21

248 68 4
                                    

Malam harinya, Claudia berusaha menghubungi Ahimsa setelah kekesalannya memuncak akibat seharian itu Ahimsa menghindari dan mengabaikannya. Namun, lagi-lagi Ahimsa tak mengacuhkannya. Biasanya, Ahimsa selalu langsung menjawab panggilan telepon Claudia. Dia tak pernah membiarkan Claudia menunggu lebih dari tiga detik.

Claudia pantang menyerah. Dia terus menelepon Ahimsa via WhatsApp Call dan telepon reguler berkali-kali. Sampai akhirnya, panggilannya dijawab setelah Claudia mengancam Ahimsa di chat, "Kalau lo nggak angkat telepon gue, sekarang juga gue bakal ke rumah lo!"

*

"Apa salah gue, Him? Kenapa lo marah sama gue?" tanya Claudia, sesaat setelah Ahimsa menjawab panggilan teleponnya. Pertanyaan itu terus diajukannya sejak tadi siang.

"Gue nggak marah sama lo," jawab Ahimsa, konsisten, sambil berbaring di tempat tidur. "Gue cuma...."

"Physical distancing? Cukup, Him! Gue nggak bego. Dan gue nggak mau kita terus-terusan kayak gini. Sekarang, gue pengin lo jawab jujur, apa yang sebenernya terjadi, dan kenapa lo bersikap kayak gini ke gue?"

Ahimsa menghela napas sambil menatap langit-langit kamar. Sebenarnya, dia pun tidak mau terus-menerus berada dalam situasi seperti ini. Rasanya sangat melelahkan dan menyesakkan. "Entahlah. Mungkin pandemi ini bikin gue stres karena ada banyak hal yang nggak bisa gue lakuin. Nggak bisa ke bioskop, futsal, nongkrong, dan lain-lain. Belum lagi soal berita-berita buruk yang beredar dan keributan yang terjadi, yang bikin semua ini makin chaos. Dan setiap kali gue ketemu orang, gue jadi parno. Takut kalau gue ternyata bawa virus dan nularin ke orang itu, atau sebaliknya. This Covid-19 is sucks!"

"Him, saat ini, kita semua sedang dalam kondisi sulit dan tertekan. Pandemi ini bikin semua orang jadi insecure dan depresi. Tapi kalau memang itu alasannya, yang lo lakuin ke gue itu nggak adil namanya. Kecuali kalau gue emang punya salah sama lo."

"Lo nggak salah apa-apa sama gue. Mungkin gue aja yang terlalu... overthinking," ucap Ahimsa, setelah terdiam beberapa saat, teringat percakapannya dengan Andra sore tadi.

"Overthinking soal apa?" tanya Claudia.

"Soal... Banyu."

"Banyu? Ada apa sama Mas Banyu? Kenapa dia jadi masalah... yang bikin lo overthinking?"

"Banyu itu... siapa? Cowok lo?"

Claudia terdiam. Membuat Ahimsa semakin yakin bahwa Banyu memang seseorang yang lebih dari sekadar teman untuknya. "Jadi, lo ngehindarin dan nyuekin gue karena... Mas Banyu?"

"Jawab dulu, Di. Banyu itu cowok lo?" Desak Ahimsa.

"Kenapa lo mau tau soal Mas Banyu?"

Ahimsa mendesah, lalu bangkit dan duduk di tempat tidurnya. "Gue cuma nggak mau mengulang kesalahan yang sama. Kalau Banyu memang cowok lo, tinggal bilang aja yang sejujurnya. Jadi, gue nggak bertanya-tanya lagi. Dan gue bisa menempatkan diri gue di posisi yang seharusnya." Ya, dia berharap cukup sekali dia menjadi orang ketiga di antara sepasang kekasih bernama Dinar dan Farhan.

"Mengulang kesalahan yang sama?" tanya Claudia, mengulang pernyataan Banyu. "Maksud lo gimana, Him?"

Dengan berat hati Ahimsa menjelaskan, "Intinya, gue pernah berada dalam sebuah situasi yang rumit, gara-gara gue nggak memastikan cewek itu udah punya pacar atau belum. Belakangan baru ketahuan ternyata dia udah dua tahun berpacaran dengan seseorang, dan gue... cuma pelarian. Lebih buruknya lagi, gue jadi selingkuhan yang ngerasa diselingkuhin."

"So sorry to hear that, Him."

"Daripada mengasihani gue, lebih baik lo jawab pertanyaan gue tadi. Banyu itu cowok lo?"

"Dia...." Claudia menghela napas dan menggantung kalimatnya, membuat Ahimsa semakin geregetan. "Mantan gue."

"Apa, Di?" Ahimsa memastikan, khawatir dia salah dengar.

"Mantan pacar gue."

"Lo yakin? Dia bukan pacar lo lagi?"

"Kami udah putus sejak bulan Agustus tahun lalu. Jadi, apa namanya kalau bukan mantan?"

Alhamdulillah, batin Ahimsa mengucap syukur dengan lega. Dia percaya Claudia tidak berdusta. Beban di dadanya selama beberapa hari itu terangkat dan menguap ke udara, digantikan perasaan lega dan bahagia. Tubuhnya seakan seringan kapas, dan kini dia tengah melayang-layang di atas awan. Menari. Melompat-lompat. Salto. Dan sebagainya.

"Oh, mantan." Ahimsa mengucapkannya dengan nada sedatar mungkin, sementara wajahnya dihiasi senyuman lebar dan tangan kanannya terkepal. Rasanya dia ingin berteriak "YES!" sekencang-kencangnya.

"Sekarang, lo nggak marah lagi sama gue, kan?!"

"Siapa yang marah?" cengir Ahimsa. Wajahnya merona dan menghangat. Perutnya terasa geli, seperti ada kupu-kupu di dalamnya. "Gue nggak pernah marah sama lo."

"Gue nggak pernah marah sama lo." Claudia mengulangi kata-kata Ahimsa dengan nada mengejek. "Nggak marah apaan? Gue deketin aja lo ngejauh, kayak gue ini bakal nularin virus apaan aja sama lo! Sok-sokan physical distancing segala pula! Sejak pandemi ini gue selalu di rumah aja, tau! Udah keliatan jelas kok, lo marah sama gue!"

"Iya, iya, maaf. Gue khilaf."

"Khilaf atau cemburu?"

Merasa malu, Ahimsa kembali berbaring dan bersembunyi di balik selimut, seakan-akan Claudia sedang berada di hadapannya.


Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang