#79

8.7K 1.3K 1.2K
                                    

| RavAges, #79 | 4843 words |

AKU MELIHAT ledakan dan merasakan getaran di bawah kaki, lalu menyaksikan ayahku mati sekali lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AKU MELIHAT ledakan dan merasakan getaran di bawah kaki, lalu menyaksikan ayahku mati sekali lagi. Pandangan mataku dibutakan asap. Kudengar seseorang tertembak, lalu wajah Bintara membayang dalam kegelapan. Dia berderap ke arahku. Di belakangnya, Raios mengangkat senjata dan membidik.

"Lei—" Ibu memanggilku dengan darah menutupi wajahnya. "Leila!"

Aku membuka mata dan mendapati ibu yang mengguncang bahuku. Wajahnya tampak cemas. "Mimpi buruk?" tanyanya, yang kubalas anggukan lemah.

Aku tetap berbaring selama beberapa saat sampai jantungku berhenti menggedor rongga dada. Meski berada di kamar ibu dan hanya ada kami berdua di sana, rasanya aku melihat bayang-bayang menjulang di sudut mataku dan mendengar suara jeritan yang barangkali hanya ada dalam kepalaku sendiri.

Kubiarkan ibu merapikan rambutku saat aku duduk. "Sementara aku tidur," kataku sambil menggigiti kuku ibu jari tanganku, "apakah ada kabar—"

"Masih dirawat," beri tahu ibu yang langsung menyadari kalau aku tengah membicarakan seorang gadis yang kutemukan terkurung dalam ruangan bekas kamar mayat dua malam lalu. "Tampaknya masih belum bisa bicara."

"Dan pria itu?" desakku. "Om Teluk—Sabang. Atau siapalah dia."

"Dalam masalah besar. Tidak pernah Ibu melihat Ed semarah itu."

Setelah aku menemukan Meredith dua malam lalu, segalanya terasa samar. Aku terlalu marah saat itu. Yang kuingat, aku langsung menggendong Meredith di punggung dan berlari mencari Sir Ted malam itu juga. Aku membuat kehebohan sampai tempat persembunyian kami yang seharusnya sepi jadi ramai. Para Fervent, tim medis, pilot, dan semua pekerja yang Sir Ted bawa pun keluar dari sarangnya: pabrik tua, gudang, sampai silo dan basement yang tak kuketahui ada sebelumnya.

Aku turun dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Kurasakan tatapan ibu membuntutiku. Sampai aku keluar, ibu masih tak mengalihkan pandangannya. Dia bertanya entah untuk yang keberapa kali, "Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa." Aku menjawab tanpa mengangkat wajah. Tiap kali melihat matanya, ulu hatiku ditumbuk kenyataan pahit bahwa aku masih menyembunyikan kematian ayah darinya. "Ibu sudah makan?"

Ibu tampak bersemangat lagi. Tangannya menyasar nampan di atas nakas.

"Ibu saja yang habiskan," kataku cepat sembari mengamati nampan dan panganan yang masih bersisa banyak di atasnya. "Aku ... mau keluar sebentar."

Aku berpura-pura tak melihat kekecewaan di wajahnya. Sebelum ibu sempat berucap lagi, aku lari keluar; kabur darinya.

Di luar penginapan tua itu, jalan aspal retak-retak hampir sesunyi Garis Merah. Hutan yang mengepung hanya menampakkan kegelapan. Cerobong pabrik-pabrik tua tampak aktif, menyembulkan asap sesekali ke langit hitam tak bercela.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang