Raquel’s POV
Orang berkata kalau saling menyukai adalah hal yang biasa. Bagaimana kalau itu jadi sebuah obsesi? Menyukai merupakan hal yang membahagiakan, namun obsesi adalah hal yang menyeramkan. Sama seperti apa yang sedang terjadi denganku. Dia berkata kalau dia menyukaiku, namun sekarang dia mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bahkan Rachelle mulai merasa bosan melihatnya terus-terusan berada di dekatku.
“Kalo ada Olivia, udah mampus itu cowok!” ucap Rachelle kesal.
“Hm … abis kompetisi belom pernah kumpul lagi, kan? Masalah apa ya ….”
“Tumben peduli sama dia.”
Kutatap Rachelle dengan tatapan kosong. “Heran.”
Roti yang sedang kumakan kuhabiskan dengan cepat dan kutenggak minuman yang dibelikan Rachelle sampai habis sebelum membuang semua sampahnya. Tanpa berkata apa-apa, aku meninggalkan Rachelle yang masih sibuk menghabiskan rotinya. Dia menatapku dengan mata yang membulat, seperti dia tidak percaya kalau aku berani meninggalkannya seperti itu. Biasanya dialah yang selesai lebih dulu.
Baru beberapa langkah aku menjauh dari Rachelle, seseorang sudah menyodorkanku sebatang cokelat dengan note yang tertempel di atasnya. Ini sudah jadi percobaan ketiganya untuk berbicara denganku, namun sudah beberapa hari terus mengikutiku tanpa henti. Tanpa memandangnya sedikit pun, aku langsung menabrak cokelat yang dia sodorkan hingga terjatuh. Anak-anak yang melihatnya langsung berbisik-bisik.
“Tungguin gua! Woi!” Sebuah tangan menahan pundakku, tangan yang bukan lain adalah milik Rachelle. “Itu kakel gak papa?” Jempol Rachelle terlihat menunjuk ke belakang, ke orang yang baru saja aku tolak mentah-mentah.
“Biarin aja. Nggak penting juga.”
Rachelle terlihat mengeluarkan senyum puas dan merangkul leherku, yang kulepaskan dengan mudah, dan berjalan bersama-sama kembali ke kelas. Kami mendengar suara jeritan dari salah satu kamar mandi. Rachelle tanpa memandang ke arahku langsung berlari dan masuk ke dalam kamar mandi itu untuk melihat sekumpulan anak-anak yang tertawa dan dua di antara mereka memegang sebuah ember.
“Rena?!” seru Rachelle terkejut. Anak yang disebut namanya itu membuka pintu dengan ketakutan. Dari ujung kepala hingga kaki dia terlihat basah kuyup. “Raquel, panggil guru. Sekarang!”
“Jangan dipanggil! Sumpah, kita cuma disuruh aja ....”
Rachelle memberikan mereka sebuah ekspresi kebencian yang jarang dia tunjukkan. Tanpa mengulur waktu banyak, aku meninggalkan Rachelle dan mencari guru terdekat. Aku memang berhasil menemukan guru itu, tapi justru Olivia berada di depan guru itu. Saat kami bertatapan, dia terlihat seperti malu dan mengalihkan pandangannya ke arah yang berlawanan, tidak mau menatapku lebih lama lagi.
“Raquel, saya dapat laporan dari anak SMP kalau ….”
“Rena korbannya, Bu,” jawabku singkat sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya. Guruku hanya mengangguk dan bersama mengikutiku menuju kamar mandi di mana Rena menjadi korban.
“Ren, pake jas gua aja, ya?” Rena mengangguk lemah dan merapatkan jaket yang diberikan Rachelle. “Bu! Ini, Bu, ada anak yang nge-bully Rena … Olip?”
Olivia yang mendengar namanya disebut terlonjak dan menatap ke arah lain selain kami berdua. Wajahnya juga merona karena merasa malu, bukan hal biasa yang terjadi. Namun ketika anak-anak yang berada di hadapan Rachelle mulai berbisik-bisik, Olivia terlihat ketakutan. Bahkan dia memainkan jarinya, tanda bahwa dia tidak nyaman dengan kondisi ini, melihatnya seperti ini seperti memberikan jawaban atas sikap anehnya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...