Chapter 12

31.7K 3.4K 1.5K
                                        

"In the end, we only regret the chances we didn't take."
CRYSTA

⚜⚜⚜

Suara sirine mengambil alih perhatian orang-orang dijalan raya. Mereka segera membuka jalan ketika kendaraan itu melaju ditengah lalu lintas yang cukup padat. Perjalanan menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu lima menit dari restoran milik Sofia. Leone duduk sembari menggenggam tangan Alexa yang terbaring lemah dibrankar ambulans. Ia terus mencium punggung tangan gadis itu dengan perasaan cemas. Mencoba mengatur napas ketika rasa ingin menghancurkan segalanya kembali muncul dikepala.

Saat ia melihat Alexa meneteskan air mata bersama rintihan rasa sakit keluar dari mulutnya, Leone bersumpah pada dirinya sendiri untuk menyayat semua orang yang telah menumpahkan setetes darah gadis itu. Ia pasti akan mencari dan membunuh siapapun yang berani menyakiti kekasihnya. Siapapun. Tanpa pandang bulu.

Leone tak berhenti menatap wajah pucat Alexa yang terhalang alat bantu pernapasan. Sesekali ia menggertakkan giginya karena geram. Ini menjadi salah satu pemandangan yang paling ia benci dalam hidupnya. Ia juga teringat dengan detik-detik terakhir sebelum kesadaran Alexa menghilang. Sebuah senyuman dan pengakuan singkat membuat laki-laki itu yakin jika Alexa telah percaya padanya tanpa syarat.

Salah seorang petugas yang duduk didekat Leone mulai terlihat gelisah dan tak nyaman. Tubuh pria itu panas dingin karena tatapan Verdant yang begitu mengintimidasi. Terlebih saat ia tak sengaja melihat tato besar yang ada di leher sebelah kiri laki-laki itu. Gambar ular kobra yang melilit sebuah pedang seperti salib dengan detail tertentu dibeberapa bagian, ikut menarik perhatiannya karena penasaran. Ia semakin yakin, jika mereka yang ada dihadapannya saat ini adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan berbahaya. Sebagai bukti kuat, perempuan yang terbaring didepannya tidak terluka karena sebuah kecelakaan, namun karena tragedi penembakan. Ia jarang menemukan kasus seperti ini di pusat ibukota. Itulah mengapa ia lebih banyak diam saat ini.

Verdant sampai di restoran sesaat setelah kedatangan ambulans yang tiba dua menit lebih cepat untuk membawa Alexa. Pria itu terlambat. Para Capo yang ikut dengan Carlo sudah sampai di markas utama sejak mereka meninggalkan restoran. Verdant dengan sigap meminta John turut membawa beberapa made man untuk segera menyusul ke rumah sakit. Saat ini, tiga Pajero hitam tengah mengawal mobil ambulans sejak pertemuan mereka di dekat persimpangan.

Verdant memperhatikan gerak-gerik petugas itu cukup lama. Ia harus memastikan apakah orang itu tahu tentang Leone atau tidak. Sebab nama Leone memang cukup terkenal di wilayah Lazio. Beberapa orang mengenalnya sebagai putra dari mafia paling berkuasa di Sisilia. Mereka tidak tahu seperti apa rupa sebenarnya dari Leone Luciano, nama panggilan Leone ketika bertemu dengan aliansi mafianya.

"Percepat mobilnya!" Verdant melesatkan tatapan tajam pada sang petugas.

"S-sì, signore." Jawab sang petugas dengan sebuah anggukan cepat. Suaranya terdengar gemetar.
[Y-ya, Tuan]

Pria itu memberi tanda pada temannya, sang sopir, dengan mengetuk pembatas diantara mereka. Walaupun mereka sudah dalam kecepatan penuh, Verdant melakukannya hanya untuk mengalihkan perhatian Leone.

Leone mulai tampak ingin meluapkan sedikit amarahnya. Ia memandang petugas itu dengan mengeluarkan sedikit ancaman. "Se succede qualcosa a mia moglie, allora questa è la tua ultima notte respirando in pace."
[Jika terjadi sesuatu dengan istriku, maka ini adalah malam terakhirmu bernapas dengan tenang]

Pria itu terdiam selama beberapa detik berikutnya. Menelan saliva susah payah setelah mendengar perkataan Leone. Ia lalu kembali meyakinkan laki-laki itu jika Alexa pasti akan selamat. "Dia pasti akan bertahan, Tuan. Kami memiliki dokter terbaik yang sedang bertugas malam ini."

The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang