Pesanan Paling Jauh (Part 2)

29 2 0
                                    

Aku terus mengikuti maps yang membawaku menjauh dari jalan utama. Masuk ke jalanan desa yang sepi dan lengang. Tak ada persawahan disini. Yang kutemui adalah pekarangan milik warga yang dipenuhi pepohonan rimbun, juga rumpun bambu.

Adzan maghrib berkumandang sesaat sebelum aku melewati rumpun bambu. Seketika suasana berubah hening. Tak terdengar suara apapun, bahkan serangga malam sekalipun. Ini sungguh aneh. Perasaanku jadi tidak enak. Sekali lagi, aku cek hapeku untuk memeriksa alamat. Tapi gps ku tiba-tiba tak berfungsi.

"Sial! Kok bisa sinyalnya tiba-tiba hilang!" rutukku dengan suara keras untuk memecah keheningan yang menyeramkan ini. Berharap tiba-tiba ada tanda-tanda kehidupan yang muncul dengan suara kerasku. Tapi hanya hening yang kutemui. Juga warna langit yang semakin gelap.

Kulihat jam, pukul lima lebih tiga puluh. Sudah maghrib, ya. Mungkin aku harus menuruti pesan ibu. Harusnya aku melaksanakan sholat maghrib terlebih dulu. Baik, Gendis, tenanglah. Kita cari masjid, mushola, surau, atau apapun. Kemudian kita kembali cari alamat ini.

Aku terus mengikuti jalur tanah becek yang licin dan sempit. Sedari tadi hanya kegelapan pepohonan yang kulihat. Dalam hati aku mengucap dzikir, sholawat, dan berdoa agar segera menemukan masjid agar aku bisa melaksanakan sholat maghrib. Hingga akhirnya pepohonan lebat itu berganti langit terang.

Sebuah rumah tanpa pagar berdiri megah diatas bukit. Disekitarnya hamparan rumput hijau luas membentang. Ini satu-satunya rumah yang ada setelah hutan tadi. Mungkin memang ini rumahnya. Syukurlah aku bisa mengantar tepat waktu sekaligus numpang sholat.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum..." sahutku sambil mengetuk pintu depan yang terbuat dari kayu megah. Tak ku temukan bel apapun disana. Sedangkan motor ku parkir tepat di halaman depan pintu.

"Assalamualaikum !" teriakku sedikit lebih keras sambil mengetuk pintu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pantas saja tiga driver menolak pesananku. Sudah rumahnya jauh di pelosok hutan, susah pula memanggil tuan rumahnya.

Aku kembali mengetuk pintu untuk yang ketiga kali. Jika sampai panggilan ketiga tak kunjung dibukakan pintu, maka kue ini akan kucantolkan saja di engsel pintu. Untungnya si pembeli sudah mentransfer lunas, lengkap dengan ongkirnya. Aku juga sudah mengantarkan pesanan sampai ke rumahnya. Meski tidak dibukakan pintu.

The Baker (Life isn't always as sweet as a cake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang