23

287 69 3
                                    

"Coba gelasnya geser ke kiri dikit," instruksi Ahimsa kepada Nabila. "Dikit lagi. Ya, cukup." Lalu dia berbicara kepada Claudia yang sedang berpose di belakang gelas berisi air mineral tersebut. "Arah pandangannya terlalu pinggir, Di. Bisa agak ke depan? Dikit lagi. Oke, sip. Matanya lebih diisi lagi, ya. Tatapannya lebih tajem. Good. Tahan. Satu, dua, tiga. Nice!" Ahimsa pun menekan shutter kamera, memotret Claudia dari layar laptopnya.

Sore itu, Ahimsa dan Claudia melakukan pemotretan virtual dari kamar masing-masing. Nabila tampak antusias membantu kakaknya sebagai asisten. Memindahkan, merapikan, menambahkan, dan mengurangi properti untuk keperluan pemotretan, hingga memegangi laptop sesuai arahan Ahimsa. Sebagai imbalan, gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas delapan SMP itu minta dipotret dengan konsep yang sama dengan yang dilakukan Ahimsa untuk Claudia. Foto hitam putih yang elegan.

Setelah mengambil beberapa foto dengan memanfaatkan segelas air mineral sebagai efek pembiasan, Ahimsa mengeksplorasi tirai dan virtace kamar Claudia sebagai properti pemotretan sesi berikutnya. Claudia tampak sangat cantik dan memesona dalam balutan long dress putih yang feminin, dengan rambut bergelombang dan diurai bebas tanpa aksesoris. Kemudian, di sesi selanjutnya, Ahimsa meminta Claudia berbaring di tempat tidur dengan seprai dan bedcover serbaputih. Jantung Ahimsa berdegup sangat kencang melihat Claudia berpose di tempat tidur. Dia pun beberapa kali menelan air liur.

Astagfirullahalazim... ucap batinnya. Fokus, Him! Fokus!

Matahari hampir tenggelam saat Ahimsa selesai melakukan pemotretan virtual untuk Claudia sekaligus Nabila. Metode pemotretan itu sedang tren di kalangan fotografer, influencer media sosial, hingga para selebritas, sebagai langkah alternatif dan kreatif dalam mengatasi Pembatasan Sosial Berskala Besar yang terus diperpanjang entah sampai kapan.

"Thanks ya, Di. Udah mau virtual photoshoot," ungkap Ahimsa lewat panggilan video di laptop yang masih terhubung.

"Gue yang harusnya berterima kasih sama lo, Him. Gue yakin, hasilnya bakalan keren banget."

Ahimsa tersenyum, lalu berbicara pada Nabila. "Thanks juga, Nabila. Udah mau bantuin jadi asisten Abang."

"Sama-sama, Bang Himsa," sahut Nabila sambil tersenyum lebar. Dia tampak kelelahan tetapi juga kegirangan. "Ditunggu kiriman foto-fotonya, segera!"

"Siap! Abang usahain besok siang kirim file fotonya, ya."

"Eh, Bila! Jangan gitu, ah!" tegur Claudia. "Bang Himsa sibuk kuliah online dan ngerjain tugas kampusnya. Jangan minta buru-buru dikirimin filenya, dong!"

"Nggak apa-apa, Di. Ngirimin file nggak bakal makan waktu lama, kok." Ahimsa tersenyum tulus. "Nanti Abang sekalian kirimin file yang udah di-retouch juga ya, Nabila."

"Asyiiik! Makasih, Bang Himsa! Abang baiiik banget! Aku sayang Abang!" Seru Nabila, sebelum akhirnya dia berpamitan dan keluar dari kamar Claudia.

"Nabila lucu banget, ya. Gemes," komentar Ahimsa. "Sayangnya, waktu gue ke sana kemarin-kemarin sebelum pandemi, nggak pernah ketemu dia. Baru ketemu sekali barusan aja, tuh anak udah lovable banget."

"Begitulah. Dia satu-satunya orang yang paling nyambung sama gue di rumah ini."

"Nyokap sama adek lo... si Jessica, emangnya nggak nyambung sama lo?" Ahimsa memindahkan laptopnya ke meja belajar, sehingga dia bisa duduk dengan nyaman.

"Ya gitu, deh. Sejak dulu kami jarang ngobrol. Bukannya ada masalah atau gimana-gimana. Tapi ya karena jarang ngobrol aja. Jadinya malah awkward kalau dipaksain harus ngobrol. Lo pernah nggak sih, ketemu orang yang ketika lo berada di dekat dia, lo ngerasa canggung dan nggak nyaman buat ngobrol walaupun kalian baik-baik aja? Nah, begitulah yang terjadi di antara gue dengan nyokap dan adek pertama gue. Di rumah, kami ngobrol seperlunya aja. Bahkan, seharian nggak saling tegur sapa pun sering. Tapi kami baik-baik aja, nggak ada masalah apa-apa."

"Hm... I see." Ahimsa mengangguk-angguk. "Lebih baik kayak gitu daripada sering ngobrol tapi sering berantem."

"Nggak tau juga, sih. Idealnya ya kayak lo sama Aruna dan orangtua lo gitu. Sering ngobrol, saling peduli, tapi jarang berantem." Claudia merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil menguap. "Him, gue capek dan ngantuk banget. Gue mau tiduran bentar sebelum mandi dan bersih-bersih."

"Oke. Silakan...." Ahimsa belum menyelesaikan kalimatnya ketika Claudia sudah jatuh tertidur tanpa mematikan laptop. Dari meja belajarnya, Ahimsa memandangi Claudia yang tengah tertidur dengan begitu cantiknya. Claudia masih mengenakan long dress putih itu dengan makeup minimalis. Seribu tahun memandangi wajah cantik itu tidak akan membuat Ahimsa mati bosan.

Dengan hati-hati, Ahimsa mengulurkan tangan untuk membelai wajah dan rambut Claudia dari balik layar laptopnya. Rasa cinta membuat jarak tak berarti apa-apa, dan tak ada batasan yang mampu menghalanginya. Raganya merasakan layar monitor laptop, sedangkan jiwanya merasakan sentuhan yang lebih nyata antara telapak tangannya dengan kulit wajah dan helaian rambut Claudia. Sesuatu di dalam dadanya berdesir. Kupu-kupu di dalam perutnya mengepakkan sayap.

Di tengah-tengah kekhusyukan Ahimsa menikmati momen kebersamaan virtualnya dengan Claudia, tiba-tiba ponsel Claudia berdering panjang. Claudia terbangun, dan Ahimsa buru-buru menarik tangannya dari layar laptop. Padahal, Claudia tidak melihat ke arahnya.

Setelah meraih ponselnya di atas nakas, Claudia menjawab panggilan itu. "Halo? Ada apa, Mas?"

Mas? Banyu? Hati Ahimsa seketika memanas. Ngapain si Banyu nelpon Claudia?

*

"Lo boleh cemburu, tapi lo nggak berhak marah, karena lo belum ada ikatan apa-apa sama dia," ujar Andra menanggapi curhatan Ahimsa pagi itu, seusai mereka melakukan olahraga virtual pada pekan kedua. Setelah Abe pamit dan menutup jendela layar panggilan videonya, tiba-tiba Andra bertanya kenapa Ahimsa tampak kurang bersemangat, apakah karena pagi itu Claudia tidak ikut olahraga virtual bersama mereka? Seperti itulah cara Andra memancing Ahimsa, sampai akhirnya Ahimsa menceritakan kegelisahannya soal Banyu yang masih menghubungi Claudia.

Kata-kata Andra terdengar pahit, tetapi benar adanya. Ahimsa memang belum menyatakan perasaannya, belum juga memiliki ikatan apa-apa dengan Claudia selain teman. Jadi, yah, dia hanya bisa menelan rasa cemburunya sampai gondok dan sesak.

"Menurut lo, wajar nggak sih, kalau mantan pacar masih berhubungan baik, bahkan sama keluarganya?" tanya Ahimsa setelah mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecil. Berdasarkan pengalamannya, dia selalu menutup akses komunikasi dengan mantan pacarnya. Baginya, masa lalu ya masa lalu. Putus ya berarti tutup buku.

"Menurut gue ya wajar-wajar aja. Kan nggak semua mantan pacar berakhir saling benci dan bermusuhan. Tergantung masing-masing pasangan juga. Kalau putusnya baik-baik dan keduanya sama-sama dewasa dan bijaksana, ya kayak yang terjadi sama Claudia dan mantannya itu."

"Gue jadi mikir, si Banyu masih menjaga komunikasi di antara mereka, bahkan mengikat Claudia dengan keluarganya, karena dia pengin balikan sama Claudia." Ahimsa ingat betul bagaimana cara Banyu menatap Claudia saat mereka bertemu di rumah sakit tempo hari.

"Kalau itu, cuma si Banyu sendiri yang tau pasti," kata Andra setelah meneguk air mineral di botol minumnya. "Menurut gue, yang terpenting sekarang bukan soal si Banyu-Banyu ini, tapi soal Claudia dan lo sendiri."

"Maksud lo?"

"Si Banyu itu kan predikatnya udah jadi mantan. Gue rasa, Claudia cukup bijaksana untuk memilih siapa cowok yang lebih pantas buat jadi pasangannya. Mantan yang berusaha ngajak balikan, atau fans baru yang berusaha ngajak jadian? Kata kuncinya adalah berusaha. Lo sama Banyu berada di posisi yang sama, sama-sama lagi berusaha. Tinggal Claudia nilai aja siapa yang usahanya paling keras. Lo paham kan, maksud gue?!"

Ahimsa merenungkan kata-kata Andra, lalu mengangguk. "Thanks, Ndra, buat insight-nya."

"Semangat, Him! Good luck!" seru Andra. "Inget ya, siapa orang pertama yang harus lo traktir kalau lo udah jadian sama Claudia! Hahaha."

Ahimsa menutup laptopnya dengan perasaan sedikit lebih lega daripada sebelumnya. Baru kali ini kisah cintanya terasa agak pelik hingga dia butuh bantuan orang lain untuk mengatasinya. Mungkin karena baru sekarang dia benar-benar jatuh cinta kepada seseorang. Sebelumnya, dia hanya jatuh cinta sekadarnya, yang orang-orang sebut sebagai cinta monyet. Atau bisa jadi karena sebelumnya, kisah cintanya berjalan cukup mudah. Perempuan yang dia sukai balas menyukainya tanpa perjuangan apa-apa. Claudia memang perempuan yang berbeda. Perempuan istimewa.

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang