[Completed Chapter]
Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta alasan ayahnya yang terus mendesak mereka untuk terus bergerak sebagai keluarga nomaden.
---***---
Leila, 17 tahun, ter...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEGELAPAN LAGI. Kaki kembali terjepit, dan semuanya terulang.
Ini persis dengan ambruknya ruko yang menguburku, hanya saja saat itu aku sendirian. Kali ini, sepasang tangan merengkuh kepalaku, dan kedua tanganku menahan bobot dadanya di atasku. Aku gemetar ketakutan di bawah Alatas. Ada bongkahan logam di atas kepala pemuda itu, berkeriut turun, siap menggencetnya sampai mati. Aku mencoba berkonsentrasi, berniat meledakkan logam itu seperti yang kulakukan sebelum ini, tetapi tidak berhasil. Tidak ada yang terjadi.
Sisa pasak dan serpih tembok di sekeliling kami. Kalau kuledakkan ini semua, apakah kami akan mati terpanggang? Apa aku dan Alatas akan ikut meledak?
Ajal merosot turun di atas ubun-ubun pemuda itu. Jeritanku akhirnya pecah juga bersama isakan. Beratnya logam itu pasti seribu kilo, dan kami berdua tinggal nama di bawahnya jika ia memutuskan untuk turun seinci lagi.
"Sst ...." Kudengar Alatas bersuara. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena wajahku tersimpan rapat-rapat di dadanya. "Kau mengacaukan konsentrasiku."
Logam berbunyi lagi, tetapi kali ini ia bergerak naik. Aku mendongak untuk melihatnya lebih jelas, daguku menggesek dada Alatas. Saat itulah logam yang hampir tersingkir malah kembali berkeriut turun, membuatku menjerit lebih keras.
"Sudah kubilang," desis Alatas jengah, "kau mengacaukan konsentrasiku. Sekarang, tolong diam dan jangan bergerak barang sesenti pun, oke?"
Logam terangkat lagi, membuka ruang di atas kami. Begitu bongkah logam tersebut jatuh ke samping, Alatas bangkit dari atasku dan menghirup udara bebas. Aku ikut bangkit dan mengamati besi bengkok itu dengan ngeri. "Kok bisa—?"
"Aku Steeler," kata Alatas, seolah menjawab pertanyaanku. "Aku mengendalikan logam ... yah, walau sejauh ini aku baru bisa menggerakkannya sedikit demi sedikit. Aku belum pandai melelehkannya."
"Kau sedang bercanda?"
"Kau," kata Alatas dengan kening berkerut, "tidak tahu cara menggunakan Fervor-mu sendiri, ya?"
Aku tidak mengerti istilah yang dipakainya, jadi aku menggeleng saja. Alatas kemudian memanjat naik dari ceruk reruntuhan. Tangannya pun terulur kepadaku.
"Apa?" kataku dengan suara serak. "Mau menguburku lagi?"
Alatas berdecak, tetapi dia tidak menarik tangannya. "Dasar cewek pendendam. Mau naik atau tidak?"
Ragu-ragu, aku menyambut tangannya. Tangannya kasar, kotor oleh tanah, lecet, dan bekas luka mengular di mana-mana.
Kusisir rambutku yang kusut dengan jari, lalu berhenti setelah merasa rambutku sudah tidak punya harapan hidup lagi.
"Bisa jalan?" tanyanya, yang kubalas dengan anggukan. Alatas mengedikkan kepala agar aku mengikutinya, tetapi yang kulakukan hanya diam berdiri.