Chapter 26 - Say No

15 10 0
                                    

⚠️Trigger Warning⚠️

Olivia’s POV

“Menurut lu kita gak keterlaluan? Ninggalin si Laurena begitu?”

“Hm? Apa nih? Olivia Carter yang selalu ngejauh dari si famous Laurena tau-tau khawatir? Kesambet apa lu?”

Angin malam yang berhembus menerbangkan rambutku yang tergerai. Beberapa kali aku terpaksa menyingkirkannya dari wajah, tapi aku tidak memiliki niatan untuk mengikatnya. Selain aku tidak membawa ikat rambutku, untuk mengikatnya sembari bertelepon sangatlah sulit. Ketika aku sedang mendengarkan Rachelle berbicara, seseorang menarik rambutku yang bisa dikatakan berantakan.

Merasakan tangan yang hangat di leherku membuatku terlonjak dan hampir menjerit. Sam, yang menjadi pelaku atas apa yang dia lakukan, meletakkan jari telunjuknya di atas bibir. Sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya, membuatku secara instant menonjok bahunya. Suara erangannya membuat Raquel yang selama ini diam mulai bersuara. Dia tentunya bisa mendengar suara erangan tersebut dengan mudah.

“Sam?” tanya Raquel dengan nada datarnya. Sam yang semula mengerang kembali mengurusi rambutku hingga diikat.

“Hm. Gitulah.” Sam yang sudah selesai mengikat rambutku berdiri di sampingku dengan tangan di railing balkon. “Rachelle, lanjut.”

“Ya, lu tau lah, Liv. Kita nggak mungkin kan keliatan? Kita udah setuju bakal kerja diem-diem.”

“Kalo sampe … ada yang nggak-nggak?” Sam yang mendengarkan ucapanku menaikan sebelah alisnya. “Kalo sampe ada yang aneh?”

“Kalo ada kejadian aneh, itu di luar dari kita.”

Jawaban Raquel terdengar sangat dingin, namun aku tau kalau dia juga ada benarnya. Tak lama mereka mematikan telepon, Rachelle karena teriakan ayahnya, Raquel karena panggilan ibunya. Hanya tersisa diriku, tapi aku tidak memiliki niat untuk mengakhiri panggilan sehingga tanganku terpaku menggenggam ponsel dengan posisi yang masih sama. Jika aku mematikannya, pasti Sam akan mulai berceramah kembali.

Lagi-lagi aku dikejutkan oleh tangan yang kutakuti. Tangan Sam. Dia menggenggam tanganku yang memiliki ponsel. Perlahan dia menurunkan tanganku dan mengambil ponselku sebelum memasuk ke dalam kantong celananya. Kali ini aku tidak menjawab apa-apa dari tatapan yang dia berikan. Dia menarik kedua tanganku dan menggulung lengan bajuku. Aku sudah tau apa yang akan dia lakukan, dan mengelak tidak akan ada gunanya sama sekali.

Matanya mengernyit ketika melihat semuanya, semua luka yang ada di kedua lenganku. “Lu … masih belom berenti?” Aku mencoba menarik tanganku perlahan, namun Sam justru menggenggamnya semakin kuat. “Via. Via, dengerin gua.”

“Kenapa? Biar gua disakitin lagi? Biar gua ….” Suaraku tercekat ketika membayangkan ekspresi marah yang diberikan oleh Sam. “Lepas. Gua nggak ada urusan sama lu lagi.”

Tangan Sam yang semula berada di tanganku berpindah ke pipiku. Dia mengelus kedua pipiku menggunakan jempolnya, membuatku justru merasa semakin buruk. Aku yang tidak pernah menangis di depan Sam merasa ingin menangis sekarang juga. Mengapa? Mengapa dia harus melakukan semua ini dan membuat perasaanku tidak karuan? Mengapa dia tidak pernah mengerti dan selalu memaksakan kehendaknya? Apa seluruh duniaku hanya berputar pada dirinya?

Setiap tarikan napasku bergetar dan Sam tentu saja menyadarinya sehingga wajahnya menggambarkan kepanikan. Kenapa dia harus panik seperti itu? Apa yang salah? Apa yang membuatnya jadi seperti itu? Kenapa aku harus melewati semuanya hanya karena dia? Bagaimana kalau setiap ucapannya hanya kebohongan? Bagaimana kalau Sam hanya berpura-pura baik kepadaku supaya bisa menyakitiku lagi? Bagaimana kalau dia sengaja melakukan ini karena ingin melihatku menderita?

Scars To Your Beautiful {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang