Sheet 1

267 33 7
                                    

Brak

Gedebruk

"Setann! Dendam lo?!"

"Salah lo sendiri jalan gak pake mata."

"Otak dipake, di mana-mana jalan pake kaki!"

"Heh!"

Sephia dan Septyan yang berdebat di ambang pintu seketika menoleh saat Bu Trisna menyentak mereka. Bu Esti berjalan mendekati mereka, memberi mereka tatapan tajam sebelum akhirnya berkata dengan pedas.

"Kalian berdua, hormat di bawah tiang bendera sampai jam istirahat!"

Blam! Sial sekali.

"Gak bisa gitu dong, Bu. Saya gak dateng telat, tadi saya habis dari kamar mandi," sangkal Sephia yang masih terduduk mengenaskan di lantai depan kelas.

"Dari kamar mandi lama sekali," protes Bu Trisna, sementara Septyan justru menahan tawa.

"Sebentar, kok. Saya cum—"

"Cuma apa? Tas kamu saja masih kamu pake, pasti kamu dateng telat. Iya, kan?" potong wanita paruh baya berhijab itu.

Sephia melirik bahunya. Sebuah tas masih tergantung di sana. Sial, batinnya. Ia lupa bahwa ia masih mengenakan tas.

"Saya jelas—"

"Kamu tau, kan, ibu gak pernah nerima alasan apapun?" tanya Bu Trisna memotong pembicaraan Sephia lagi.

Septyan cekikikan sendiri seraya menutup mulutnya. Sephia lantas mengalihkan kepalanya pada lelaki berkulit sawo matang itu. Gadis itu mendelik lalu bangkit dengan wajah kesal.

"Oke, Bu. Saya pamit!" tukas Sephia cepat. Gadis itu berbalik menuju halaman sekolah untuk melaksanakan hukuman. Sedangkan Septyan, masih di tempatnya menahan tawa seraya melihat kepergian gadis bertubuh mungil itu.

"Heh! Kamu juga dihukum!" sentak Bu Trisna. Septyan sontak terlonjak dari tempatnya.

"I-iya, Bu!" Dengan langkah seribu, Septyan mengikuti langkah Sephia menuju tiang bendera. Bu Trisna lantas memandang kedua muridnya itu dengan wajah merah menahan sabar.

Septyan memelankan gerakan kakinya untuk menyamakan langkah dengan Sephia. Kedua orang itu justru tampak seperti adik kakak yang tengah jalan berdua. Meski tinggi mereka tak terpaut jauh, tetapi jika dilihat, Sephia tampak seperti anak kecil yang berjalan di samping kakaknya.

"Bocil!" goda Septyan.

"Apa lo?! Puas lo bikin gue dihukum?!" sentak Sephia sebal dengan kaki yang masih menapak menuju tiang bendera.

Septyan terkekeh. "Salah lo, lah, jalan lelet banget!" tuduh lelaki itu.

Ya, memang itu kenyataannya. Tadinya lelaki itu buru-buru masuk kelas karena terlambat. Melihat Sephia datang dari arah berlawanan, lelaki itu lantas mempercepat langkah dan menyerobot pintu sebelum gadis itu masuk. Dan, jadilah tabrakan yang membuat Sephia tersungkur dengan memprihatinkan.

"Perut gue sakit. Lagi pula lo sendiri yang gak sabaran!" Sephia masih menyalahkan Septyan atas apa yang terjadi. "Kalo lo gak tiba-tiba dateng terus asal masuk, lo gak mungkin nabrak gue!" lanjutnya.

"Udah, kalaupun gue gak nabrak lo, kita tetep bakal dihukum gara-gara telat," balas Septyan enteng.

Sephia lantas menatap lelaki di sampingnya dengan tajam. "Gue gak telat, ya! Cuma ada urusan mendadak!"

Sekarang mereka telah sampai di bawah tiang bendera. Sephia menjauhkan tubuhnya dari Septyan sebelum akhirnya mengangkat tangan dengan tas yang masih ia kenakan, hormat pada bendera yang berkibar di atas sana.

Septyan terkekeh sendiri. Mengusili Sephia adalah sebuah kesenangan. Tapi, bukan berarti lelaki itu selalu berbuat jahil pada Sephia. Lelaki itu juga masih punya hati, ia tahu batas candaan.

Terik pagi ini terasa membakar kulit. Tangan kiri Sephia dengan refleks terangkat dan mengibas-ibas. Gadis itu kepanasan. Sesekali ia memegangi perut, rasanya sangat nyeri.

"Panas?" tanya Septyan.

Sephia menoleh pada Septyan dengan malas. "Lo gak liat matahari segede itu? Lo gak liat kita lagi dipanggang manual?" tanyanya kesal.

Sephia memegangi perutnya sambil meringis. Sumpah, rasanya ia ingin pingsan. Apalagi melihat wajah Septyan yang menjengkelkan.

Sephia tak terlambat, ia berani menjamin itu. Bahkan ia berangkat pagi tadi. Hanya saja, tiba-tiba ia merasa roknya basah. Dengan sigap gadis itu pergi ke kamar mandi seraya membawa tas untuk menutupi roknya yang telah berwarna merah.

Sial, bukan? Dihukum untuk berdiri di bawah sinar matahari dengan perut yang terasa sangat nyeri. Sungguh, ia ingin membelah diri sekarang. Semua ini karena Septyan.

Tiba-tiba, kepalanya yang tadi terpapar sinar matahari secara langsung, sekarang tertutupi oleh bayangan. Sephia lantas mendongak. Ia melihat tas berwarna hitam berada beberapa centi meter di atas kepalanya. Ia lantas menoleh menatap Septyan, si pemilik tas itu.

Kedua tangan Septyan memegangi tas untuk menutupi kepala Sephia. Jarak mereka sekarang tak sejauh tadi. Septyan yang merasa diperhatikan lantas memutar kepala dan sedikit menunduk untuk melihat gadis di sampingnya. Matanya menangkap mata Sephia.

"Gak panas lagi, kan?" tanya Septyan. Sephia tak menjawab.

"Gue kasian, kalo lo kepanasan terus item, gue gak tega. Udah pendek, item, gimana mau ada yang suka?" Septyan meledek Sephia dengan pedas.

"Gue cantik asal lo tau!" balas Sephia tak terima. Kadar cantik seorang wanita itu berbeda-beda, bukan berdasarkan warna kulitnya. Ia tak menyukai sebuah diskriminasi, apalagi antara gadis ideal dan gadis yang di bawah rata-rata.

Jelek, cantik, pendek, tinggi, hitam, putih, para gadis itu cantik dengan cara mereka masing-masing. Lagi pula, seorang gadis akan terlihat sempurna di mata orang yang tepat. Ralat, seorang gadis akan disempurnakan oleh orang yang tepat. Maksudnya, saling melengkapi satu sama lain.

"Yaudah, berarti gue gak usah mayungin lo." Septyan menarik tangannya, sehingga tas yang tadinya menutupi kepala Sephia perlahan beralih. Cahaya matahari kembali menembus rambut hitam Sephia.

"Terserah, gue juga gak minta!" Sephia kembali mengangkat tangannya untuk menghormat.

Septyan yang tengah menatap Sephia, tak sengaja melihat warna biru keunguan yang tercetak di lengan bagian atas gadis itu. Septyan mengernyit, lalu mengulurkan tangan untuk memastikan bahwa itu bukanlah luka lebam.

"Itu kenapa?" tanyanya.

Sephia yang melihat Septyan hampir memegang tangannya, langsung melangkah ke samping untuk menjauh. Tak lupa ia membenarkan baju seragamnya agar menutupi lengan.

"Itu ... lo luka?" tanya Septyan lagi.

"Emm ... i-iyalah! Gara-gara gue jatuh tadi, jadi lebam gini, gara-gara lo juga!" Sephia gugup.

Septyan mengerutkan dahinya heran. "Yang kebentur itu kaki lo, mana bisa tangan lo yang luka. Lawak lo, sapi!" Yang dimaksud sapi adalah Sephia. Memang lelaki itu sering memanggil Sephia dengan nama yang aneh.

"Tangan gue kena tembok, lo aja yang gak liat!" sentak Sephia cuek.

"Tapi lo—"

Sephia berdecak. "Bisa gak, sih, sehari ajaa ... lo gak ganggu gue?!" sela gadis berambut sepunggung tersebut.

"Gue nanya doang, gak usah marah-marah," balas Septyan.

Dengan wajah merah, Sephia menggenggam tangannya erat. Ia benar-benar ingin mencabik lelaki yang berdiri beberapa meter di sampingnya itu. Menyebalkan.

-

Heii! Semoga kamu menyukai ini. Hanya 1007 kata, semoga tidak mengecewakan. Jangan lupa save di perpustakaan, yaa.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang