Siapa Gerangan Dirinya (Part 1)

39 2 0
                                    

Kabar burung cepat menyebar. Tau-tau aku jadi artis dadakan. Foto dan ceritaku ramai dibahas di sosial media. Mendadak followerku bertambah hingga ratusan ribu. Berbagai undangan untuk collabs dan tampil di talkshow pun datang menghampiri. Dan jangan tanyakan soal endorsement. Ini sungguh diluar ekspektasiku.

“Saya hanya penjual kue biasa. Bukan indigo. Bukan pula cenayang. Namun dari apa yang telah saya alami, saya semakin meyakini bahwa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada” itulah komentar yang selalu kuberikan setiap kali aku di wawancara.

Rumahku mendadak ramai. Pundi-pundi uang semakin terkumpul. Aku juga tidak paham bagaimana matematika Tuhan, tapi rejeki kali ini sungguh diluar batas. Aku bahkan bisa membuka toko kue ku sendiri. Toko kue di pinggir jalan dengan tiga orang karyawan.

Setelah pembukaan toko, pengunjung pun mulai berdatangan. Sengaja ku sediakan beberapa meja dan kursi untuk dine-in, sekaligus menjadi ruang tamu jika ada media yang lagi-lagi ingin wawancara. Nama toko kue ku terekspose di berbagai highlight media kuliner, gosip, juga selebgram dan youtuber. Ah ya, juga tiktok.

“Hey, Ndis” seru seorang perempuan yang baru saja masuk toko mengagetkanku.

“Tita!” pekikku senang. “Lama gak ketemu, gimana liburannya?”

Awesome! That was the greatest experience i ever had! Thanks to you, ibu peri.” Tita meletakkan sebuah kotak hadiah ke depanku.

“Wow, oleh-oleh nih. Makasih, Ta.” Ujarku sambil membuka kotak yang ternyata berisi sehelai kain dan .....

UNDANGAN !

“Ta, serius?!” pekikku bahagia. Tita mengangguk.

“Awal tahun kemarin aku keterima kerja, Ndis. Di perusahaan asing. Udah nggak ngegojek lagi aku sekarang. Nggak cuma dapet kerjaan, Tuhan juga kasih aku jodoh.”

“Tapi ini belum sebulan loh, Ta. Siapa calon yang beruntung itu?”

You won’t believe it. It’s Alex. Temen SMA kita. Inget kan, Ndis?”

“Alex yang ketua OSIS itu?”

“Yup! Ternyata dia kerja di tempatku juga. Bayu langsung akrab sama dia. Dan untungnya mamanya setuju nerima kondisiku yang single mom anak satu.”

“Ya ampun, Ta. Sumpah aku nggak bisa ngomong apa-apa selain i’m really happy for you both!”

Thanks, Ndis. Aku juga seneng banget liat kamu akhirnya bisa buka toko kue.”

“Yah, Alhamdulillah, Ta. Rejeki dari cerita hantu viral.”

Tita tertawa kecil. “Rejeki emang bisa datang dari mana aja, termasuk yang nggak terduga ya, Ndis. Tapi kamu pantas mendapatkannya. Karena kamu orang baik. Bahkan hantu aja tau kalo kamu baik, makanya dikerjain suruh nganter ke dimensi lain.”

Kami tertawa oleh celoteh Tita. Sialan. Ironis banget ya, baik ama gampang dikerjain emang beda tipis!

“Semoga waktu nikahanku nanti kamu bawa om buat Bayu, ya, Ndis.” Ujar Tita.

“Jodohku hilalnya masih belum terlihat, Ta.” Jawabku melas.

“Hush! Jangan bilang gitu! Kata-kata adalah doa, jadi bicara yang baik-baik aja. Jodohmu bakal datang ke sini hari ini. Amin.”

Aku mengamini ucapan Tita. Tiba-tiba seorang pria masuk dan menginterupsi obrolanku dengan Tita. Dari penampilannya sepertinya ia seorang wartawan. Ah, lagi-lagi wawancara mengulang cerita yang sama. Melihatku diberondong pertanyaan, Tita kemudian pamit undur diri.

“Jadi kue apa yang waktu itu mbak Gendis antarkan?” tanya pria itu.

Jawaban dari pertanyaan ini sekaligus membuat Spikoek ku jadi kue terlaris. Sebab yang memesannya adalah hantu. Yang mana ini merupakan ironi bagiku. Bagaimana tidak, selama ini yang ku tau hantu makan kemenyan. Bukan spikoek. Bisa transfer rekening pula. Ya, meskipun setelah ku cek ulang ternyata uangnya hilang. Setidaknya tidak berubah jadi daun.

“Itu hantu Nyai,” kata salah seorang pengunjung yang mengaku indigo. “Dia mati karena kelaparan. Sebuah kejadian tragis membuatnya shock hingga tak mau makan.”

Wah, rupanya kejadian yang kualami mendapat bumbu disana sini. Aku bahkan tidak tau asal muasal si pembeli spikoek. Yang kuingat dia hanya seorang gadis inut dengan daster selutut.

“Villa yang kamu lihat itu adalah mess untuk sinder atau kepala perkebunan. Ia menjadi Nyai dari seorang sinder Belanda di perkebunan itu.” Sahutnya lagi tanpa ku tanya.

“Oh ya?” tanyaku. “Jika tuan sebegitu tahunya, coba ceritakan padaku apa yang terjadi dengan gadis itu!”

Pria itu membetulkan posisi duduknya, siap bercerita. Sedangkan sang wartawan sigap dengan penanya sambil terus memutar alat perekam suara. Wartawan itu pasti senang menulis berita baru yang belum pernah diceritakan sebelumnya berkat pengunjung sok tau ini.

The Baker (Life isn't always as sweet as a cake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang