[35] His Ring

1.1K 262 12
                                    

'Namaku Minho.'

'Aku seorang mermaid.'

'Terima kasih sudah mau menjadi temanku.'








Api itu telah padam, menyisakan arang serta abu dari sisa pembakarannya.

Dan juga sosok yang masih merunduk tak jauh dari bekas pembakaran tersebut. Duduk di pasir sendirian dengan wajah sembab dan mata bengkak. Semalaman penuh ia tak pulang, semalaman penuh ia duduk disana, memandang pilu bagaimana mereka —kaumnya sendiri— dengan begitu keji menghabisi sosok yang disayanginya.

Padahal jika saja mereka tak merenggutnya, Chan mungkin saat ini sudah memakamkan Minho dengan layak. Setidaknya ia lebih pantas mendapatkan itu ketimbang harus musnah dilahap oleh si jago merah.

Tapi manusia-manusia keji tak berhati itu justru membinasakannya. Membuat pemuda seperempat abad ini menjerit histeris dan menangis sejadi-jadinya. Membuat Chan kini hanya bisa mengais di antara remah-remah arang serta abu, berusaha mencari sisa dari jenazah si duyung manis untuk ia kuburkan nanti.

Tapi semuanya telah habis. Tak ada sisa sama sekali bahkan sekedar satu sisiknya pun telah hangus terbakar. Ia musnah, tak lagi berbekas.

"Maafkan aku," lirihnya pedih dengan suara parau. Sedangkan lelehan air mata itu kembali mengalir di pipinya yang pucat. "Aku tak bisa menyelamatkanmu. Maafkan aku."

Angin laut berembus, memainkan anak-anak rambutnya yang ikal hingga nampak bergoyang dengan amat gemulai. Langit masih gelap, namun dari arah timur ia bisa melihat semburat cahaya keemasan mulai muncul. Fajar telah terbit, dan malam akan berganti siang.

Namun Chan masih setia duduk di tempatnya, mengorek-ngorek pasir dan abu, mencari sisa dari apa yang terjadi semalam dengan wajah basah penuh uraian air mata. Sampai tiba-tiba ada tangan lain yang menepuk bahunya pelan, membuatnya seketika menoleh dengan raut yang berantakan.

"Kak Chan.." cicit Felix pelan, lantas sedetik kemudian ia berhambur memeluk tubuh orang yang dipanggilnya, lalu kemudian menangis di sana. "Maafkan aku, aku gak bisa menolongnya saat mereka membawanya," ucapnya disela-sela suara isakan.

Chan tak menjawab, lelehan air matanya sudah menjelaskan seberapa sakit hatinya kini. Ia hanya bisa diam, menatap langit yang perlahan mulai terang di atas hamparan laut dan juga sosok temannya yang berdiri tak jauh, memandangnya dengan tatapan mata sendu.

"Ikhlaskan yang terjadi, Chan," ucap Changbin sembari mendekat. "Minho sudah bahagia di tempatnya kini. Kamu mau membantah sekuat apapun takkan pernah bisa mengembalikannya lagi.. ia sudah pergi," tambahnya kemudian.

Namun kata-kata itu semakin membuat Chan terisak, menangis kembali walau tanpa suara. Ia tahu dan sadar benar jika yang diucapkan Changbin adalah kebenaran; sebab mau ditangisi terus pun, Minho takan pernah kembali lagi.

"Ayo, Kak. Pulang," ajak Felix sembari meraih lengan besar Chan, mengajaknya berdiri dari tempatnya kini.

Chan menggeleng pelan, menolak ajakan untuk pulang ke rumahnya. "Ayah dan Ibu Kak Chan pasti cemas sekarang ini karena Kakak terus-terusan menangis di sini," cakap Felix lagi.

Matahari mulai meninggi, namun sebagian besar dari langit di atas mereka masih terlihat gelap. Awan tebal menyelimuti sepanjang garis horizon, angin laut dingin ikut bertiup dengan kencangnya. Sepertinya hujan akan turun tak lama lagi.

Setelah berusaha keras membujuk, Chan akhirnya luluh dan bangkit berdiri. Sembari dipapah oleh Felix dan Changbin, ia beranjak dari tempatnya duduk semula.

Namun baru kaki itu maju selangkah, mendadak kembali terhenti tatkala telapaknya tak sengaja menginjak sesuatu di pasir.

Chan terdiam sesaat, meraih apa yang ada di bawah kakinya dan terkejut bukan main saat tahu apa yang baru saja diinjaknya.

"Ini.." cicit suaranya kecil. Dan air mata itu jatuh lagi hanya dalam sekian detik setelah mengatakan, "Cincinnya Minho," dengan pilu.

Benar, benda yang digenggamnya kini adalah cincin berbentuk trisula yang pernah ia berikan pada si duyung tempo malam. Benda yang dijadikannya sebagai hadiah atas pertemanan mereka. Benda yang kini nampak sebagian besarnya menghitam karena dilahap api.

Wuuusshhh..

Bersamaan dengan itu serbuan angin kencang menghempas tubuh ketiganya. Membuat mereka menoleh ke arah lautan, dan melihat ada gerumul awan hitam pekat dengan kilat yang bergerak cepat menuju daratan.

Badai datang menerjang.

"Aku mengandalkanmu, Jiji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku mengandalkanmu, Jiji."

Jisung mengangguk patuh lalu kemudian menjawab, "Sebuah kehormatan untuk saya bisa membantu kerajaan, Yang Mulia Dewi," pada sosok wanita yang kini berada di depan anemon laut, rumahnya.

Callypso—wanita tersebut mengangguk pelan sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan si ikan badut dan seekor kuda laut kecil, yang mulai sibuk mengarahkan ikan-ikan, pun seluruh penghuni terumbu karang lain menuju sebuah gua di dasar lautan. Berupaya untuk mengungsi selama peperangan —yang akan dimulai sebentar lagi— terjadi.

"CEPAT! CEPAT!! KITA HARUS SEMBUNYI!!" teriak Jeongin pada sekumpulan kuda laut yang adalah keluarganya sendiri untuk segera bergegas, ikut dengan hewan lainnya masuk ke dalam gua. Begitu pula dengan yang terjadi pada Jisung saat ini; berusaha membantu jenisnya serta ikan lainnya untuk lekas bergerak.

Lain daripada yang terjadi di terumbu karang, pada bagian depan kastil kini terlihat banyaknya tentara laut yang sudah bersiap dengan posisi masing-masingnya.

Kawanan hiu putih, belut listrik, ular air, hingga mahkluk mitologi yang hanya ada dalam cerita-cerita rakyat; kraken serta naga air, ikut dikerahkan.

Sementara itu pada bagian depannya nampak jelas barisan duyung lain selaku pengawal istana, serta Juyeon dengan baju zirah dan menghunus pedangnya, pula Sang Dewa Raja Poseidon tengah bersiap dengan trisulanya.

"Berkumpulah," Dewa lautan itu mengangkat sebelah tangannya ke atas, memanggil jiwa-jiwa alam, mengerahkan kekuatan yang ia punya hingga dalam detik selanjutnya ributlah lautan seketika.

Tanah di sekitar mereka berguncang, palung-palung/ngarai nampak satu demi satu meruntuhkan dinding terjalnya. Air laut pasang, gelombang tinggi memecah karang. Langit yang semula terang bersemburat fajar pun kembali gelap gulita. Angin kencang menerjang.

"Demi nyawa anak bungsuku yang telah kalian renggut tanpa rasa manusiawi, dengan ini aku nyatakan jika kaumku akan memberikan pembalasan yang setimpal untuk kalian," geram sang Dewa.

Pun dalam satu aba-aba kencang, bala tentara itupun siap bergerak.

"SERAAANGGG!!!"

Dan perang pun dimulai.



















Dan perang pun dimulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Under Water ✓ [Banginho ft. Juyeon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang