#61

8.7K 1.3K 453
                                    

| RavAges, #61 | 3855 words |

AKU TAK mengerti kenapa para Calor begitu tunduk pada Pyro

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AKU TAK mengerti kenapa para Calor begitu tunduk pada Pyro.

Dia tak lebih tua dari Embre, tidak sebesar Truck, dan lebih pendek dari Alatas. Dia tidak menyemburkan api seperti jet dari kakinya, atau membuat kami terbakar seketika dengan jentikan jari. Yang menarik perhatianku hanyalah matanya yang menyala oranye, dan logam putih yang melingkari lehernya seperti choker.

Jujur saja, membayangkannya memakai choker, meski kalung itu terbuat dari belenggu logam sekali pun, justru membuatnya tampak menggelikan di mataku.

Aku dan Alatas sempat merancang-rancang cara kabur, tetapi Pascal menukas bahwa Phantom Erion terlalu besar untuk disembunyikan dari Detektor.

"Dan lagi, kepala Embre jadi taruhannya kalau kalian kabur karena dia yang membawa kalian kemari." Pascal kemudian menepuk-nepuk bahu Alatas seperti gestur bersahabat. "Cowok ini, 'kan, bisa mengalah. Dia harusnya membiarkanmu membunuhnya. Begitu kau dan satu temanmu yang hidup diserahkan ke Bintara, aku dan Embre akan cari cara untuk membebaskanmu dari komandan iblis itu."

Kuperhatikan Alatas yang tampaknya tak mendengarkan. Dia terus menoleh ke sudut lain arena di mana Truck dan Erion telah dipisahkan dari kami. Embre bersama mereka. Ketiganya membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar. Aku bahkan tak bisa masuk ke kepala Erion untuk menyimak seolah anak itu menolakku.

"Hei!" Pascal mencengkram bagian depan jaket Alatas. "Kau bakal mengalah ke Leila, 'kan?"

"Ya, ya, tentu," balas Alatas seolah hal ini hanya pembicaraan sambil lalu. "Tapi, bagaimana dengan Erion dan Truck?"

"Mungkin mereka sedang merundingkan siapa yang mesti mengalah," kata Pascal, yang seketika membuat wajah Alatas jadi pucat. Matanya menatap goyah ke seberang arena. Aku bisa merasakannya seperti sedang tercabik jadi dua—antara Erion dan Truck, dan dia sama sekali tidak bisa memilih.

Dia bahkan tak memikirkan nasibnya sendiri.

Alatas bergerak maju seperti hendak menyeberangi arena untuk mencapai Truck dan Erion, tetapi segera didorong mundur. Kami dipaksa duduk paling depan, diapit oleh para Calor yang barangkali ditugasi menjaga kami.

Alatas bertingkah seperti orang kebelet hendak ke toilet. Kakinya terus bergerak gelisah, dan berulang kali dia mencoba berdiri sebelum didorong untuk duduk kembali oleh pria besar di sisinya.

"Jadi ...." Pascal duduk di sampingku dan mengamati Alatas. "Dia ini Alatas?"

Aku menautkan alisku. "Ya. Kenapa?"

"Pacarmu yang kauceritakan waktu itu?"

Wajahku langsung terasa kebas, padahal para Calor di bangku penonton sedang dalam mode padam, dan baju ini lebih dari cukup untuk melindungiku dari suhu yang panas. Alatas sendiri langsung menoleh dengan raut wajah kebingungan.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang