5

532 116 8
                                    


"Him, menurut lo, salah nggak sih, kalau gue selalu jadi pemeran pendukung di film layar lebar atau FTV?" Claudia bertanya kepada Ahimsa saat menemani cowok itu makan malam di rumah makan Padang seberang kantor H2O Studio.

"Nggak salah, sih," sahut Ahimsa sambil menikmati nasi Padangnya. Meski kelaparan sampai perutnya berkerucuk-kerucuk, cowok itu bisa-bisanya makan dengan manner dan terlihat keren. Tidak grasah-grusuh, apalagi sampai berdecap-decap. "Tapi, emangnya lo nggak mau jadi pemeran utama?"

"Siapa sih, yang nggak mau jadi pemeran utama?" desah Claudia. "Sayangnya, hidup nggak selalu ngasih semua yang kita mau."

Ahimsa menenggak air mineral di gelasnya lalu berkata, "Asalkan kita mau terus berusaha, hidup bakal ngasih kita jalan keluarnya."

"Entahlah. Sejak kita ketemu di toko buku tempo hari, gue jadi kepikiran masalah ini terus. Ya, lo bener soal film-film gue sebelumnya, soal gue yang harus lebih selektif dalam memilih tawaran film, dan soal betapa pentingnya mempertahankan eksistensi dengan branding yang bener. Tapi ternyata, Om Hengki nggak punya visi yang sama. Waktu gue ngebahas masalah ini, dia malah nge-judge gue nggak bersyukur dan nggak menghargai usahanya selama ini. Seakan-akan gue nggak berhak punya cita-cita yang lebih besar."

"Basic om lo itu manajer profesional atau sekadar punya kemampuan manajerial otodidak?" tanya Ahimsa yang pada malam itu mengenakan kaus putih polos.

"Dulu, dia pernah kerja di perusahaan agensi artis sebagai driver. Orangnya lumayan supel, jadi punya banyak kenalan dari berbagai circle. Terus dia iseng-iseng ngedaftarin gue casting iklan, dan puji Tuhan keterima. Sejak itu dia resign dan mulai ngemanajerin gue sampai sekarang."

"I see." Ahimsa mengangguk-angguk. Rambutnya yang disisir belah samping bergerak-gerak. "Lo mulai terjun ke dunia entertainment ini sejak kapan?"

"Sejak kelas satu SMA," jawab Claudia. "Bokap gue meninggal waktu gue kelas tiga SMP. Sejak itu hidup gue mulai di ujung tanduk. Gue bahkan nggak yakin bisa lanjut ke SMA. Jadi, setelah akhirnya gue bisa masuk SMA, gue mulai mikir buat kerja paruh waktu. Nggak disangka-sangka, ternyata kerjaan paruh waktu gue jadi bintang iklan dan aktris. Dan kalau sebelumnya gue pikir jadi bintang iklan dan aktris itu cuma keren-kerenan aja, ternyata setelah ngejalaninnya, gue ngerasa kerjaan ini capeknya luar biasa."

"Tapi lo happy kan, ngejalaninnya?" Ahimsa bertanya, sementara Claudia menyesap es teh manisnya.

"Ya, gue happy. Dengan begitu, gue bisa menghidupi diri gue sendiri dan ngebantu nyokap ngebesarin adek-adek gue."

"Bukan. Maksud gue, di luar fakta bahwa lo bisa menjadi tulang punggung keluarga, apa lo sendiri happy dengan segala kegiatan dan kesibukan yang lo lakukan itu? Apa lo sendiri happy waktu dapet peran tertentu, berada di depan kamera, dan kemudian ngeliat diri lo sendiri ada di TV atau di bioskop? Apa lo sendiri happy menjadi seorang aktris?"

Pertanyaan itu membuat hatinya tersentuh. Claudia baru sadar, selama ini tak pernah ada seorang pun yang menanyakan hal itu kepadanya. Tidak omnya, tidak juga ibunya. Bahkan dirinya sendiri pun tak pernah memikirkannya. Kebahagiaannya menjadi prioritas kesekian setelah dia memastikan bahwa keluarganya bisa makan dan melanjutkan hidup dengan nyaman. Ahimsa adalah orang pertama yang menanyakannya. Orang pertama yang mengingatkannya untuk membahagiakan diri sendiri sebelum berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Orang pertama yang memikirkan kebahagiaan Claudia.

"Ya, gue happy jadi seorang aktris," jawab Claudia pada akhirnya. Meskipun sebenarnya dia tidak begitu yakin akan hal itu. "Gue seneng bisa memerankan karakter yang berbeda-beda di setiap film yang gue bintangi, walaupun itu masih peran pendukung."

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang