19

268 72 5
                                    

"Jadi ini yang kamu bilang lagi nugas sama temen kampus?" Ahimsa menatap Dinar dengan marah. Saat mereka bertukar kabar pada sore harinya, Dinar bilang begitu sebagai alasan dia tak bisa bergabung dengan Ahimsa dan komunitas Cinemagz. Sejak mereka resmi berpacaran, Ahimsa kerap mengajak Dinar dalam setiap acara nonton bareng komunitas tersebut.

"Him? Kamu... lagi ngapain di sini?" Dinar tentu kaget. Dia tidak tahu tentang perubahan tempat nonton bareng itu. Dia pikir, Ahimsa dan komunitas Cinemagz tetap nonton bareng di Blok M Square.

"Kamu yang lagi ngapain di sini?" Ahimsa bertanya balik kepada Dinar, lalu menatap pria di sampingnya. "Dan siapa cowok ini?"

Pria itu mengulurkan tangan dengan santai ke arah Ahimsa sambil tetap duduk. "Kenalin, gue Farhan. Cowoknya Dinar. Lo siapa?"

Ahimsa mengeratkan rahangnya, berusaha menahan amarah. Mengabaikan uluran tangan Farhan, Ahimsa menatap Dinar dan berkata, "Tolong kasih tau dia siapa aku!"

Dinar terdiam dan tampak tertekan. Sesaat kemudian, dia bangkit dan memaksa Ahimsa keluar restoran setelah berpamitan pada Farhan.

"Him, tolong jangan buat keributan di sini. Oke?" ujar Dinar kepada Ahimsa, saat mereka sudah berada di luar restoran. "Aku bisa jelasin. Aku janji bakal jelasin. Tapi nggak sekarang."

"Kenapa kamu bohongin aku, Nar? Kenapa dia ngaku-ngaku sebagai cowok kamu? Dan kenapa kamu malah maksa aku keluar daripada ngasih tau dia kalau aku ini cowok kamu?" cecar Ahimsa dengan geram. "Jawab, Nar! Sekarang!"

Dinar menatap Ahimsa dalam-dalam, penuh keberanian. Seakan-akan dia tidak melakukan kesalahan. "Kamu denger nggak, tadi aku ngomong apa? Aku nggak mau ngulang dua kali!"

Ahimsa speechless saat melihat Dinar pergi meninggalkannya, kembali masuk ke restoran, dan menemui Farhan. Tidak ada penghinaan yang lebih menyakitkan daripada apa yang baru saja dilakukan Dinar kepadanya.

Besoknya, Dinar menemui Ahimsa di kampusnya. Di sebuah kafe dekat situ, dia menjelaskan semuanya secara singkat. Bahwa sebenarnya, dia sudah berpacaran dengan Farhan selama tiga tahun. Farhan pria yang baik dan mapan, namun terlalu sibuk bekerja dan cenderung membosankan. Namun, ada beberapa hal yang membuat Dinar sulit mengakhiri hubungan mereka. Dinar sering mencari selingan dengan mengencani pria lain. TTM, FWB, apa pun istilahnya jenis hubungan mereka, sampai akhirnya Dinar bertemu Ahimsa.

"Aku beneran sayang sama kamu, Him," ucap Dinar kala itu dengan ekspresi bersungguh-sungguh. "Tapi... aku juga nggak bisa pisah dari Bang Farhan."

"Kalau gitu, lo bisa pisah dari gue." Ahimsa bangkit, lalu pergi tanpa keraguan sedikit pun.

*

"Besok aku berangkat ke Bali," ungkap Banyu kepada Claudia. Siang itu, Claudia datang menjenguk Om Bagas yang sudah diperbolehkan dirawat di rumah. Kemudian, mereka berdua berbincang di teras belakang rumah Banyu. "Sebenernya, aku berat ninggalin Papi sama Mami dalam situasi kayak gini. Meskipun ada perawat, tetep aja harusnya aku di sini mendampingi mereka. Tapi mau gimana lagi? Ada beberapa kerjaan yang memang sama sekali nggak bisa di-handle dari sini, harus on location."

"Aku siap membantu kalau diperlukan," sahut Claudia, tulus. Dia memaklumi situasi yang dihadapi Banyu sebagai anak satu-satunya di keluarga ini.

"Thanks, Di." Banyu tersenyum menatap Claudia. "Tapi aku nggak mau ngebebanin kamu untuk sesuatu yang bukan tanggung jawabmu. Apalagi kalau sampai harus mengganggu pekerjaanmu. Mungkin, aku sama Mami bakalan butuh dukungan moral buat nguatin hati kami, dan doa buat mempercepat kesembuhan Papi."

"Apa pun, selama aku mampu, aku bakal ngelakuinnya."

"Kamu tuh baik banget, Di. Perempuan terbaik yang pernah aku kenal." Banyu mendesah. "Dan aku adalah laki-laki terburuk dan terbodoh di dunia yang udah menyia-nyiakan perempuan sebaik kamu."

"Udahlah, Mas. Jangan diungkit lagi. Nggak ada gunanya juga." Claudia berjalan menuju kolam renang. Mencari ketenangan lewat warna biru yang ditampilkan.

"Bukankah setiap orang berhak atas kesempatan kedua?" tanya Banyu yang kini sudah berada di samping Claudia. "Aku ingin memulai kembali semuanya dari awal."

"Maksud Mas Banyu?"

"Tolong katakan apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku, agar kamu bisa maafin aku."

Claudia menggigit bibir. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara termudah memaafkan pengkhianatan yang pernah dilakukan Banyu. Selama kurang-lebih delapan bulan ini, dia pikir dia sudah berhasil melupakan meski belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Banyu. Namun ternyata, dia hanya berusaha mengalihkan pikiran dan hatinya dari luka itu. Ketika Banyu kembali menghubunginya lewat chat dan panggilan telepon, Claudia berusaha untuk tidak menolaknya, hanya agar dia merasa lebih mudah melepaskannya. Claudia pun tidak pernah menutup aksesnya dengan orangtua Banyu, karena kesalahan yang dilakukan Banyu tidak ada hubungannya dengan mereka. Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, dia masih mencatat pengkhianatan Banyu sebagai dosa yang tak termaafkan.

"Aku nggak tahu, Mas," geleng Claudia pada akhirnya. "Dan aku nggak mau memikirkannya."

"Kalau begitu, apa yang kamu mau dari kita berdua sekarang?"

Claudia bergeming. Pertanyaan Banyu masih cukup sulit untuk dia jawab. "Entahlah, Mas. Aku belum memikirkannya. Ada banyak hal lain yang harus kupikirkan sekarang. Dan itu udah bikin aku lumayan pusing."

"Baiklah," angguk Banyu. "Aku nggak akan memaksa kamu untuk membuat pilihan dan keputusan sekarang. Aku cuma pengin kamu tahu, bahwa aku benar-benar menyesali perbuatanku, dan aku berjanji nggak akan mengulangi kesalahanku di kemudian hari."

"Kamu udah sering bilang begitu, Mas."

"Karena aku benar-benar serius, Di. Aku cinta dan sayang sama kamu. Itu fakta yang nggak terbantah dan nggak akan pernah berubah. Aku bakalan terus berusaha ngelakuin apa aja sampai kamu maafin aku dan kita bisa kembali lagi kayak dulu."

Pembicaraan mereka terinterupsi dering ponsel Banyu. Seseorang dari kantornya menelepon, membahas masalah pekerjaan.

Claudia masuk rumah dan menemukan Tante Alice sedang duduk di kursi pijat. Beliau tampak sangat lelah. Claudia pun berinisiatif membuatkan teh hangat untuknya.

"Terima kasih, Sayang," ucap Tante Alice, sebelum menyesap secangkir teh yang diberikan Claudia.

"Tante baik-baik aja?" Claudia duduk di sofa seberang Tante Alice.

"Cuma pegel-pegel dikit," jawab Tante Alice sambil menikmati gerakan dan getaran si kursi pijat. "Mana Banyu?"

"Lagi nerima telpon dari temen kantornya."

"Hm... besok dia udah balik lagi ke Bali. Rumah ini bakalan sepi lagi," desah Tante Alice. "Tante nggak pernah capek ngebujuk dia buat berhenti dan cari kerjaan lain di Jakarta. Tapi anak itu memang keras kepala. Dream job, katanya. Nggak semua orang punya kesempatan bekerja sesuai passion dan impian. Dan dia nggak mau menyia-nyiakan anugerah itu. Setiap kali diminta ngurusin perusahaan papinya, dia selalu bilang, belum siap lah, belum pantes lah, nunggu Papi pensiun aja lah. Banyak alasannya. Bukan karena dia males, tapi karena dia terlalu fokus dan bersemangat dengan pekerjaan impiannya itu."

"Mas Banyu memang pekerja keras dan tangguh," angguk Claudia sambil tersenyum. "Sejak dulu, dia selalu menularkan energi positifnya buat nyemangatin aku dalam belajar dan bekerja."

"Banyu itu pasangan yang paling cocok buat kamu," ujar Tante Alice tiba-tiba. "Selain memberi semangat dan dukungan, Banyu juga cukup pengertian soal kerjaan kamu."

Claudia hanya tersenyum. Dalam hati, dia mengiakan kata-kata Tante Alice. Selama empat tahun berpacaran, Banyu memang jarang mengeluhkan pekerjaan dan kesibukan Claudia, apalagi menjadikannya sebagai alasan untuk bertengkar. Di masa-masa awal, memang sempat terjadi kesalahpahaman yang disebabkan kecemburuan. Namun, lama-lama Banyu lebih bijaksana. Hanya saja, memang terkadang Banyu agak rewel dan detail, terutama soal kebersihan dan kesehatan.

"Tante berharap kalian bisa balikan lagi. Banyu sayang banget sama kamu. Tante dan Om Bagas pun begitu. Kami semua sayang sama kamu, Claudia." Tante Alice menatap Claudia dengan tulus. Membuat Claudia tak bisa berkata-kata.

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang