Olivia’s POV
“Jangan keluar sampai kau menyelesaikan semua soal itu!” Ayahku membanting pintu kamar dan bahkan menguncinya dari luar.
Dari balik pintu aku dapat mendengar suara Samuel yang bercakap-cakap dengan ayah. Walau terdengar samar, aku tau dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Suara omelan Samuel dan langkahnya yang mengejar ayah menggema di kamarku. Baru ketika semuanya tenang aku merebahkan diriku ke kursi putar yang memiliki roda. Soal yang sudah ayah print ada di hadapanku, tergeletak tak tersentuh.
Nilai bagus, itulah yang harus aku dapatkan agar tidak memalukan nama Carter. siapa yang aku ajak bercanda? Belajar bukanlah kesukaanku, namun menyandang nama Carter aku harus bisa dalam banyak bidang. Karena ayahku harus memamerkan satu-satunya putri dari semua kawannya, yang tidak kalah dari anak laki-laki mereka. Membual bahwa memiliki putri adalah kebahagiaan tiada tara.
“Ugh! Apa Raquel bisa kuhubungi?” Aku membuka ponselku dan memasang musik dengan keras sebelum melihat chat dari group. Rachelle kembali dengan segala cuap-cuapnya dan Raquel tentu saja membalasnya singkat, “Dasar Owen. Kenapa juga kau harus mirip denganku.”
“Liv? Tadi gua udah ngomong ke ayah … katanya tenggat waktunya dua jam, kalo nggak ….”
“Ya udah pergi sana. Jangan ganggu gua.”
“Liv, gua mohon kali ini aja, turutin kata ayah.”
Mendengar ucapan Samuel hanya membuatku menghela napas. Untuk ayah, untuk ayah, dan untuk ayah. Apa bahkan aku penting bagi mereka semua? Aku anak perempuan, aku lemah, aku tidak berdaya, dan banyak lagi. Memuakkan! Bahkan aku sudah muak dengan diriku sendiri. Terasa lucu, tapi itulah kenyataannya. Apa arti semua piala itu jika tidak ada orang yang bangga akannya?
“Olivia Carter … kalo lu berhasil, kalo lu dapetin nilai di atas sembilan puluh, gua … bakal ajak lu kayak dulu lagi. Kita bareng-bareng ketemu mama, ya?”
Mendengar mama disebut oleh Samuel dengan nada yang sedih seketika membuat air mataku terbendung. “Mama gak mau liat gua, Sam. Mama benci sama gua.”
Anehnya, aku mengharapkan sebuah balasan dari Samuel, namun balasan itu tidak kunjung datang. Siapa yang aku ajak bercanda? Tentu Samuel juga akan membenciku, karena semua orang juga membenciku. Lagipula, aku juga pantas untuk dibenci. Orang sepertiku memang harus dibenci oleh yang lain. Tidak ada yang perlu dibanggakan dari orang seperti diriku. Ya, aku juga benci diriku, sangat benci.
Kuusap mataku yang mulai berair sebelum kukirim pesan kepada Raquel. Memang aku dan dirinya tidak berteman. Tapi anehnya, aku membantunya dan dia membantuku, seperti friends with benefit. Kami menginginkan hal-hal yang hanya ada di antara salah satu dari kami. Dan Rachelle adalah orang yang menyatukan kami sehingga membentuk group seperti ini.
“Nona Carter, Tuan Carter ingin berbicara.”
“Yang mana?” jawabku acuh. aku menuliskan jawaban terakhir sebelum merenggangkan tubuhku. “Kalo itu Samuel, bilang aja udah selesai, foto buktinya bakal dikirim.”
“Baik, Nona.” Aku melirik ke arah makan malamku sebelum meletakannya di lantai. Aku sibuk memfoto jawaban yang ada hingga mendapat video call dari Rachelle. Belum sempat aku mengangkatnya, pintu kamarku terbuka dengan kasar.
“Ayah harap kamu tidak mengecewakan.”
Samuel yang memberi acuangan jempol di belakangku terlihat puas. Well, setidaknya mereka tidak perlu tau siapa yang sebenarnya menyelesaikan tugasku. Ketika ayah sudah meninggalkan kamarku, Samuel menatap ke arah makanan yang berada di lantai. Dia menghembuskan napas sebelum mengambil nampannya, menatap ponselku yang masih terus bergetar. Samuel tau aku memiliki kenalan, dia yang juga selalu bersikap protektif dengan siapa aku kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...