Pesanan Paling Jauh (Part 4)

29 2 0
                                    

Kriiing...

Baru saja sampai di ruang tamu, hapeku berbunyi. Satu panggilan masuk dari ibuku. Aku memberi isyarat permisi pada gadis itu dan mengangkat telfon.

"Halo, bu?"

Tak ada suara apapun. Hanya kemresek saja. Ah, aku lupa. Disini kan sinyalnya sangat buruk. Aku mengambil tas dan kunci motorku lalu memberi isyarat untuk keluar ke teras depan untuk menerima telefon. Tapi suara ibu masih tidak terdengar.

Aku mematikan telfon dan hendak segera berpamitan. Tapi ketika aku berbalik, pintu rumah itu sudah tertutup. Aku merasa tidak enak karena belum sempat meminum teh yang telah dihidangkan. Tapi, yasudahlah, anggap belum rejeki. Lebih baik aku segera pulang.

Suasana villa ini teramat sepi, bahkan seranggapun tak bersuara. Aku agak sedikit merinding ketika harus melewati rerumpunan pohon rimbun itu lagi, tapi hanya itu jalan satu-satunya yang aku tau. Dalam hati aku terus berdoa agar Tuhan melindungiku hingga pulang ke rumah.

Dalam ketakutanku, ku terabas gelapnya pepohonan dan rumpun bambu. Berharap tidak ada penumpang ilegal di jok belakang motorku yang kosong. Perlahan, aku kembali melihat rumah penduduk. Pemukiman. Pengendara motor lain. Jalan raya. Alhamdulillah, suara-suara bising itu kembali lagi. Bising memang menyebalkan, tapi terlalu hening rasanya sungguh menakutkan.

Sesampainya di rumah, aku sedikit kaget menjumpai rumahku amat ramai. Perasaan ibu tidak sedang mengadakan pengajian rutin, tapi kenapa banyak sekali bapak-bapak bersarung sedang mengobrol di rumah? Dan kenapa ada bendera kematian dipasang didepan rumah? Ibu? Apa ibu mendadak meninggal kena serangan jantung saat aku pergi tadi?

Astaghfirullah hal adzim...

"IBUUUUKKK !!!" Teriakku sambil menangis, meninggalkan motorku begitu saja dan masuk kedalam rumah. Orang-orang seketika kaget saat melihatku menghambur masuk rumah sambil menangis kencang. Kulihat ibuku ada disana. Duduk bersimpuh beralas tikar di ruang tengah. Loh, kalau ibu masih hidup, lalu siapa yang meninggal? Bapakku kan sudah lama tiada?

"GENDIIIIS !" Ibu berteriak histeris lalu menghambur ke arahku. Memelukku dengan sekuat tenaga. Mencium kedua pipiku.

"Ya Allah, nak, Gendis... Kamu pulang, nak?" katanya sambil menangis.

"Bu, siapa yang meninggal? Aku kira tadi ibu yang meninggal pas aku nganter kue. Gendis takut, bu" tangisku balas memeluk ibu. Orang-orang di sekitar kami hanya ber aah dan ooh melihat pemandangan ini. Membuatku merasa seperti teletubbies yang pelukannya dinanti sejuta umat.

The Baker (Life isn't always as sweet as a cake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang