16

311 76 3
                                    

"Brengsek! Siapa sih nama dirut TVX itu? Biar gue viralin di medsos!" Emosi mendengar cerita Claudia tentang pengalaman meeting-nya kemarin malam, Ahimsa lantas mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Kalau saja tahu kejadiannya seperti itu, dia pasti sudah menghajar si keparat yang dipanggil Mr. Boss itu. "Ah, nggak perlu nama asli. Gue sebut dia dirut TVX pun udah cukup."

"Jangan, Him!" tahan Claudia. "Gue nggak mau memperkeruh keadaan."

"Lo udah dilecehkan secara verbal, Di. Lo berhak nuntut dia," kata Ahimsa, mengingatkan.

"Him, yang gue hadepin itu orang besar. Kita nggak tahu selain dirut TVX, dia punya bisnis dan kekuasaan apa lagi. Power-nya pasti gede banget. Dia bisa ngelakuin apa aja. Dan gue kayak seekor semut yang cuma bisa gigit dia dengan efek yang nggak seberapa, sementara dia bisa nginjek gue sampai mati tanpa perlu takut kena hukuman."

Ahimsa terdiam. Apa yang dikatakan Claudia ada benarnya juga. "Tapi, Di, seenggaknya lo bisa dapet keadilan. Gue bakal bantu lo memperjuangkan...."

"Udahlah, Him. Bukannya skeptis sama hukum di negara ini, gue cuma berusaha menghindari masalah baru aja. Hidup gue udah cukup pelik sejak Om Hengki ditahan. Gue mau fokus kerja aja supaya dapur di rumah tetep ngebul, adek-adek gue bisa tetep sekolah, nyokap bisa makan dan belanja, dan gue bisa bantu-bantu tante gue juga. Perkara gue dilecehkan secara verbal, ya udahlah, anggap aja itu bagian dari risiko pekerjaan. Yang penting gue nggak diapa-apain secara fisik."

Meskipun darahnya masih mendidih, Ahimsa merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir itu. Dia bersyukur Claudia tidak mengalami pelecehan fisik. Sejak semalam, dia terus memikirkan dan mengkhawatirkan Claudia. Bagaimana tidak? Malam itu Claudia meneleponnya tetapi malah menangis alih-alih berbicara. Ahimsa tidak hanya ikut sedih, tetapi juga marah.

"Gue berterima kasih banget sama lo untuk semua yang udah lo lakuin sampai sejauh ini," lanjut Claudia, sambil menggenggam tangan Ahimsa di atas meja. Sore itu, seusai membeli beberapa buku, mereka lanjut ngopi di kafe dekat toko buku. Tempat pertama kali mereka bertemu bulan Januari lalu. "Dan gue mohon, lo jangan bertindak gegabah. Kita sama-sama lupain aja pengalaman buruk gue kemarin. Gue udah cukup lega setelah menceritakannya. Dan gue cukup jadiin itu pelajaran hidup. Ke depannya, gue bakalan lebih berhati-hati lagi."

"Next time gue bakalan temenin lo meeting, syuting, dan ke mana pun lo pergi, biar lo aman," cetus Ahimsa.

"Thanks, Him. Tapi lo nggak perlu ngelakuin itu. Lo punya kewajiban yang harus lebih diutamakan sebagai seorang mahasiswa, dan sebagai seorang anak yang harus berbakti dan membuat bangga orangtua." Claudia menarik tangannya dari tangan Ahimsa, lalu meraih cangkir minumannya.

Ahimsa tersinggung, serasa dianggap sebagai anak kecil. Padahal usianya hanya terpaut setahun lebih muda dari Claudia. "Memperhatikan lo nggak bakal bikin gue melalaikan kewajiban gue, Di. Gue bakal temenin lo pergi, tentunya setelah gue selesai melaksanakan kewajiban gue tersebut."

"Good boy," senyum Claudia setelah menyesap matcha latte-nya sambil menepuk-nepuk bahu Ahimsa.

Sejak mengalami mimpi buruk itu, Ahimsa sering terombang-ambing perasannya sendiri. Langkahnya menuju Claudia pun kerap maju-mundur. Hingga akhirnya, selama hampir tiga minggu itu, dia malah sibuk menghindari Claudia. Berusaha untuk tidak menge-chat atau menelepon Claudia. Mengulur-ulur waktu membalas chat dari Claudia. Hingga menahan diri untuk tidak men-stalking Instagram Claudia. Meskipun sebenarnya dia sangat merindukan Claudia.

Sampai ketika melihat Claudia di parkiran mal dekat kampusnya bersama seorang pria yang mencurigakan, dia baru sadar bahwa perasaannya terhadap Claudia sudah semakin dalam. Dan untuk kadar perasaan sedalam itu, tidakkah terlalu pengecut jika dia malah mundur hanya karena takut cintanya bertepuk sebelah tangan?

"Di," ucap Ahimsa, setelah menyesap americano-nya. "Gue mau ngomong sesuatu...."

"Ya?" Tatapan Claudia lebih ampuh membuat jantung Ahimsa berdebar kencang daripada kafein dalam minumannya.

Saat Ahimsa hendak membuka mulut untuk mengungkapkan perasaannya, ponsel Claudia berdering.

"Sori. Bentar, Him." Claudia pun menjawab panggilan telepon itu. "Halo? Ya, Tante? Ada apa? Om Bagas masuk rumah sakit? Kapan? Astaga....!"

*

Ahimsa menekan tombol rewind beberapa kali sampai adegan di layar TV berhenti di bagian terakhir yang dia tonton dengan saksama. Film sudah berjalan hampir setengah jam, tetapi Ahimsa belum bisa terhanyut ke dalam ceritanya. Dia juga melewatkan banyak dialog penting, padahal mata dan telinganya tertuju ke layar TV. Mungkin karena hatinya tertinggal di tempat lain.

Tadi sore, dia mengantarkan Claudia ke rumah sakit untuk menjenguk seseorang bernama Om Bagas yang dikabarkan mengalami strok dan terjatuh di kamar mandi. Sayangnya, mereka tak bisa masuk ke kamar ICU untuk melihat kondisi pria yang Ahimsa pikir merupakan keluarga Claudia seperti halnya Om Hengki itu.

"Maaf, hanya keluarga inti saja yang boleh menjenguk," ujar seorang perawat yang memakai alat pelindung diri lengkap, saat Claudia menemuinya. Di tengah pandemi Covid-19 yang mulai meresahkan itu, peraturan dan pengamanan di rumah sakit semakin diperketat.

Beberapa saat kemudian, muncul seorang wanita berwajah bule namun fasih berbahasa Indonesia menghampiri Claudia. Beliau menceritakan kronologis kejadian yang menimpa suaminya tadi siang kepada Claudia sambil menangis. Claudia pun memeluknya, menunjukkan rasa simpati dan memberinya kekuatan untuk bersabar menghadapi semua ini.

"Him, lo balik duluan aja," kata Claudia kepada Ahimsa. "Gue mau nemenin Tante Alice di sini."

"Kalau lo nggak keberatan, gue bisa nemenin lo juga di sini. Kali aja lo butuh sesuatu, gue bisa bantu-bantu."

"Nggak usah, Him. Makasih. Lebih baik lo pulang duluan, ya?" Ada tatapan memohon di mata Claudia.

"Oke," angguk Ahimsa. "Take care, ya."

Saat Ahimsa hendak berpamitan kepada Claudia dan Tante Alice, datang seorang pria bertubuh tinggi tegap dan berwajah setengah Amerika setengah Indonesia. Pria yang membawa sebuah koper itu disambut Tante Alice dengan pelukan hangat.

"Banyu!" tangis Tante Alice pecah di pelukan pria tampan bersetelan rapi itu. Usianya sekitar dua puluh limaan.

"Mam, gimana kondisi Papi sekarang?"

"Masih kritis," jawab Tante Alice, kemudian menyuruh Banyu masuk ke ruang ICU.

Sebelum masuk, Banyu menghampiri Claudia. "Hai, Di. Thanks ya, kamu udah datang dan nemenin Mami."

"Aku juga baru datang beberapa menit yang lalu, Mas," sahut Claudia.

"Oke. Aku masuk dulu, ya?" Banyu menatap Claudia dengan hangat. Bukan jenis tatapan yang lazim dilakukan antarsepupu. Lebih seperti tatapan seorang sahabat atau pacar. Dan ketika menatap Ahimsa, Banyu melakukannya dengan cara yang berbeda. Namun, dia tidak berkata apa-apa.

Ahimsa baru berpamitan kepada Claudia dan Tante Alice setelah Banyu masuk menemui ayahnya. Di sepanjang perjalanan, batin Ahimsa terus bertanya-tanya siapa Banyu bagi Claudia. Apakah Banyu saudara Claudia? Sahabat Claudia? Pacar Claudia? Atau malah tunangan Claudia?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di dalam kepalanya sampai dia tiba di rumah, saat mandi, beribadah, makan malam, dan menonton film. Berkali-kali Ahimsa mencari nama dan penampakan Banyu di media sosial, tetapi belum berhasil menemukan sosok yang sesuai. Nama Banyu lumayan pasaran, kecuali Ahimsa tahu nama lengkapnya. Di akun Instagram Claudia pun tidak ada foto Banyu. Ya, Ahimsa sudah mengeceknya hingga ke postingan paling awal. Selain karena Claudia jarang mengunggah foto di Instagram, mungkin juga karena Claudia selalu menjaga privasi dirinya dan orang-orang terdekatnya.

Ahimsa meraih ponselnya, lalu menghubungi Claudia. Namun, panggilannya tak terhubung.

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang