Seorang pria tengah duduk anggun di kursi kayu yang berada di atas balkon. Menikmati secangkir kopi yang mengepul di hadapannya sembari memandangi langit malam. Kemudian tiba seorang gadis kecil yang melewati sudut rumahnya, kedua maniknya menyorot pada ayahnya.
"Papa."
Sang ayah menoleh ketika suara membising memanggilnya. Putrinya tersenyum semringah memandangi ayahnya yang tampan nan terlihat awet muda itu. Tak beberapa lama, Nara berjalan menghampirinya.
"Kenapa kamu belum tidur, nak?" Suara Kento menyulam senyuman tipis.
Nara menggeleng pelan. "Nggak bisa tidur, pa."
Pria itu mendengus geli, kemudian mengangkat secangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. "Mari duduk sini sama papa," pintanya mempersilahkan gadis itu duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
Nara mengangguk dan menurut apa kata ayahnya, kemudian kepalanya mendongak ke atas, memandang langit malam yang tampak kelam. Tidak, ada cahaya bulan dan bintang yang menerangi setiap malam.
"Bintangnya indah, ya, pa." Sorot matanya terfokus pada banyak bintang yang terbentang luas di atas langit.
Mendengar kalimat putrinya, pria itu pun ikut memandang ke atas. Ayah dan anak yang memandangi langit malam. Kemudian, sang ayah menoleh pada putrinya yang sedari tadi masih tetap menatap pada langit.
"Lama sekali kita tak pernah melihat bintang bersama putri kecilku," ujarnya tersenyum teduh.
Nara menoleh pada ayahnya, ditatapnya wajah pria itu lamat-lamat dengan rasa pilu. "Pa, Nara boleh cerita?"
"Cerita apa?"
Nara terdiam beberapa detik, dan menunduk seraya menarik bibir bawahnya ke dalam. "Papa... papa sama mama jangan berantem mulu, Nara gak suka lihat papa sama mama berantem," rintihnya, tiba-tiba meneteskan air mata. Dipandangnya sang ayah dengan samar.
Kento terdiam, kedua alisnya terangkat menatap iba anaknya yang tengah menangis di hadapannya. Sebenarnya, dia sama sekali tak ingin selalu bertengkar dengan istrinya. Tapi entah kenapa dia bisa jadi sensitif terhadap urusan forum bisnis, apalagi jika istrinya ikut campur dalam pekerjaannya.
Jelas saja, dulu saat di Jepang dia bekerja bersama dengan sang istri, menguruskan berbagai macam proyek-proyek di sana. Dan sekarang, saat kembali ke Korea, hidupnya malah kacau balau.
"Pa... Nara mohon, jangan bertengkar lagi sama mama. Nara capek ngerasainnya," ucapnya lagi dengan isakan.
Pria itu tertegun. Tak beberapa lama, ia berjalan ke arah anaknya, memiringkan kursinya berhadapan dengannya. Dia sedikit berjongkok dan menatap lamat wajah anaknya yang menangis, namun terlihat tetap cantik.
"Nara... dengarkan papa. Sebenarnya papa juga tidak ingin bertengkar dengan mama kamu, tapi ini masalah bisnis. Bisnis tetaplah bisnis," ujarnya seraya mengusap perlahan air mata putrinya.
Oke, Nara mengerti. Bisnis tetaplah bisnis. Tapi... bisakah perundingannya di selesaikan dengan cara baik-baik? Tidak perlu ada perdebatan antara suami dan istri, sama saja itu dengan kekerasan rumah tangga.
Bagaimana jika ayah dan ibu bercerai? Oh, Tuhan. Itu yang Nara takutkan di masa broken home.
"Baiklah, nak. Sekarang kamu tidur, jangan mikir yang aneh-aneh, papa ingin kamu harus fokus belajar dan menggampai cita-citamu. Oke? Papa sayang sama kamu." Kemudian kedua tangan kekar sang ayah meraih punggung kecil putrinya. Memeluknya dan mengusap perlahan surai legam rambut panjangnya.
Anak perempuan itu cuma terdiam dan menangis di pundak ayahnya. Sepertinya, dia memang tak tahan jika terus-terusan melihat dan mendengar orang tuanya yang sering bertengkar setiap saat. Hidupnya seakan-akan merasa pahit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story (END)
Fanfiction[TAHAP REVISI] ❝Pernah dekat, tapi dia tak menyukaiku. Padahal, aku mencintainya❞ - Jaemin ❝Dia laki-laki yang aneh, tapi aku penasaran dengannya❞ - Nara Lelaki dengan sejuta senyum manisnya yang tak pernah luput dari wajahnya. Bisaku bilang dia itu...