[Completed Chapter]
Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta alasan ayahnya yang terus mendesak mereka untuk terus bergerak sebagai keluarga nomaden.
---***---
Leila, 17 tahun, ter...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"APA YANG terjadi semalam?"
Alatas menyemburkan air mineral dari mulutnya, dan aku nyaris membunuh diriku sendiri dengan menelan seiris daging bulat-bulat. Sarapan malam kami hampir berubah menjadi ajang muntah besar gara-gara pertanyaan Truck.
"Ap-apanya?" gagap Alatas panik.
"Aku semalam terbangun dan mendengar suara gaduh dari kamar sebelah," ungkap Truck. Matanya melirikku saat melanjutkan, "Saat kulihat, kau sedang melamun di ambang jendela,"—lalu dia menatap Alatas, "dan kau tidak ada."
"Oh, itu," kata Alatas, tampak lega.
"Memang ada apa lagi—"
"Kamar sebelah dihuni para Phantom yang mengganggu kita semalam," jawab Alatas cepat-cepat. "Mereka sepertinya bertengkar sesamanya sampai kena tegur oleh pemilik penginapan."
"Kau keluar semalam?"
"Ya ...." Alatas mencari-cari alasan. "Cari udara segar ...."
Mata Truck memicing. Tangannya melambai ke sepenjuru ruang kamar. "Ada banyak udara di sini."
Begitu kami selesai, kubereskan peralatan makan kembali ke troli dan mendorongnya ke luar. Di depan pintu, Alatas mencegatku. "Sini, kubantu—"
"Aku bisa sendiri," tolakku cepat, tetapi Alatas menahan roda troli dengan kakinya. Mati-matian aku mendorong sambil menghindari tatapan matanya.
"Bagaimana kau membawa ini menuruni tangga sendirian?"
Masih memelototi troli, aku menukas, "Truck bilang ada elevator—"
"Rusak," beri tahu Truck yang tengah menyandar kekenyangan ke kaki kasur. "Erion yang melevitasi troli itu lewat tangga semalam. Dan petugas yang mengantar makanan ini barusan juga seorang Steeler."
Mau tak mau, kubiarkan Alatas mengambil alih troli itu. Kolong bagian bawah troli sudah penuh dengan sampah makanan, jadi mau tak mau juga aku mesti mengekorinya untuk membawakan tumpukan piring dan sendok karena benda-benda itu mustahil diletakkan di atas troli tanpa berjatuhan dan pecah jika Alatas harus melevitasi trolinya menuruni tangga.
Alatas tampaknya sadar aku menjaga jarak karena dia terus melirik ke arahku, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia mencoba memperlambat langkahnya agar kami sejajar, tetapi aku ahlinya melangkah lamban. Aku bisa melakukan ini seharian, tetapi Alatas tahu-tahu berputar dan membawa troli itu ke belakangku.
Sambil menyunggingkan cengiran, dan satu tangan di pegangan troli, dia menepuk-nepuk bagian atas troli yang kosong. "Mau duduk di sini?"
Aku menggeleng, sebisa mungkin tidak mengangkat wajah terlalu tinggi.
Alatas membungkuk hingga wajahnya sejajar denganku, dadanya bersandar pada pegangan troli. Dia membuat jantungku seperti melompat ke hidung dengan bertanya, "Kau marah tentang yang semalam?"