"Iya, Nak Haris. Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut kalau membawa mobilnya," nasehat ibuku mengingatkan. "Iya, Bu." jawab mas Haris dengan sedikit membungkuk, sembari mencium punggung tangan Ibuku. Aku pun melakukan hal yang sama, berpamitan lalu salaman sama Ibu.

***

Di dalam mobil, Mas Haris selalu menggenggam tanganku. Sesekali dia mencium punggung tanganku, dan itu membuatku malu.

"Mas ... lepas dulu tangannya, bahaya lho kalau menyetir dengan tangan satu," ucapku sambil menunduk malu.

"Tidak apa, Sayang. Ini 'kan sudah biasa, dan kenapa kamu mesti malu. Aku ini pacar kamu lho, Sayang," jawabnya menggodaku dengan santai, ia sedikit menoleh ke arahku lalu fokus kembali menyetir mobil. Namun tanganku sama sekali tidak ia lepaskan, dan itu membuatku pasrah.

Tidak lama mobil pun berhenti di area restoran yang cukup terkenal, Mas Haris turun lalu berlari kecil ke samping mobil dan membukakan pintu untukku. Setelah itu ia menggenggam tanganku dengan lembut, kemudian mengajakku masuk ke dalam restoran.

Tidak menyangka Mas Haris sudah memesan meja, dan kami pun mulai duduk. Sesaat aku bisa melihat Mas Haris membisikkan sesuatu pada pelayan restoran, kemudian sang pelayan pun pergi.

"Apa kamu suka tempatnya, Sayang. Ku harap kamu menyukainya," ucap mas Haris tiba-tiba, sambil meraih tangan kananku di atas meja.

"I-iya, suka. Tempat ini indah sekali, dan terimakasih sudah mengajakku kemari," jawabku kaget sekaligus bahagia, sembari melihat ke sekeliling restoran. "Syukurlah, aku senang mendengarnya," ucap mas Haris dengan senyuman lembutnya.

"Sekarang tutup mata kamu, dan jangan sampai mengintip. Jika kamu curang lalu mengintip, aku akan marah padamu," perintah Mas Haris sambil berdiri, lalu menutup mataku dengan menggunakan sapu tangannya.

"Kenapa harus pakai di tutup segala sih, Mas. Jadi gelap nih, aku tidak suka gelap, tau," rajukku.

"Cuma sebentar kok, Sayang. Aku janji akan ada di dekatmu, jadi jangan takut karena aku tidak akan meninggalkanmu," ucap mas Haris menyakinkanku.

Aku pun pasrah, dan menunggu sebenarnya apa yang akan terjadi. Sedikit lama menunggu, mungkin sekitar lima belas menit. Lalu aku mendengar suara Mas Haris, untuk membuka mataku.

"Sekarang bukalah mata kamu, Sayang," ucap mas Haris sedikit keras.

Aku pun mulai membuka penutup mataku, dan secara perlahan kubuka mataku. Betapa terkejutnya, ketika kulihat mas Haris berjongkak sembari membawa buket bunga dan juga cincin di tangan kanannya.

Degh.

"Will You Marry Me, Sena Anjani," lanjutnya dengan raut serius.

"Mas ...." panggilku tidak percaya akan diberikan kejutan yang sangat indah dalam hidupku. Netraku sudah berkaca-kaca karena, rasa bahagia dalam hatiku. "Ayo jawab. Maukah kamu menikah denganku, Sayang," ucap mas Haris penuh harap.

"Terima, terima ...." ucap para pengunjung restoran lain, yang menyaksikan momens indah kami.

Aku pun merasa malu, namun lebih besar rasa bahagiaku.

"I-iya aku mau, Mas. Aku mau, hiks," jawabku terharu, lalu aku pun mengulurkan tangan kiriku dan Mas Haris memakaikan cincin di jari manisku.

Mas Haris begitu bahagia karena lamarannya berhasilku terima. "Apakah, Mas Haris sudah memberitahu niat ini sama Ibuku," tanyaku penuh penasaran, setelah melihat cincin emas pemberian mas Haris kini melingkar di tangan kiriku.

"Tentu saja sudah, Sayang," jawabnya, setelah itu dia mengecup keningku.

"Syukurlah, aku yakin pasti Ibu senang. Melihat anak Gadisnya akan menikah," ucapku, sembari terus memandang cincin emas dari Mas Haris.

"Iya, aku yakin. Ibu pasti bahagia," lanjutku dengan senyuman bahagia.

"Iya, Sayang. Aku pun bahagia," bisik mas Haris lembut.

Aku dan mas Haris melanjutkan dengan makan malam romantis, dan tidak lupa ku abadikan momen indah dengan berfoto dengan dibantu pelayan restoran. Ketika akan pulang, terlihat hujan sangat lebat di sertai angin. Karena kami tidak ingin terjadi sesuatu saat dalam perjalan, apalagi ketika hujan lebat begini.

"Sayang ... masih hujan nih, gimana kalau kita ke Hotel deket sini sembari nunggu reda hujannya," ajak Mas Haris.

Sejenak aku mempertimbangkan usulan Mas Haris, namun saat aku belum memutuskan keinginanku. Dia sudah memutuskan apa yang dia mau. "Sudah jangan ngelamun, dan banyak berpikir. Ayo ....," ucapnya sembari menarik tanganku lembut, lalu memasuki mobil yang tidak jauh dari lobby restoran.

"Tapi, Mas 'kan bawa mobil pasti tidak akan kehujanan Mas," tolakku halus.

"Iya, Mas tahu. Tapi, ini hujannya lebat banget Mas nggak mau terjadi sesuatu yang buruk kalau Mas maksain kita pulang," jawab Mas Haris, dengan pendiriannya.

Aku pun pasrah dan hanya bisa menurut, karena aku percaya padanya. Tidak sampai sepuluh menit, kami sampai di hotel terdekat. Mas Haris mulai memesan kamar dan ia hanya mendapatkan satu kamar karena semua kamar telah penuh.

Bersambung

Rahasia Cinta sena AnjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang