15

300 82 4
                                    

Perasaan Claudia benar-benar kacau tak keruan usai menghadiri meeting bersama direktur utama TVX itu. Dia ingin cepat-cepat pergi dari sana dan melupakan semuanya. Saat dia turun dan pintu lift terbuka... TING! Seolah-olah ada keajaiban yang menghadirkan sosok itu di hadapannya.

"Him?"

"Claudia?!" Lagi-lagi Ahimsa datang di saat yang tak terduga namun tepat. Cowok itu tampak sangat mencemaskannya, seolah mengetahui apa yang telah terjadi padanya. Dan ketika Ahimsa memeluknya, Claudia merasa separuh beban dan kesedihan terangkat dari dadanya. Karena tak mau berlama-lama berada di sana, Claudia pun lantas meminta Ahimsa mengantarnya pulang.

"Di, gue lega lo baik-baik aja," ujar Ahimsa setibanya mereka di depan pagar rumah Claudia. "Dan kalau ada sesuatu yang mau lo ceritain ke gue soal kejadian di... maksud gue, soal apa pun itu yang bikin lo nyesek, lo bisa cerita ke gue. Malam ini, besok, atau lusa, gue siap dengerin."

Claudia menatap Ahimsa lekat-lekat. Dia belum mendapatkan jawaban tentang kenapa Ahimsa bisa berada di hotel itu dan terlihat mencemaskannya seakan-akan mengetahui apa yang terjadi pada Claudia. Bahkan, sebelum pulang tadi, Ahimsa sempat menemui petugas resepsionis dan mengembalikan kunci kamar serta mengucapkan sesuatu yang terdengar seperti check out. Namun, Claudia tidak bertanya lebih lanjut.

"Tadi gue ngeliat lo di parkiran mal deket kampus," jawab Ahimsa, seakan bisa membaca pikiran Claudia. "Terus, gue ikutin mobil yang lo naikin, karena feeling gue nggak enak. Terus...."

"Terus?"

"Terus... gue ikutin lo sampai hotel, nungguin lo, sampai akhirnya lo turun, keluar dari lift, dan gue bersyukur lo nggak kenapa-kenapa." Ahimsa menghela napas lega. "Sori ya, mungkin kedengarannya lebay atau mungkin lo berpikir gue agak-agak psiko karena ngikutin lo sampai ke hotel itu."

"Nggak, Him. Sama sekali nggak," sela Claudia. "Gue justru berterima kasih karena lo ada di sana. Apa pun alasannya."

"Ya udah, sekarang lo cepet masuk. Mandi, makan, terus istirahat."

"Sekali lagi, thanks ya, Him," ujar Claudia, setelah terdiam cukup lama. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia terlalu lelah dengan hidupnya yang penuh kekecewaan dan ketidakberuntungan. Dia ingin marah pada keadaan dan mengeluh pada Tuhan.

Saat hampir tengah malam dan belum bisa tidur padahal tubuhnya sudah sangat letih, Claudia meraih ponselnya dan menelpon Ahimsa.

"Ya, halo, Di?" sahut suara Ahimsa di seberang ponselnya, terdengar sigap. Membuat Claudia berpikir, apakah Ahimsa sedang menunggu panggilan telepon darinya sampai-sampai saat ponselnya berbunyi, cowok itu langsung menjawabnya?

"Lo belum tidur?" tanya Claudia berbasa-basi.

"Belum. Masih ngerjain tugas."

"Gue ganggu, ya?"

"Nggak, kok. Udah selesai, nih. Kenapa, kenapa?"

"Gue... mau cerita...." Claudia menghela napas panjang. Namun, alih-alih bercerita, dia malah menangis. Dia sudah tak sanggup lagi menahan beban perasaannya, juga tak sanggup menceritakan kejadian itu kepada Ahimsa....

"Ada syarat yang harus kamu penuhi selain yang tertulis di surat kontrak itu," ujar pria berusia lima atau enam puluhan yang dipanggil dengan sebutan Mr. Boss itu saat Claudia hendak menandatangani surat kontrak tersebut dalam agenda meeting tadi.

"Oh ya? Apa itu, Pak?" Claudia menahan ujung pena di atas kertas bermeterai itu.

"Kamu harus menemani saya malam ini. Hanya satu malam saja, kok," jawab pria bertubuh tambun itu sambil menyalakan sebatang rokok. "Tapi kalau kamu mau lebih, boleh. Rewards yang bakal kamu dapatkan sebanding dengan effort yang kamu lakukan."

"M-maaf. Maksud Bapak apa, ya?" Claudia meletakkan pena itu di atas meja.

"Nggak usah naif. Kamu pasti paham maksud saya." Mr. Boss mengisap rokok dengan santai. "Tempatnya kamu pilih sendiri. Di hotel mana pun boleh. Mau di Bali? Atau mau di Singapore biar bisa lanjut belanja? Ayo! Mau di Jepang, Korea, Maldives, di mana pun kamu mau tinggal bilang aja. Nanti kita atur waktunya. Gimana?"

Bahasa tubuh dan nada bicara Mr. Boss memang tenang tanpa pemaksaan, namun sungguh sangat memuakkan dan menjijikkan. Angan Claudia yang sebelumnya sedang melambung di atas awan karena isi kontrak yang menggiurkan serta menjanjikan sesuatu yang lebih baik untuk masa depan kariernya, mendadak terempas dan kandas ke jurang kekecewaan.

"Maaf. Kalau syaratnya seperti itu, saya tidak bersedia, Pak." Claudia ingin sekali mengumpat dan melemparkan pena di atas meja ke wajah pria tua mesum itu, namun dia berusaha tetap sabar dan bersikap tenang.

"Saya kasih kamu waktu satu hari untuk mempertimbangkannya." Mr. Boss mengangguk-angguk. "Perlu saya informasikan bahwa musim pertama acara TV ini selalu menjadi top rating dalam segmen traveling dan variety show. Kamu juga akan dipasangkan dengan host terbaik di Indonesia yang fans dan follower media sosialnya berjuta-juta. Bagus untuk mengangkat popularitas kamu yang masih di bawah rata-rata. Selain itu...."

"Maaf, Pak. Saya menolak tawaran Bapak untuk kerjasama dalam program TV ini." Claudia bangkit. Kesabarannya sudah mencapai limit. Daripada dia terus menyiksa diri mendengarkan kata-kata yang lebih menjijikkan kemudian dia berkata kasar, lebih baik dia segera pergi. "Saya ada acara di tempat lain. Permisi."

"Claudia, industri ini nggak butuh seseorang yang angkuh dan munafik seperti kamu. Dengan adanya manajer saja, karier kamu masih stuck selama lima tahun ini, apalagi sekarang kamu nggak punya manajer. Jangankan lima tahun ke depan, bisa bertahan dalam setahun ini saja rasanya mustahil."

Claudia berusaha menguatkan hati untuk terus berjalan tanpa terintimidasi kata-kata pria itu, tetapi gagal. Dia berbalik lalu berkata, "Lebih baik saya jadi artis biasa-biasa saja daripada jadi artis top dengan merendahkan martabat dan harga diri saya!"

"Mungkin belum ada yang ngasih tahu kamu soal ini." Pria itu mengisap rokok lagi dan mengembuskan asapnya banyak-banyak. "Di dunia ini, ada seseorang yang memang terlahir untuk menjadi bintang, dan ada seseorang yang berpikir bahwa dirinya mampu menjadi bintang tetapi sebenarnya tidak punya kemampuan untuk bersinar. Kamu... cuma seseorang yang tertidur dan bermimpi menjadi bintang. Kamu bukan siapa-siapa, Claudia. Kamu cuma pecundang yang sedang berusaha menghibur diri sendiri dengan sesuatu yang kamu sebut harga diri...."

"Di? Udah nangisnya?" tanya Ahimsa, menyadarkan Claudia dari lamunannya. Rupanya, sejak tadi Ahimsa terdiam mendengarkan tangisan Claudia dengan sabar. Tanpa bertanya atau pun menginterupsi.

"Sori, sori." Claudia menyeka air matanya dengan ujung selimut. "Him, besok temenin gue ke toko buku, yuk!"

"Hm... besok, ya?" Ahimsa terdiam selama beberapa saat.

"Kalau lo nggak bisa, nggak apa-apa."

"Bisa, kok. Bisa!" sela Ahimsa. "Besok gue luang."

"Oke deh, kalau gitu. Sampai ketemu besok, ya." Claudia mendesah. Setelah menangis, dadanya terasa sedikit lebih lega.

"See you."

"Him," tahan Claudia saat Ahimsa hendak mengakhiri panggilan telepon mereka. "I miss you."

"I miss you more," jawab Ahimsa tanpa keraguan.

Dan kini, dadanya benar-benar terasa lega.

Broken BadlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang