18

253 70 4
                                    

"Hidup ini penuh kejutan, ya. Kita nggak pernah mengira bakalan hidup di tengah-tengah masa pandemi ini," ujar Banyu sambil menyetir. "Virus aneh tiba-tiba muncul dan menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan yang cepet banget. Semua orang di bumi ini sama-sama sedang ketakutan dan panik. Suasana di rumah sakit tadi pun keliatan genting banget, lebih mengerikan daripada suasana rumah sakit biasanya."

"Ya," angguk Claudia yang duduk di samping Banyu. "Aku jadi nggak bisa jenguk Om Bagas. Cuma bisa mendoakan kesembuhannya."

"Nggak apa-apa, Di. Dukungan dan doa aja udah lebih dari cukup." Banyu melirik Claudia lalu tersenyum. "Dan puji Tuhan, semakin hari kondisi Papi semakin membaik. Dokter bilang besok atau lusa, Papi udah bisa pulang dan dirawat di rumah."

"Syukurlah...."

"Kalau kamu datang ke rumah sakit, aku malah khawatir kamu kena paparan virus. Walau protokol kesehatan di sana udah lebih ketat, aku tetep waswas. Aku sama Mami selalu mastiin diri kami steril saat nemenin Papi atau saat pulang ke rumah. Semprot sana-sini, lepas pakaian langsung direndem larutan disinfektan, dan mandi sebersih-bersihnya."

Claudia tersenyum. Jauh sebelum pandemi Covid-19 ini pun, Banyu bisa dibilang sangat resik. Mungkin dia satu-satunya cowok yang sering menggunakan hand sanitizer yang pernah Claudia kenal. Satu-satunya cowok yang selalu mengelap sendok dan garpu dengan tisu sebelum makan di restoran dan kafe. Dengan segala kebiasaan bersih-bersihnya itu, Banyu tampaknya tidak akan terlalu kaget dengan protokol kesehatan selama masa pandemi ini.

"Kerjaan kamu gimana, Di?"

"Semua jadwal kerjaanku yang nggak terlalu banyak itu postponed, Mas," desah Claudia.

"Sabar, ya. Mungkin memang untuk saat ini, lebih baik kalau kamu tetep di rumah aja, sesuai anjuran pemerintah. Kerjaanku pun kayaknya bakalan lebih banyak dikerjain di rumah daripada di kantor. Udah ada kabar soal WFH juga."

Claudia mengangguk. "Mudah-mudahan tawaran endorsement-ku di Instagram semakin banyak, biar aku nggak gabut-gabut amat di rumah."

Serta-merta Banyu melirik Claudia. "Tapi kamu harus tetep hati-hati sama barang-barang yang mereka kirim. Saat nerima paketnya dari kurir, usahakan tetep jaga jarak. Kurir tetep di luar pagar, dan minta barangnya disimpan di luar aja. Oh, ya, kamu harus pakai sarung tangan sekali pakai yang aku kasih tempo hari itu. Terus, semprot paketnya pakai cairan disinfektan sebelum kamu unboxing. Dan jangan lupa pakai hand sanitizer sebelum dan sesudah pemotretan atau pengambilan video."

"Iya, iya, siap, Bapak Christopher Banyu Pramono. Akan saya laksanakan semua petuah Bapak."

"Aku serius, Di." Banyu sama sekali tidak tertawa menanggapi gurauan Claudia. "Ini tuh virus yang berbahaya dan masih diteliti para ahli. Jadi, kita bener-bener clueless dan hanya bisa menjalankan protokol kesehatan yang dianjurkan. Kamu dan keluargamu minum vitamin yang aku kasih, kan?!"

"Minum, Mas," angguk Claudia. Dia sendiri memang meminumnya. Namun, entah dengan ibu dan kedua adiknya. "Makasih banyak ya, untuk semua kirimannya. Aku kehabisan stok di supermarket dan apotek waktu mau beli."

"Kalau ada perlu apa-apa, kamu telepon aku aja. Mumpung aku masih di Jakarta dan bisa langsung bantu kamu."

"Aku nggak mau ngerepotin Mas Banyu. Mas di Jakarta kan buat nemenin dan ngerawat Om Bagas."

"Jangan ngomong gitu dong, Di. Papi dan kamu sama pentingnya buat aku."

Claudia terdiam. Seandainya Banyu tidak pernah melakukan kesalahan itu, mungkin kata-katanya barusan mampu membuat Claudia benar-benar bahagia.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di parkiran sebuah mal. Hari itu Banyu bersikeras mengantar dan menemani Claudia berbelanja kebutuhan sehari-hari dalam jumlah yang banyak, agar dia tidak perlu sering keluar rumah selama masa pandemi Covid-19 ini.

*

"Baaang!" terdengar suara Aruna dari luar sambil mengetuk pintu kamar Ahimsa.

"Ya? Masuk aja!" teriak Ahimsa sambil berbaring di tempat tidurnya. Matanya fokus ke layar TV.

"Ngapain sih, di kamar mulu? Nggak pusing apa, seharian ini cuma nonton film?"

"Mau gimana lagi? Bioskop pada tutup. Review film harus tetep jalan." Ahimsa bangkit dan duduk, lalu menyadari segelas minuman yang dibawa Aruna. "Apaan tuh, Dek?"

"Cobain deh, Dalgona Coffee buatan gue! Ini minuman kekinian yang lagi hits banget di medsos." Aruna menyerahkan minuman itu dengan bangga, sampai Ahimsa meminumnya. "Gimana? Enak, kan?!"

"Hm... enak, enak," angguk Ahimsa, lalu menenggaknya lagi. "Sering-sering aja bikinin Abang minuman enak kayak gini, ya! Tapi jangan kemanisan."

"Siap, Bang!" Aruna tampak bersemangat. "Tapi ada syaratnya."

"Syarat apaan?"

"Abang harus cerita soal hubungan Abang sama Kak Claudia. Sebenernya, status kalian tuh kayak gimana, sih?"

"Kenapa sih, Dek, lo sekepo itu sama kisah percintaan Abang?"

"Sebagai seseorang yang hopeless romantic, gue selalu tertarik sama kisah-kisah percintaan, apalagi itu kisah percintaannya abang gue sendiri. Dan gue bisa jadiin itu inspirasi buat puisi dan novel gue."

"Oooh... gitu, ya? Jadi, lo memanfaatkan abang lo sendiri buat kepentingan puisi dan novel lo? Lo itu bukan hopeless romantic, tapi oportunistis."

"Ya biar sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui, Bang." Aruna tertawa. "Enggak, deng. Gue bercanda. Gue kepo sama percintaan Abang karena gue peduli sama Abang. Gue suka menyayangkan aja kalau abang gue yang ganteng dan keren ini ngejomblo. Dan yang terpenting, gue pengin ngeliat abang gue satu-satunya ini bahagia."

"Emangnya selama ini Abang nggak terlihat bahagia di mata lo?"

"Entahlah. Sejak putus dari Kak Dinar, Abang keliatan kayak kurang happy aja. Jarang senyum. Lebih dingin. Pokoknya bikin gue nggak nyaman ngeliatnya. Tapi, sejak Abang kenal Kak Claudia, Abang kembali ceria. Banyak senyum. Hangat. Bahkan Abang sampe mau pake baju yang berwarna." Aruna menatap Ahimsa dengan sungguh-sungguh. "Intinya, kalau Abang bahagia, gue pun ikut bahagia. Begitu juga sebaliknya."

Ahimsa tersentuh dengan kata-kata itu. Ternyata, Aruna bukannya sok tahu, tapi memang perhatian dan peduli terhadapnya. Membuatnya merasa malu. Selain sudah salah menilai adiknya, dia juga ternyata kurang memperhatikannya. Selama ini Ahimsa merasa sudah cukup mengenal adiknya, dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, seperti mengantar-jemput Aruna ke sekolah atau ke tempat-tempat lainnya, melindungi Aruna dari bahaya dan orang-orang jahat, dan sebagainya. Yang belum dilakukannya adalah memperlakukan Aruna sebagai seseorang yang perlu didengar pendapatnya, perlu dihargai perhatiannya, dan perlu dianggap sebagai manusia yang setara. Tidak lebih rendah atau kecil hanya karena usianya lebih muda.

Ah, kenapa gue jadi sesensitif ini? batin Ahimsa. Pasti gara-gara si Dalgona-Dalgona ini!

Dan gara-gara pembicaraan mereka sore itu, Ahimsa teringat kembali pada hubungan yang pernah dijalaninya dengan Dinar. Seandainya di dunia ini benar-benar ada Lacuna Inc., Ahimsa pasti akan pergi ke sana untuk meminta Dr. Howard menghapus memorinya, seperti yang dilakukan Clementine dan Joel di film Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Jika Clementine menghapus ingatannya tentang Joel karena dia tidak merasa cocok dengan pria itu, maka Ahimsa ingin menghapus ingatannya tentang Dinar karena wanita itu sudah menginjak-injak harga dirinya dengan sebuah kebohongan besar.

Kejadiannya benar-benar di luar dugaan. Malam itu, Ahimsa baru selesai menonton film di CGV Cinemas Pacific Place bersama teman-teman dari komunitas Cinemagz. Saat berjalan melewati sebuah restoran, dia melihat Dinar sedang makan dengan seorang pria. Ahimsa berhenti, lalu pamit pada teman-temannya. Mengamati Dinar dari jarak dan tempat yang takkan terlihat.

Ahimsa mencoba menghubungi nomor ponsel Dinar. Saat itu mereka sudah berpacaran selama tiga bulan, dan tentu saja sudah bertukar nomor ponsel, tidak lagi hanya mengandalkan telepati. Namun, Dinar hanya memandangi layar ponsel lalu menyimpannya ke dalam tas. Mengabaikan Ahimsa tanpa rasa bersalah, Dinar bahkan terlihat mesra dengan pria di sampingnya. Pria itu berpenampilan rapi dan tampak matang. Usianya sekitar tiga puluhan. Sama sekali tidak punya kemiripan dengan Dinar. Tidak juga terlihat seperti teman kuliahnya.

Api cemburu kian berkobar dalam diri Ahimsa ketika pria itu mengecup pipi Dinar, dan Dinar tampak tersipu-sipu. Ahimsa tak mampu menahan diri lagi. Serta-merta dia mendatangi dan melabrak mereka.

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang