20

305 70 3
                                    

"Makin hari, jumlah kasus positif Covid-19 dan korban yang meninggal makin banyak aja, ya." Andra yang sedang menyetir, mengulurkan tangan kirinya untuk mematikan saluran radio. "Berita-berita yang beredar pun kedengarannya makin kacau dan mengerikan. Mending nggak usah denger aja daripada gue malah jadi emosi dan overthinking."

"Iya, nih," angguk Ahimsa sambil membaca berita-berita online di ponselnya. "Semua orang mendadak jadi pakar terus ngerasa berhak bicara dan menghakimi, bahkan ada yang bilang ini konspirasi elit global... hadeuh, pusing gue bacanya."

"Dan yang paling bikin pusing lagi," lanjut Ahimsa setelah mematikan layar ponselnya, "ternyata masih ada aja orang-orang yang ngeyel, nggak mau pake masker, tetep keluyuran dan berkerumun. Kalau tujuan mereka keluar rumah buat kerja atau ada kewajiban sih, gue maklum. Tapi kalau cuma nongkrong-nongkrong nggak jelas, apa perlu gue sumpahin mereka...?"

"Sabar, Pak. Sabar!" Andra tertawa. "Mentang-mentang si Abe lagi sakit, jatah ngegasnya lo ambil semua."

"Kemarin-kemarin, gue masih bisa santai dengan segala pemberitaan yang gue baca dan dengar. Tapi makin ke sini, rasanya udah makin nggak ketahan lagi." Ahimsa mendesah frustrasi di balik maskernya. "Heran, gue. Orang-orang kok lebih seneng bikin gaduh dan rusuh daripada saling bantu di situasi sulit kayak gini?!"

"Makanya, daripada ngakses berita-berita yang nggak jelas sumbernya, gue mending buka situs resmi gugus Covid-19 aja buat ngecek update dan imbauan-imbauan pemerintah," cetus Andra. "Selain itu, gue juga selalu patuh jalanin protokol kesehatan."

"Olahraga juga penting, Ndra. Nggak cuma jalanin prokes dan minum vitamin." Ahimsa mengingatkan. Dia sendiri rajin berolah raga sejak dulu, jauh sebelum pandemi ini terjadi.

"Sejak lapangan futsal ditutup, gue nggak pernah olah raga lagi, Him."

"Kan bisa sport from home," saran Ahimsa.

"Males, ah!"

"Kalau gue bikin jadwal olah raga virtual bareng si Abe juga, gimana?" Ahimsa melirik Andra. "Seminggu tiga kali, cukuplah. Waktunya setiap pagi. Durasinya tiga puluh menitan."

"Hm... boleh juga, tuh," angguk Andra. "Ntar kita obrolin lagi."

"Bener, ya?! Nanti gue siapin materinya." Sesaat setelah mobil Andra berbelok di sebuah tikungan, Ahimsa melihat seorang bapak tua yang sedang mendorong gerobak barang-barang rongsokan. "Eh, target tuh, Ndra!"

Andra pun menurunkan kecepatan dan berhenti di dekat bapak tersebut, sementara Ahimsa mengambil satu bungkus paket sembako dari kursi belakang. Mendekati bapak tersebut, Ahimsa menurunkan kaca mobil, lalu menyerahkan paket sembako itu. "Permisi, Pak. Kami mau berbagi rezeki. Mohon diterima ya, Pak. Semoga bermanfaat."

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dek," ungkap bapak berambut putih dan bertubuh ringkih itu sambil menerima paket tersebut. "Semoga Allah SWT membalas kebaikan Adek-Adek ini."

"Aamiin," sahut Ahimsa. "Ini hasil dari penggalangan dana yang kami lakukan bersama teman-teman kami di kampus, Pak. Nggak banyak, tapi semoga cukup dan bermanfaat untuk Bapak, ya. Bapak keberatan, nggak, kalau kami ambil foto untuk bukti dokumentasi?"

"Oh, boleh, Dek. Silakan."

Mobil Andra pun kembali melaju seusai Ahimsa memotret lalu berpamitan kepada bapak tersebut. Siang itu, Ahimsa dan Andra menjalankan tugas mendistribusikan paket sembako dari perhimpunan mahasiswa fakultas desain Universitas Paradigma untuk warga masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 ini. Mereka berdua merupakan bagian dari tim distributor yang disebar ke beberapa titik lokasi yang sudah ditentukan.

"Udah dua jam aja kita muter-muter dan bagiin paket sembako," kata Andra sambil melirik jam tangannya. "Tinggal sisa berapa paket lagi, Him?"

"Satu," jawab Ahimsa sambil menoleh ke kursi penumpang di belakang.

"Daerah sini lumayan sepi, ya. Jadi agak lama kita nemu targetnya." Andra melirik ke kiri-kanan.

Saat Ahimsa sedang mencari-cari target terakhir, ponselnya berdering. Nama si penelepon di layar seakan mampu menghentikan waktu selama beberapa saat. Ahimsa bergeming, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.

"Siapa, Him?" tanya Andra, menyadarkannya. "Kok malah dicuekin?"

Ahimsa pun akhirnya menjawab panggilan itu. "Halo, Di? Ada apa?"

*

Setelah melihat Instastory Ahimsa yang sedang berkeliling membagikan paket sembako, Claudia pun meneleponnya. Tak sampai lima belas menit kemudian, Ahimsa datang bersama Andra. Hari itu, Claudia juga sedang membagi-bagikan paket sembako kepada warga yang membutuhkan. Sejak dulu, Claudia memang sudah gemar beramal. Di waktu-waktu tertentu, dia akan berbagi rezeki dengan orang-orang yang membutuhkan sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Tuhan.

"Him, Ndra, sori ya kalau gue jadi ikut nimbrung sama kalian," ungkap Claudia dari balik maskernya, saat mereka mulai berkeliling membagikan bingkisan tersebut. Sebenarnya, dia sudah memesan paket sembako itu sejak beberapa hari yang lalu, namun terjadi keterlambatan dalam pengiriman, dan baru datang tadi pagi. "Makasih udah mau direpotin, ya."

"Sama sekali nggak direpotin kok, Claudia," sahut Andra. "Justru kami seneng bisa bantu. Iya kan, Him?!"

Ahimsa yang duduk di kursi penumpang depan hanya mengangguk. Membuat Claudia merasa canggung. Sejak terakhir kali mereka bertemu dan berbincang di kafe dekat toko buku kemudian Ahimsa mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk Om Bagas, mereka belum sempat bertemu atau sekadar mengobrol lagi di telepon, hanya sesekali berbalas chat. Claudia sibuk dengan berbagai urusan, dan hampir setiap hari Banyu meneleponnya. Bahkan, setelah kembali ke Bali pun, Banyu masih tetap intens menghubunginya.

Ahimsa kenapa, ya? batin Claudia. Dia pun serta-merta menyusul Ahimsa setelah cowok itu meminta Andra menepikan mobil di depan minimarket untuk membeli minuman.

"Him, lo baik-baik aja?" tanya Claudia, saat dia menemukan Ahimsa di depan lemari pendingin.

"Ya," angguk Ahimsa. "Lo ngapain nyusul ke sini? Nanti gue beliin juga, kok."

"Lo kenapa?" Claudia mendekati Ahimsa. "Dari tadi diem aja, nyuekin gue."

"Sori." Ahimsa menjauh. "Jaga jarak."

Seketika Claudia tertawa. "Baik, Bapak Ahimsa Wiraguna."

Ahimsa tak bereaksi, membuat Claudia malu sendiri. Dia bahkan masih mengabaikan Claudia saat mengantre di depan kasir.

"Him, lo inget nggak, waktu pertama kita ketemu di toko buku? Waktu itu, kita ngobrol di depan kasir. Kayak gini." Claudia terus berusaha mengajak Ahimsa mengobrol, meskipun Ahimsa masih bersikeras menjaga jarak darinya. "Nggak nyangka ya, gara-gara obrolan waktu itu, kita bisa sedekat ini. Sampai sekarang."

"Di, mending lo tunggu di mobil aja. Biar belanjaan lo, gue yang bayar." Ahimsa berusaha mengambil alih belanjaan Claudia, namun Claudia tak mengizinkannya. "Please!"

"Lo kenapa sih, Him? Marah sama gue?" Claudia terus mencecar Ahimsa dengan pertanyaan saat mereka keluar dari minimarket. Sulit melihat ekspresi Ahimsa yang sebenarnya karena sebagian wajahnya tertutup masker. Namun, Claudia yakin Ahimsa memang sedang marah kepadanya. Sikapnya benar-benar berbeda dari biasanya. "Ada apa sih, Him? Apa salah gue? Ngomong, dong! Jangan perlakukan gue kayak gini!"

"Perlakukan lo kayak gini gimana?" Ahimsa malah balik bertanya saat Claudia menarik tangannya agar dia berhenti. Dan lagi-lagi Ahimsa menjaga jarak setelah menepiskan tangan Claudia. "Gue cuma lagi menerapkan physical distancing."

"Physical distancing cuma menjaga jarak fisik kita satu sama lain, bukannya ngehindarin dan musuhin orang lain tanpa sebab yang jelas, Him!"

Alih-alih mendengarkan dan menanggapi Claudia, Ahimsa malah terus berjalan dan masuk ke mobil Andra.

Ih, nyebelin banget!

Saat sudah berada di dalam mobil, Claudia tiba-tiba berpikir, apa mungkin Ahimsa marah kepadanya karena kehadiran Banyu?

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang