Hujan di malam ini mengguyur deras membasahi bumi, berbaur dengan gemuruh petir yang menyambar-nyambar di luar sana.
Wanita cantik itu tengah mencuci beberapa alat makannya di wastafel.
"Astaga! Jaemin ke mana, jam segini belum pulang," gumam Tifanny masih melakukan kegiatannya, "pa? Coba tolong telpon Jaemin."
Orang yang dipanggilnya, dia masih berkutat pada buku majalahnya. Duduk nyaman di atas sofa sembari menyilangkan kaki kanannya ke atas.
Minho tak menjawab kalimat sang istri tadi. Sorot matanya hanya melirik ke arah istrinya yang masih mencuci piring.
"Pa?" panggil Tifanny sekali lagi, tanpa menoleh ke arah sang suami.
Pssst!
"Ya ampun! Gelap!"
Listrik langsung padam. Keadaan di dalam rumah sangat gelap, tak nampak apa-apa. Tifanny tercengang, hampir sedikit lagi dia menggosok piring terakhir, lalu membilasnya. Namun, sekarang telapak tangannya masih basah terkena busa.
"Minho? Apa kamu masih ada di sana? Bisa tolong nyalakan senter?" ujar Tifanny masih berdiam diri di tempatnya, dan celingak-celinguk mencari sosok suaminya walau suasana sudah gelap gulita.
Tak ada respon sama sekali dari suaminya itu. Entah ke mana dia.
Perasaan Tifanny ada yang menjanggal. Sekujur tubuhnya mulai merinding melihat sekitar ruangan begitu gelap, layaknya serba hitam semua di indra pelihatannya.
Kemudian, ia mulai berjalan menuju ke toilet yang berada di bawah tangga untuk segera mencuci tangan.
Ctarr!
"AAA!!"
Suara petir yang menggelegar itu mengejutkan, serta cahaya kilat mulai menampakkan sesosok pria yang datang membawa pisau, mengangkatnya ke samping.
Melihat adegan kasat mata itu tadi, Tifanny sudah sigap berlari dari dapurnya. Dia kaget setengah mati, mana mungkin di keadaan gelap seperti ini suaminya membawa benda tajam di cengkeramannya.
"Hhhhh... ke mana kamu mau lari?" Suara Minho terdengar mengerikan dan mendengung di seantero ruangan.
Ini saatnya. Dia akan memulai aksinya untuk membunuh sang istri. Dari 3 menit yang lalu, dia sudah mematikan token listrik terlebih dahulu agar suasana benar-benar kelam, tapi tentang listrik padam itu memang benar. Semuanya mati listrik dari PLN.
Kini, Minho menyalakan senter di ponselnya. Ia berjalan mencari wanita itu. "Sayang? Kamu di mana? Maaf tadi aku nggak bermaksud mengejutkanmu."
Tifanny mendengarnya, dia mengumpat di balik dinding. Apa benar suaminya hanya mengejutkan dirinya?
Kemudian, Tifanny keluar di balik dinding tersebut. Cahaya senter menyinari dirinya semenjak bertemu suami dihadapannya.
"Kamu jangan bercanda di saat seperti ini," keluh Tifanny, berjalan menghampiri suaminya.
Minho telah menyembunyikan pisau itu di belakangnya, dia hanya tersenyum creepy menatap sang istri. "Ah—iya, lebih baik kita ke kamar aja sampai lampunya nyala."
"Tapi aku belum selesai mencuci piring," sahut Tifanny, "bagaimana kamu temani aku ambil air ke toilet buat bilas?"
Minho mengangguk setuju. "Boleh."
Akhirnya, sepasang suami istri itu berjalan beriringan menuju ke toilet. Kemudian, Tifanny menimba air di ember, membawanya ke tempat cucian piring.
Sedangkan Minho masih mengikuti istrinya dan menerangi jalannya. Tifanny melanjutkan kegiatannya.
Di samping, Minho tetap berdiam diri dan sesekali melirik intens sang istri itu. Apa ini saatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story (END)
Fanfiction[TAHAP REVISI] ❝Pernah dekat, tapi dia tak menyukaiku. Padahal, aku mencintainya❞ - Jaemin ❝Dia laki-laki yang aneh, tapi aku penasaran dengannya❞ - Nara Lelaki dengan sejuta senyum manisnya yang tak pernah luput dari wajahnya. Bisaku bilang dia itu...