#92

4.8K 894 607
                                    

| RavAges, #92 | 3211 words |

JAUH SEBELUM masa Fervent, sebelum kedatangan NC, bahkan sebelum aku lahir, beberapa orang sudah mengotori tangannya dengan darah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JAUH SEBELUM masa Fervent, sebelum kedatangan NC, bahkan sebelum aku lahir, beberapa orang sudah mengotori tangannya dengan darah. Manusia sudah mengenal perang bersamaan dengan terbentuknya peradaban, beberapa tempat begitu akrab dengan harumnya asap mesiu seperti menghirup udara pagi, segelintir orang kehilangan sesuatu yang memaksa mereka merebut milik orang lain, dan ada tangan-tangan yang lebih memilih mengangkat senjata meski dia menggenggam bunga di tangan lain. Manusia tidak perlu kekuatan super untuk saling bantai.

"Bahkan di saat batas kemampuan kita sudah ditetapkan, manusia masih mampu melewati batas itu untuk mencapai sesuatu." Nenek berucap sambil menepuk-nepuk lututku. Aku, yang duduk nyaman di pangkuannya, hanya mendongak mengagumi dagu keriputnya tanpa paham beliau bicara apa. "Kau paham, Leila? Setiap orang digerakkan motivasi tertentu. Suatu hari, kau pun akan mengalaminya. Mari kita berharap, motivasi itu takkan membawamu ke jalan yang sama seperti yang ditempuh olehku atau ayahmu."

"Aku tidak masalah kalau jadi Nenek," ceplosku. Aku menuding kaca jendela, di mana kami bisa melihat Ayah sedang bicara dengan Sir Ted. "Aku juga tidak masalah jadi ayah, asalkan aku tidak berjanggut seperti itu."

"Ayahmu tidak bisa mencukur tanpa memotong jarinya sendiri kalau tidak ada ibumu."

Aku mengangguk setuju.

Nenek melanjutkan ceritanya—sesuatu tentang seorang anak yang dibutakan oleh motivasinya, hingga anak itu membuang semua yang disayanginya demi mewujudkan tujuannya. Meski tak paham bagaimana bisa motivasi bikin mata orang buta, aku angguk-angguk saja.

Dari pangkuan Nenek, aku meraihkan satu tangan ke meja di sampingnya, mencoba menjangkau sepiring biskuit cokelat dan segelas air putih di atasnya.

Saat itulah tirai-tirai bergeser menutup sendiri, menghalangi akses cahaya senja dari kaca jendela. Suhu ruangan turun drastis bersamaan dengan kegelapan yang menyapu. Air putih di gelas mengeras, membentuk bunga es di kaca gelasnya, lalu membatu. Biskuit cokelat meloncat keluar dari piring, menimpuk mukaku dan berhamburan ke lantai seperti kerasukan kodok gila. Barang-barang dari laci Nenek—perhiasan mahalnya, manik-manik murahan koleksinya, pena-pena, bola kaca pajangan berisi malaikat mini, gantungan kunci, sampai batu baterai—berlompatan keluar seperti berondong jagung masak.

Aku menjerit dan mencengkram sweter Nenek erat-erat. Nenek sendiri menaikkan selimut di pangkuannya untuk menyelubungiku.

Kertas dinding bermotif bunga-bunga ungu tampak luntur seperti kertas biasa yang tersiram air. Dari pojok ruangan, seolah dibentuk dari warna lumer kertas dinding, muncul sesosok pria tinggi besar—lebih tinggi dari Ayah, padahal kukira Ayah sudah sangat tinggi. Pria itu punya mata biru yang menyala dalam gelap, rambutnya pirang, rahangnya tegas, dan dia mengenakan setelan serba hitam.

"Lihat dirimu," desis pria itu kepada Nenek. "Tua dan menyedihkan."

Nenek tidak menyahut, tidak pula mengangkat kepala. Matanya yang letih hanya mengamatiku, yang balas menatapnya ketakutan. Nenek bersikap seakan dia tidak melihat siapa-siapa di pojok ruangannya, tetapi mustahil dia tidak melihatku yang amat ketakutan di pangkuannya.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang