#65

10K 1.5K 607
                                    

| RavAges, #65 | 4248 words |

TELINGAKU MENDENGING dan gigiku seperti akan lepas satu per satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TELINGAKU MENDENGING dan gigiku seperti akan lepas satu per satu. Meski arena ini luasnya bukan main, dan ledakan flamethrower itu terpaut puluhan meter jauhnya, tetap saja kami merasakan dampak ledakannya. Alatas dan aku terlempar cukup jauh. Api berkobar di sekeliling kami, menjadikan arena serupa wajan panggangan raksasa. Aku pasti sudah melepuh jika bukan karena pakaian ini.

Kupingku kebas dan penglihatanku buram. Aku mesti mengerjapkan mata untuk beberapa lama sampai menyadari bahwa kini aku menelungkup di ujung arena. Dalam keadaan tuli dan nyaris berpenglihatan hitam sempurna, aku beranjak bangun dan melihat tubuh Alatas di tengah-tengah arena. Aku mesti merangkak susah payah untuk mendekati dan melihat keadaan pemuda itu.

Dia tak bergerak. Darah mengalir dari hidung dan sudut mulutnya. Satu sisi lehernya melepuh hingga bawah dagu karena tudung jaketnya koyak. Robekan jaketnya tergenang dalam logam cair tak jauh dari tempatnya menggeletak. Matanya terpejam rapat, dan aku tahu Alatas tidak pernah pandai berpura-pura tidur. Entah separah apa luka yang didapatnya di balik jaket itu, aku tak tahu.

Iris, si pengawas arena, menyeruak di antara aku dan Alatas. Dia berjongkok, memeriksa keadaan pemuda itu. Sementara saudaranya, Amos, masih setengah jalan menuju ke arah kami. Langkah pria itu diseret terseok-seok seolah sepatunya terbuat dari ....

Biji besi seratus kilo ...?

Iris menghabiskan hampir semenit penuh sampai fungsi pendengaran dan penglihatanku kembali. Saat perempuan itu akhirnya berdiri, jantungku seolah tersesat ke suatu tempat di antara ginjalku. Gadis itu berbalik, wajahnya masam, dan rengutannya gagal dia sembunyikan saat matanya bertemu dengan mataku.

Lalu, dia melakukan gestur itu—menarik garis melintang pada lehernya dengan ibu jari, dan menunjukku sebagai pemenang. Bahwa Alatas sudah mati.

Dalam keadaan mati rasa, aku diseret menjauhi Alatas. Amos yang telah lepas dari kendali Brainware pun tidak kesulitan menggiringku ke tempat Erion diarahkan sebelum ini, sementara Alatas digotong menuruni arena, menuju tempat Truck sebelumnya dibawa.

Pikiranku kosong. Penglihatanku seperti terbelah dua, antara dunia dan kehampaan. Indra peraba dan penciumanku pun seakan kehilangan fungsi. Butuh waktu bagiku, sampai Amos mencoba mengalungkan jalinan bunga kertas warna merah ke leherku, dan tanganku melimbainya. Kakiku bergerak, membawaku keluar dari naungan kanopi di bawah tribun, mengelilingi arena, dan masuk ke lorong yang sebelumnya kulalui bersama Alatas untuk melihat Truck. Erion menungguku di sana, dan jejak air mata membasahi pipinya.

Kami ditahan di depan pintu, jadi aku meledakkan langit-langit. Aku mengancam akan merubuhkan tribun di atasku, mengubur kami semua, hingga Embre datang dan menyuruh mereka mengizinkanku masuk.

Pintu mengayun terbuka, dan aku langsung disambut oleh Truck. Pria itu menurunkan tudung jaketnya agar tak dikenali oleh Calor lain yang mengira dia sudah mati. Wajah di balik tudung itu pucat pasi. Matanya merah seolah-olah dia sedang menahan kantuk ... atau tangis.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang