Laurena’s POV
“Rena?” Suara ibu yang terasa menenangkan mengganggu tidur soreku. Setelah ujian berlangsung, tidak banyak hal yang terjadi.
Semenjak aku putuskan untuk diam, rasanya suasana kelas terasa aneh. Dan semenjak kejadian class meet, aku merasa ada hal besar yang ditutupi oleh mereka bertiga, Rachelle dan yang lain. Di sekolah, setelah ujian akhir utama, kami akan disambut dengan ujian final dari sekolah, khusus. Ujian ini hanya berlangsung selama dua hari dengan mata pelajaran yang nantinya akan diujiankan pada kelas akhir.
Orang rumah tidak ada yang tau tentang perlakuan anak-anak di sekolah, tapi aku juga mencurigai ibu menyadari sesuatu. Hubungan kami cukup dekat jadi aku percaya kalau dia dapat merasakan sesuatu, terlebih ketika aku berbohong kepadanya. Ibu selalu tau kapan aku berbohong sehingga aku jarang berbicara yang tidak-tidak kepadanya. Di saat seperti ini, aku lebih memilih untuk diam karena terasa lebih tepat.
Bagiku berdiam adalah satu-satunya jawaban. Aku tidak perlu mengucapkan kebohongan yang dapat diketahui ibu, dan aku juga tidak perlu menjelaskan apa-apa. Walau ditanya, aku bisa mengalihkan pembicaraan yang ada. Jika aku sudah melakukannya, ibu tidak akan memaksaku untuk bercerita lagi. Sialnya aku, kali ini berbeda. Ibu merasa sangat penasaran hingga tidak bisa meninggalkanku sendiri.
“Rena, ayo keluar. Mama mau ngomong!” Ibu menggedor-gedor pintu kamar dengan keras. “Gak usah kunci kamar kamu ya!”
“Aduh, kenapa, Ma? Mau ngoceh lagi soal nilaiku?” ledekku sambil membuka pintu. Aku disambut dengan jitakan tepat di kepala, membuatku mengerang, “Sakit!”
“Nilai kamu itu kan salah kamu sendiri! Mama gak minta kamu ranking, cuma nilai di atas delapan lho!”
“Pelajarannya susah-susah, lagian kan aku masih adaptasi.”
Ibuku tidak menjawab tanggapan yang kuberikan dan menatapku lekat-lekat, terlihat seperti sedang melakukan scanning terhadapku. Ibu juga menatapku dari atas hingga bawah, membuatku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Walau aku sudah berusaha untuk membuat ibu menghentikan tatapannya itu, ibu tetap menggenggam pundakku dengan keras bahkan memutar tubuhku beberapa kali.
Rasa pusing mengambil alih diriku. “Ma! Pusing! Ngapain sih?”
“Emang Mama nggak boleh khawatir sama kamu, hah?”
“Bukan gitu.” Kulepaskan genggaman ibu dan sekarang aku menautkan tanganku dengan milik ibuku. “Mama kenapa khawatir? Aku baik-baik aja kok. Cuma masih perlu adaptasi aja sama lingkungannya.”
Ibu menatapku dengan ragu sebelum menganggukkan kepalanya. Ini bukanlah sebuah kebohongan karena aku juga merasa butuh adaptasi dengan semuanya. Jelas sikap mereka memang berbeda, tapi selain itu juga pandangan mereka akan banyak hal sangat berbeda, seperti bagaimana mereka menganggap bahwa menjadi sempurna adalah segalanya. Dengan jadi sempurna segalanya akan didapatkan.
Sedikit kesalahan adalah kegagalan, dan kegagalan adalah sebuah jurang, jurang yang membawamu menuju kegelapan tanpa ada cahaya, di mana tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu. Semua orang adalah orang yang egois, kau hanya hidup sendiri. Orang yang bisa menyelamatkan dirimu sendiri hanyalah kau. Pandangan itulah yang ada pada mereka semua. Mereka meyakini sedang hidup sendiri.
Terasa menyedihkan, sepi, sesak, semua itu adalah hal yang pertama terlintas ketika melihat hidup mereka. Teman itu hanya kebohongan, tidak ada yang namanya teman, tidak ada yang bisa kau percayai. Semua orang memiliki topeng, bahkan terkadang, topeng di balik topeng. Seberapa jauh mereka akan bersikap seperti itu, aku pun tidak tau.
“Ma, menurut Mama, jadi perfect itu penting?”
Ibu yang mendengarkan pertanyaanku duduk di kursi depan meja belajarku. “Perfect gimana? Ada banyak definisinya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Fiksi RemajaEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...