Siapa Gerangan Dirinya (Part 2)

76 6 0
                                    

Namanya Ningrum. Seumur hidup ia habiskan di perkebunan karet. Ayahnya dan ibunya bekerja sebagai buruh penyadap karet. Untungnya, Meneer yang menjadi sinder disana baik hati dan tidak sombong. Ia sering berinteraksi dengan para buruh pribumi, meski itu hal yang memalukan pada jamannya.

Ketika usianya 14 tahun, Ningrum menjelma jadi gadis desa yang amat cantik. Banyak pemuda yang menjadi buruh kebun menggantikan ayah-ayah mereka menaruh hati padanya. Termasuk pak Mandor yang sudah punya dua istri, hendak menjadikannya istri ketiga.

Hingga suatu hari ketika Meneer meninjau kebun bersama pak Mandor, ia melihat Ningrum yang sedang mengumpulkan getah karet ke penimbangan. Meneer lantas memintanya menjadi Nyai. Seminggu setelah itu Ningrum berubah status dari buruh sadap karet menjadi Nyai. Sayangnya, setiap ada pertemuan di rumah Sinder, Ningrum harus bersembunyi di rumah pembantu, sebab pribumi dilarang berkumpul bersama Belanda.

Menjadi Nyai adalah pengalaman baru untuk Ningrum. Meneer agak rewel soal makanan. Lidahnya hanya bisa menerima citarasa makanan eropa, tidak cocok dengan lidah pribumi. Tapi Ningrum piawai memadukan citarasa kedua makanan itu sehingga Meneer sangat menyukai masakan buatannya. Yang paling disukainya adalah spikoek.

Setiap jam 10 pagi usai meninjau hasil sadapan getah karet, Meneer akan pulang ke rumah untuk makan spikoek di halaman belakang rumah sambil berbincang dengan Ningrum. Waktu yang sangat membahagiakan untuk Ningrum. Sayangnya selama tiga tahun menikah, Ningrum tak kunjung hamil.

Tiba di usianya yang ke tujuh belas. Meneer mengadakan pesta kecil untuk merayakannya. Ningrum memakai gaun selutut, hadiah ulang tahun dari Meneer. Cantik sekali. Mereka berdansa dalam alunan musik waltz di ruang tengah. Di meja makan telah lengkap makan malam mewah bergaya eropa, lengkap dengan spikoek kesukaannya.

Naas, petang itu pasukan Jepang datang menyerbu. Tepat saat mereka sedang menikmati spikoek pada saat makan malam pukul enam. Meneer mati dengan kepala terpenggal katana serdadu jepang, tepat di hadapan Ningrum. Menyisakan Ningrum yang jadi gila, tak mau bicara, hanya menangis saja. Ningrum menyusul Meneer sepuluh hari kemudian. Meninggal dalam keadaan kelaparan karena shock hingga tak mau makan.

***

Setelah puas menulis cerita baru yang nampaknya akan jadi makin viral, wartawan itu pamit undur diri. Menyisakan aku dan lelaki indigo ini di sebuah meja dalam keadaan saling berhadapan. Seolah belum cukup aneh meladeni pembeli dari dunia lain, kini aku malah dihadapkan dengan pembeli yang ngomongnya udah kayak dukun.

“Jadi, yang kamu kira Villa itu adalah rumah sinder tempat Ningrum mati kelaparan dan pepohonan yang kamu kira hutan itu adalah kebun karetnya.” Kata si pria indigo.

“Ningrum kelaparan ingin makan spikoek makanya dia memanggilku?” tanyaku heran.

“Ya, ia merindukan makan spikoek sambil berbincang dengan Meneer. Sebab setelah jadi Nyai, tak ada pribumi yang mau berbicara dengannya. Tak berhak pula bicara dengan Belanda. Serdadu Jepang membunuh satu-satunya kawan bicaranya.”

Kasihan sekali nasib Ningrum...

“Tapi kenapa dia memanggilku?”

“Takdir. Hanya kebetulan saja frekuensimu dapat terjangkau olehnya. Mungkin juga ini pelajaran untukmu yang sering pelit tidak mau kasih gratis ongkos kirim. Akhirnya malah disuruh kirim ke dimensi lain.” Ia tertawa mengejek. Sial, bagaimana dia bisa tau soal itu.

“Terimakasih atas ceritanya. Jika sudah selesai makan, pintu keluar ada disebelah sana.” Ujarku setengah jutek untuk mengusirnya.

“Hey, apa kamu percaya takdir?” tanya pemuda itu lagi.

The Baker (Life isn't always as sweet as a cake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang