29. Feel Guilty

176 78 0
                                    

"Pak... saya mohon, jangan cabut beasiswa saya."

Raut wajah Jaemin berubah sendu, ia memohon pada pak Kai secara serius agar tidak akan mencabut beasiswanya.

Pak Kai terdiam sembari menatap anak laki-laki itu yang memohon atas ancaman yang ia katakan mengenai beasiswanya. Hyunjin yang duduk di sebelah Jaemin cuma melirik sambil tersenyum bangga ke arahnya.

"Pak, saya mohon. Saya janji tidak akan bertengkar lagi."

"Bohong pak, udah cabut aja beasiswanya," sahut Hyunjin cepat.

Jaemin tersentak kecil, lalu tatapannya beralih ke arah Hyunjin yang kini sedang meliriknya sejak tadi.

"Hyunjin diam. Mau saya cabut juga beasiswa kamu?" ancamnya.

"Yaelah, pak, segitunya."

Jangan salah, meskipun Hyunjin anak yang nakal. Tapi dia juga mendapatkan beasiswa dari sekolahannya. Anehnya saja anak laki-laki seperti dia bisa masuk dalam kelas unggulan, bahkan di kelas, Hyunjin anaknya tidak terlalu pintar. Sudahlah--lupakan.

Pak Kai mulai menghela napas panjang, dan berkata. "Baiklah, Na Jaemin. Saya tidak akan mencabut beasiswa kamu."

Mendengar ucapan pak Kai telah membuat Jaemin merasa lega.

"Tapi kalo kamu terus berantem di sekolah ini, saya akan tetap untuk mencabut beasiswa kamu." Tambahnya memberi peringatan.

Jaemin hanya terdiam dan mengangguk kukuh. Setidaknya ia lega jika ancaman pak Kai tidak jadi mencabut beasiswanya, coba kalau itu terjadi. Dia pasti akan kecewa, bukan hanya pada dirinya sendiri, namun juga dengan ibunya.

Ini tidak adil. Guru BP yang mendidik seluruh muridnya, dan mempermudahkan muridnya untuk mendapatkan beasiswa. Kenapa pria itu hanya mengancam Jaemin saja? Hei, bagaimana dengan Hyunjin yang tiap-tiap hari sering berantem?

Apa pak Kai tidak mengancamnya sekalian?

"Sekarang kalian berdua bersihkan toilet satu sekolah," suruhnya memberi hukuman.

Jaemin dan Hyunjin sempat terkejut, dan menatap lebar pada pak Kai.


***


Seorang gadis kecil yang tengah menunggu di depan pintu pagar sekolah. Seperti biasa, ia menunggu jemputan. Entah ayah atau kakak yang akan menjemputnya, ia juga tak tahu.

"Dorr!"

"Eh-anjing!"

Seseorang yang telah mengejutkannya dari belakang sempat membuat gadis itu terjingkat kaget.

"Lo bikin gue jantungan aja!" sungutnya, mendengus kesal.

Sedangkan yang dimarahi menyengir saja seperti orang yang tak pernah merasa bersalah.

"Sendirian aja neng, mau abang temani?" ucap Haechan, tersenyum lebar sambil menaik turunkan alisnya.

Nara yang melihat perilaku temannya merasa menggelikan, ingin rasanya mau muntah.

"Gak perlu, udah lo pulang sana!"

"Gue mau antar lo pulang, kuy lah."

Gadis itu mengerutkan keningnya, dan sempat berpikir. Bagaimana nanti kejadian saat di jalan jika diantar pulang oleh Haechan? Tidak, tidak mau. Haechan itu orangnya sering mencari perhatian, bahkan selalu menggoda gadis yang bernama Nara itu.

Our Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang