"Iya-iya aku minta maaf soal kemarin, udah jangan marah lagi..."
Laki-laki itu memutar bola mata malas, dan membuang pandangannya ke samping. Sebenarnya, pagi ini tujuan Nara mengajak Jeno jalan di hari weekend hanya untuk bermain dan ingin minta maaf soal kemarin. Dalam hati Jeno, ia juga tak keberatan menerima tawaran gadis itu, tapi setidaknya ia akan malas jika di jalannya berduaan menceritakan hal lain, apalagi tentang Jaemin.
"Jen, kamu masih marah sama aku?" tanyanya, menoleh ke samping dengan ekspresi murung.
Jeno menoleh, menatap datar wajah gadis itu di sebelahnya. Sejenak ia menghela napas samar. "Enggak kok," singkatnya.
"Bohong."
"Aku udah gak marah lagi, udah jangan ngambek gitu," pungkasnya, mencubit gemas pipi kanan gadis itu, membuat ia terpaku—mukanya bersemu.
Setelah lampu hijau menyala, Jeno menjalankan mobilnya. Iya, posisi mereka berada di dalam mobil saat ini.
"Cari makan makan, yuk. Sepertinya tadi kamu belum sarapan," ucap Jeno yang lagi fokus menyetir.
Dengan ajakan Jeno, gadis itu pun merespon dengan jawaban setuju.
Beberapa menit perjalanan, sorot mataku terpusat pada kedai sushi yang menjadi langganan favorit. Tunggu. Aku memandang dari kejauhan, ada sosok lelaki yang tak asing lagi aku melihatnya. Bukankah itu Na Jaemin yang baru saja membuang sampah?
Mobil terus berjalan dan pandanganku tetap memerhatikan lamat-lamat diri Jaemin di balik jendela.
Aku tidak salah lihat kan tadi?
"Jen, Jeno, bagaimana kita makan di kedai sushi itu tadi?" saranku girang. Dan pikiranku berpendapat ingin memastikan bahwa itu tadi benar-benar Jaemin.
"Jangan makan di kedai, ah! Gak level banget, kita ke restoran aja."
Mendengar jawaban darinya, membuatku menghembuskan napas berat dan pasrah. Sudahlah, mungkin aku tadi salah lihat. Mana mungkin Jaemin bekerja di kedainya paman Lee? Toh, dia juga sudah ada pekerjaannya di minimarket.
***
"Dek, titip beliin kakak kopi dong," ucap kak Yuta, memberikan selembar uang ke adiknya yang sedang berbaring di atas sofa.
Aku memutar bola mata malas bersamaan dengan helaan napas pasrah. Selalu saja kakak menyuruh adiknya, kebalik itu namanya.
"Malam-malam di suruh keluar, kakak sendiri aja napa?" cibirnya yang fokus pada ponselnya.
"Nggak bisa, nanti teman kakak mau ke sini, udah buruan kamu aja, dekat kok warung sana-sini aja hlo..." dengus kak Yuta kesal.
Menghela napas panjang, kemudian aku beranjak bangun dari tidurku yang nyaman, mengambil uang dari kak Yuta, lalu berjalan malas untuk pergi ke pintu utama. Aku keluar hanya mengenakan pakaian biasa, cuma kaos oblong pink, serta celana training yang biasanya aku pakai sehari-hari.
Berjalan kaki di tengah keremangan malam, terasa sunyi dan senyap di sepanjang jalan. Lampu-lampu kota tampak bercahaya, sejajar di pinggiran trotoar, ditemani oleh angin malam, bulan, dan bintang di mana pun ke mana langkah kakiku pergi. Tunggu dulu. Sepertinya, aku jadi teringat sesuatu.
Tanpa berpikir panjang, aku bergegas pergi menuju ke halte, masih ada kendaraan bus yang berada di jalanan. Untungnya bus tersebut telah tiba di halte, buru-buru aku pergi ke tempat yang aku tuju. Selama 20 menit perjalanan, untung saja aku membawa uang lebih, agar buat jaga-jaga saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story (END)
Fanfiction[TAHAP REVISI] ❝Pernah dekat, tapi dia tak menyukaiku. Padahal, aku mencintainya❞ - Jaemin ❝Dia laki-laki yang aneh, tapi aku penasaran dengannya❞ - Nara Lelaki dengan sejuta senyum manisnya yang tak pernah luput dari wajahnya. Bisaku bilang dia itu...