Dering ponsel membangunkan Claudia. Tangannya meraba-raba nakas, sementara matanya masih setengah terpejam. Begitu melihat nama penelepon di layar, dia pun serta-merta terbelalak. Mas Banyu?
"Halo?" sapa Claudia, setelah berdeham beberapa kali untuk membersihkan kerongkongannya.
"Kamu pasti baru bangun, ya?" tebak suara berat di seberang ponselnya. "Udah siang, lho! Matahari udah mulai terik."
"Di Jakarta masih jam setengah sembilan, Mas," jawab Claudia sambil melirik jam dinding.
"Bisa aja jawabnya." Banyu terkekeh. "Sombong ya kamu sekarang. Mentang-mentang filmnya udah tembus sejuta lebih penonton. Chat dari Mas nggak ada yang dibales."
"Nggak sombong, kok. Cuma belum sempet aja." Claudia mencari-cari alasan. "Sabtu kemarin, aku lagi meeting waktu Mas Banyu nge-chat. Terus kelupaan, deh. Hari Minggunya, ada PR yang harus dikerjain."
"PR apaan? Kayak anak sekolah aja."
"Itu... biasa... masalah dapur. Ada gas bocor. Tapi udah beres, kok. Dibenerin tukang."
Cukup lama mereka berbasa-basi di telepon, sampai akhirnya Claudia bertanya, "Mas Banyu kok tumben hari Senin pagi gini bisa nelpon? Lagi luang?"
"Mas lagi on the way meeting sama klien di Ubud. Nggak apa-apa kan, kalau Mas nelpon kamu buat nemenin perjalanan Denpasar – Ubud?" Banyu terdiam sejenak. "Tapi kalau kamu ada kesibukan lain, ya udah nggak apa-apa. Kamu bisa matiin teleponnya."
"Nggak, kok. Hari ini aku nggak ada kegiatan." Claudia menyesali kata-katanya. Kenapa dia tidak berbohong saja supaya bisa segera mengakhiri panggilan telepon itu? Akibatnya, Banyu terus mengajaknya mengobrol. Menanyakan kabar Om Hengki dan kasusnya. Menanyakan nasib pekerjaan Claudia, kabar keluarga Claudia, hingga bertanya apakah saat ini Claudia sedang dekat dengan pria lain.
"Hm... kalau soal itu, aku no comment," jawab Claudia diplomatis, selayaknya jawaban selebritas di depan awak media.
Banyu pun tertawa.
*
Taksi membawa Claudia ke depan pagar sebuah rumah mewah di bilangan Pondok Indah. Rumah berlantai dua milik keluarga Bagas Tirto Pramono itu masih tampak sama dengan yang terakhir kali dia kunjungi beberapa bulan lalu, saat dirinya masih berstatus sebagai pacar Banyu. Ya, bisa dibilang, gara-gara obrolannya dengan Banyu tadi pagi, Claudia mendadak kangen pada orangtua Banyu, terutama Tante Alice. Sore itu, dia datang berkunjung, membawa sekotak kue lapis kesukaan Tante Alice.
"Non Claudia?!" pekik Mbak Aya, asisten rumah tangga di sana, saat membukakan pintu pagar. Raut wajahnya terlihat semringah bercampur sedikit haru. "Apa kabar, Non? Ke mana aja? Non Claudia kok baru main lagi ke sini?"
"Baik, Mbak. Maaf ya, belakangan ini aku emang lumayan sibuk banget. Mbak Aya apa kabar?"
"Baik, Non. Baik. Aduh, saya seneng banget bisa ketemu Non Claudia lagi!"
"Aku juga seneng ketemu Mbak Aya lagi," senyum Claudia. "Oh iya, Tante Alice sama Om Bagas-nya ada?"
"Ibu ada. Tapi kalau Bapak, masih di kantor," jawab wanita berusia akhir tiga puluhan itu. "Mari masuk, Non!"
Sambutan Tante Alice pun tak kalah hangatnya. "Claudia?! Long time no see...." Wanita berdarah separuh Indonesia dan separuh Amerika yang sedang menyirami koleksi tanamannya di halaman belakang itu memeluknya erat setelah bercipika-cipiki. "Apa kabar, Sayang? Tante kangen banget sama kamu."
"Baik, Tante. Aku juga kangen banget sama Tante," jawab Claudia, jujur. Sejak berpacaran dengan Banyu, dia cukup sering berkunjung ke rumah itu. Bahkan, setelah disibukkan dengan berbagai aktivitas keartisannya pun, dia masih bisa menyempatkan waktu setidaknya sekali dalam sebulan untuk berkunjung ke rumah Banyu. Namun, seiring waktu dan semakin bertambahnya kesibukan, intensitas kunjungannya pun semakin jarang. Apalagi semenjak Banyu bekerja di Bali sekitar satu setengah tahun yang lalu. "Tante sendiri apa kabar?"
"Kurang baik," jawab Tante Alice dengan wajah sedih. Meski bertampang bule, dia fasih berbahasa Indonesia. "Terutama sejak Tante tahu kalian putus."
Claudia menggigit bibir. Dia tahu Tante Alice hanya sedikit hiperbolis, tetapi dia juga tahu sejak dulu Tante Alice menyayanginya. Bukan tidak mungkin kalau Tante Alice juga turut menyesalkan berakhirnya hubungan Banyu dengan Claudia.
"Oh iya, Tante juga denger kabar soal manajermu yang terjerat kasus itu," ujar Tante Alice sambil menikmati potongan kue lapis yang dibawa Claudia dengan secangkir teh melati. Mereka duduk di kursi teras belakang. "Tante turut prihatin. Semoga kasusnya cepat selesai ya, Di. Dan semoga kerjaan kamu nggak terbengkalai akibat masalah itu."
"Terima kasih, Tante," sahut Claudia setelah menyesap teh melatinya. "Aamiin."
"Terus, siapa yang ngurusin atau bantuin kerjaan-kerjaan kamu sekarang?"
"Semuanya aku urus sendiri," jawab Claudia. Lalu, tiba-tiba dia teringat pada Ahimsa yang selalu berusaha membantunya dalam urusan apa pun, terutama perkara diskusi dan transportasi. "Oh, untungnya ada seseorang yang bantuin juga."
"Siapa?" Tante Alice tampak penasaran.
"Hm... temen. Dia anak komunitas film yang lumayan ngerti soal dunia showbiz."
"Temen? Berarti seumuran, dong?" selidik Tante Alice.
"Hm...." Claudia memang tidak pernah menanyakan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Ahimsa. Namun, dia bisa menyimpulkan kalau Ahimsa setahun lebih muda darinya, setelah dia mengetahui bahwa kini Ahimsa masih kuliah semester empat. "Kurang lebih, seumuranlah, Tante."
"Cowok?"
"Ya," angguk Claudia.
"Ganteng?"
Pertanyaan macam apa itu? Claudia menatap Tante Alice sambil mengernyitkan dahi. Kenapa Tante Alice lebih perhatian---dan kepo---daripada ibunya sendiri? Atau mungkin, Tante Alice merasa khawatir kalau-kalau Claudia dekat dengan pria lain, karena dia masih mengharapkan Claudia untuk rujuk dengan Banyu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Badly
RomanceJatuh cinta pada aktris idola itu sah-sah saja, tapi jangan pernah bermimpi untuk memilikinya. * Ahimsa Wiraguna jatuh cinta pada Claudia Amanda, aktris berbakat yang sayangnya tak pernah menjadi pemeran utama di setiap film layar lebar dan FTV yan...