Laurena’s POV
Kubasuh wajahku saat waktu istirahat sudah datang. Kejadian yang terungkap pagi-pagi terasa terlalu memualkan bagiku. Dengan satu tatapan saja yang diberikan Gina … aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa. Mengapa aku menjadi seperti ini? Hanya karena mereka, semua perasaan takut ini sekarang menghantuiku. Mereka sekarang sudah berhasil membuatku terlihat seperti sebuah lelucon.
“Oh, lihat siapa yang ada di sini,” ucap Olivia dengan dingin. Dia menyunggingkan sebuah senyum yang membuatku ingin menampar wajahnya. “Ngapain ngeliatin gua gitu?”
“Nggak,” balasku singkat. Semenjak hari itu, aku tau lebih baik kalau aku tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Terlebih ketika orang itu tidak mau dibantu sama sekali.
Olivia mencuci tangannya sebelum berucap, “Gua denger pagi ini ada rusuh di kelas lu. Masalah apa lagi yang lu lakuin?”
Aku? Membuat masalah? Mendengar ucapan Olivia yang berkata kalau aku membuat masalah anehnya memancing emosiku. Jika Olivia tidak cekatan sama sekali, sekarang dia pasti sudah tercekik karena aku. Dia terkekeh kecil, seperti merasa puas dengan reaksiku. Kuputuskan untuk meninggalaknnya sendiri, tidak mau berurusan dengannya, tapi langkahku terhenti begitu saja seperti ada yang mengkontrol diriku. Aku teringat dengan apa yang terjadi pagi itu dan mencoba untuk mengetes Olivia, seberapa dekatnya dia dengan anak-anak lain.
“Lu tau … Rachelle punya kakak namanya Sony?” Karena aku tidak menatap Olivia, aku tidak bisa melihat bagaimana reaksinya sekarang. Tapi diam darinya sudah menjadi jawaban bagiku, aku merasa sangat yakin akan apa jawabannya. “Guess you haven’t”
Kali ini aku yang memberi seringai kepuasan. Walau tau Olivia tidak akan bisa melihatnya, melakukannya memberi kesenangan tersendiri. Langkah kakiku terasa berat untuk kembali ke kelas. Rasa takut yang semula sempat hilang muncul kembali menggerogoti diriku. Padahal, hari ini mereka lebih tenang dari biasanya karena berita yang ada tadi pagi. Mengapa aku masih terus merasa takut dengan mereka? Mereka juga manusia yang sama sepertiku.
Tanpa sadar aku sudah berhenti melangkah, mendapat omelan dari anak lain karena kata mereka aku menghalangi jalan. Kuhembuskan napas sebelum kembali melangkah, namun dengan perlahan, setidaknya anak-anak tidak akan mengomel dan berkata aku menghalangi jalan mereka. Celotehan anak-anak di sekitarku terdengar sangat memuakkan. Ingin sekali aku kabur dari semua itu, tapi aku tidak mau jadi seorang pengecut. Kabur artinya menyerah, bukan?
Kalau kau menunjukkan kepada orang lain kalau kau lemah, mereka akan memanfaatkannya untuk mengahncurkanmu lebih jauh lagi. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah berpura-pura kuat. Selalu tersenyum layaknya orang tanpa ada masalah. Dengan begitu mereka tau, kau akan terus tersenyum walau masalah datang menimpa. Mereka tidak akan bisa mengganggumu karena tidak memberikan reaksi yang mereka inginkan dan itu membosankan.
“Ck! Mana sih itu anak? Makanan gua belom dateng juga!”
“Bentar lagi bel, kan? Ribetin banget sih! Pake cari gara-gara segala! Belom puas kali ya dihukum.”
“Napsu makan gua udah ilang. Dahlah, balik ke kelas aja. Capek gua nunggunya.” Ketiga anak yang semula menunggu di depan kelasku langsung pergi begitu saja. Tak lama datang anak dari kelasku, napasnya tersengal dan tubuhnya bersimbah keringat.
“Re-Rena, liat anak yang di sini nggak?”
Selama beberapa saat aku hanya terdiam karena terkjeut dan bingung, tapi akhirnya aku menunjuk ke arah mana anak-anak itu telah pergi. Respons teman sekelasku sama sekali tidak terduga. Dia anak yang selalu menjaga ucapannya, tiba-tiba saja dia merutuk di hadapanku dan menghentak-hentakkan kakinya karena kesal. Suara kaleng yang menghantam satu sama lain terdengar nyaring dari kantong belanjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
JugendliteraturEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...