"Ada yang kamu butuhkan?" tanya Chan pelan setelah membaringkan si duyung di atas kasur dalam kamar Changbin.
Yang ditanya nampak menggeleng lemah, ia masih terus saja terlihat ketakutan saat si nelayan itu berbicara dengannya, tak luput juga dengan kedua tangan yang selalu bersilang di depan dada, seolah benar-benar tengah menjaga agar dirinya tak dilukai oleh sosok di hadapannya kini. Padahal saat ini tubuhnya sudah terbalut kemeja putih besar milik salah satu dari nelayan muda itu. Meskipun pada bagian bawahnya tak demikian.
Chan terdiam, ia menarik selimut agar menutupi kaki jenjang sang duyung hingga batas perutnya sebelum berucap dengan pelan, "Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" katanya.
Yang muda terlihat terdiam sesaat, tapi kemudian ia mengangguk lemah tanda memberikan ijin pada Chan untuk bertanya padanya.
"Beberapa minggu yang lalu, aku dan ayahku berlayar menuju Teluk Putih untuk melaut. Tapi saat itu badai datang dan menerjang kapal kami hingga aku jatuh ke dalamnya. Dan kupikir aku akan mati, tapi kemudian sesuatu dari dalam laut datang menolongku, hanya saja aku tak begitu ingat siapa dan bagaimana. Lalu entah kenapa warga di pulau ini kemudian menemukan diriku sudah ada dermaga," urai Chan, ia mengambil jeda sesaat sebelum melanjutkan ucapannya.
"Jika boleh tahu, apakah itu kamu? Apa kamu yang sudah menolongku?" lanjutnya.
Yang ditanya tak menjawab, ia justru memandang Chan dengan wajah yang sukar diterka. Tapi dilihat dari kedua tangan kecilnya yang sibuk memilin ujung kemeja, Chan bisa melihat jika ia tengah gugup saat ini. Mungkin bingung akan menjawab apa. Tapi setelah terdiam beberapa saat, sesuatu yang luar biasa ditangkap oleh rungu Chan seketika. Sebab...
"Iya," ia menjawabnya. Setelah sekian waktu Chan melihat sosoknya, akhirnya ia bisa mendengar seperti apa suara asli dari duyung manis tersebut.
"Kau... bisa bicara?" tanyanya penuh takjub dan antusias. Senyuman berlesung pipi itupun seketika terkembang dengan begitu luas di wajah putihnya.
Dan yang ditanya kembali menjawab. Namun kali ini hanya sekedar anggukan saja sebelum wajahnya kembali merunduk.
"Jika diijinkan, apakah aku boleh tahu siapa namamu?" Chan kembali bertanya. Ia yang posisinya duduk di tepi kasur itu terlihat sedikit mencondongkan kepala pada sosok yang menjadi lawan bicaranya.
"Aku Christopher, tapi biasanya dipanggil Chan," tak lupa ia juga mengenalkan dirinya sendiri.
Dan duyung itu kembali mengangguk pelan sebelum menjawab, "Minho," dengan suara kecilnya. Nyaris berbisik.
Pangeran Minho, anak bungsu dari Dewa Poseideon. Jika saja Chan ingin tahu rincian lebih lengkapnya.
"Minho?" Chan membeo, dan Minho kembali menganggukkan kepalanya. "Nama yang bagus," puji si nelayan seketika.
Minho mengulum senyuman tipis namun terlihat jelas jika ia tersipu malu karena pujian dari Chan barusan. Wajahnya tertunduk dan ia tak berani memandang si nelayan yang kini tengah menatapnya.
"Ehm.. Minho," panggil Chan pelan, dan si empunya nama kembali mengangkat wajahnya. Membuat pernik sekelam jelaga itu bertautan dengan netra bersih pria muda tersebut.
"Terima kasih sudah menolongku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kamu gak menarikku dari dalam badai itu. Mungkin saja saat ini diriku benar-benar hanya tinggal nama saja," urai Chan. Pelan namun begitu tulus dan kentara dari tatapannya kini. "Aku berhutang budi padamu."
Tangan besarnya terangkat, meraih tangan mungil si duyung untuk digenggamnya dengan erat. Membuat sosok manis berhidung runcing itu seketika terkesiap karena tak menyangka jika manusia ini berani menggenggam tangannya. Yang mana jika di dalam lautan hanya pihak tertentu saja yang boleh menyentuh kulitnya. Tidak sembarangan bisa memegangnya, terlebih jika tahu siapa ia sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Water ✓ [Banginho ft. Juyeon]
FanfictionJujur saja, Chan tak percaya dengan yang namanya mitologi. Cerita tentang para peri, kurcaci, naga, unicorn, pegasus atau mahkluk lainnya itu hanya ada dalam dongeng belaka. Mereka tidaklah nyata; pikirnya. Tapi semuanya berubah setelah badai itu me...