"Melihat kalian yang datang bersama, bolehkah kusimpulkan bahwa kalian memutuskan untuk kembali bersama?"
Jooheon dan Changkyun saling memandang kemudian tersenyum. "Berdamai dengan masa lalu bukanlah hal yang buruk."
"Baguslah. Kalau begitu... bisakan kalian bawa Chan pulang? Aku sudah tidak tahan hyungdeul!"
Hoshi melepas kacamata hitamnya dan mempertontonkan mata pandanya pada pasangan yang baru rujuk itu. "Lihat mataku! Astaga! Putra kecil kalian itu bahkan tidak mau tidur hingga subuh dan memaksaku untuk menemaninya bermain! Chan bahkan menangis tengah malam karena ia memintaku untuk mendatangkan Jihoon ke apartemen!"
Changkyun tertawa mendengar curahan hati Hoshi. "Lalu? Jihoon datang ke apartemenmu?"
"Tentu saja tidak! Aku malah di maki-maki Jihoon karena menelponnya tengah malam dan mengganggu tidurnya!"
Jooheon kemudian menepuk pundak Hoshi. "Tenang saja. Akan kuberikan bonus untukmu."
"Sebaiknya kau tepati saja ucapanmu itu hyung!" Hoshi merengut kesal. "Tenagaku sebenarnya tidak akan bisa digantikan dengan uang-"
"Tunggu." Jooheon mengerutkan keningnya. "Memangnya aku bilang jika bonusnya berupa uang?"
"Huh??" Hoshi dan Changkyun menatap Jooheon dengan bingung. "Hyung! Lalu bonus apa yang kau maksud??"
"Mengantar dan menjemput Chan setiap hari ke sekolah." Jawab Jooheon dengan santainya.
"Apa?!" Hoshi memekik dramatis. "Tidak! Tidak! Bagaimana bisa kau menyebutnya dengan bonus hyung??" Rengeknya.
Jooheon mengetuk dagunya dengan telunjuk. "Aku akan membiarkanmu datang terlambat dan istirahat makan siang lebih lama. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk makan siang bersama gurunya Chan itu?"
Hoshi membulatkan matanya, seakan teringat akan sesuati sedangkan Changkyun terkekeh pelan, mengerti akan bonus yang Jooheon maksud.
"Dengan kau mengantar dan menjemput Chan, maka hampir tiap hari kau bisa bertemu dengan gurunya Chan itu. Bukankah itu bonus yang bahkan lebih berharga daripada uang?" Tanya Jooheon sambil menaik-turunkan alisnya.
Dan Hoshi pun langsung menyetujuinya tanpa perlu berpikir dua kali.
***
"Kau mengerjainya?"
"Tidak juga."
Changkyun mendengus kemudian tertawa."Tapi kau berniat mengerjainya kan?"
"Sedikit?"
"Dasar."
"Hey, lagipula itu menguntungkan Hoshi. Hitung-hitung, aku membalas budi karena ia sudah membantu kita untuk kembali bersama?"
Changkyun tersenyum dan mengangguk kemudian menatap jemarinya yang bertautan dengan jemari Jooheon.
"Ini masih terasa tidak nyata untukku. Semuanya... terasa bagaikan mimpi." Gumam Changkyun.
Jooheon menatap sendu ke arah Changkyun. "Aku minta maaf... Kau... pasti telah banyak terluka karena keegoisan dan kebodohanku."
Changkyun tersenyum kecil. "Itu sudah masa lalu. Lagipula kau bekerja sangat keras demi kami. Aku saja yang lalai dan ceroboh sampai tidak mengetahui keberadaannya."
Mata Jooheon memanas. Disaat semua yang terjadi adalah karena kesalahannya, Changkyun bahkan masih tetap menyalahkan dirinya sendiri dan memaafkan Jooheon dengan begitu muda.
"Kau tahu?" Jooheon tersenyum miris. "Kau adalah orang yang paling bodoh yang pernah kukenal di dunia ini. Bisa-bisanya kau semudah itu memaafkanku yang bahkan lebih jahat dari penjahat manapun. Bahkan Tuhan mungkin tidak sudi mengampuniku."
Changkyun mengeratkan genggamannya pada tangan Jooheon. "Jangan berbicara seperti itu." Changkyun kemudian menggunakan satu tangannya yang bebas untuk mengusap pipi Jooheon. "Kita berdua masih sangat muda waktu itu. Tidak ada yang bisa disalahkan. Semuanya sudah takdir yang harus kita jalani. Anggap saja itu ujian yang Tuhan berikan untuk melihat seberapa besarnya cinta kita."
Jooheon menatap dalam sosok lelaki manis di depannya. "Kau tahu? Kau dan Chan adalah hadiah paling indah yang Tuhan berikan pada seorang pendosa sepertiku."
Jooheon kemudian mengecup kening Changkyun dengan penuh sayang. "Aku mencintaimu."
"Aku pun begitu."