#2

31.8K 4.1K 404
                                    

| RavAges, #2 | 595 words |

MALAM ITU, ayahku sudah memperingatkan berkali-kali: jangan melangkah keluar rumah, apalagi pergi ke Garis Merah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MALAM ITU, ayahku sudah memperingatkan berkali-kali: jangan melangkah keluar rumah, apalagi pergi ke Garis Merah. Seharusnya aku menurut.

Dulu tidak seperti ini—hidupku jauh lebih aman. Sampai kemudian kami mesti pindah dari kota, mundur sedikit demi sedikit ke wilayah pelosok sejak aku berumur 13 tahun. Lebih tepatnya, sejak Kesatuan NC berbondong-bondong datang dari jalur perairan dan memburu orang-orang. Wilayah demi wilayah disekat—Kompleks-Kompleks didirikan sebagai pemukiman, dan Garis Merah ditutup sebagai tempat terlarang untuk didatangi kecuali oleh personel Kesatuan NC.

Aku bahkan tidak pernah tahu siapa mereka—orang-orang NC menutup diri setiap saat. Seragam mereka yang serba hitam tidak memiliki lambang apa pun. Identitas 'NC' semata tersemat pada bendera atau panji-panji dari kapal mereka yang berlabuh, tulisan pada badan pesawat tempurnya, dan lencana yang sesekali mereka pamerkan ketika merazia rumah-rumah tertentu.

Saat kami pindah untuk pertama kalinya, aku masih seorang anak perempuan yang terlalu dimanjakan. Aku merajuk dan menangis semalaman karena ayah memaksaku berhenti sekolah. Ayah bilang, anak lainnya juga sama—tidak akan ada yang lulus SMP atau masuk SMA. Maka, pendidikan hanya kudapat dari ibu sejak kami terus berpindah.

Awalnya, kami pergi bersama keluarga jauh, beberapa tetangga, dan kerabat. Selama beberapa bulan di Kompleks 3, aku harus berbagi kamar dengan para sepupu. Aku tidak begitu merasakannya di awal, tetapi perlahan-lahan kami semua berpencar dan tak pernah bertemu lagi. Akhirnya hanya ada aku, ayah, dan ibu.

Sudah 44 kali kami berpindah rumah. Ayah memastikan bahwa Kompleks 45 akan menjadi yang terakhir buat kami. Takkan ada pindah-pindah lagi. Kupikir, itu artinya kami akan aman—tidak akan ada lagi serangan udara di tengah malam, atau razia dari rumah ke rumah yang memaksaku merelakan beberapa barang pribadiku dibakar di tengah jalan, atau ancaman penjemputan oleh NC.

Aku salah.

Ayah memastikan ini yang terakhir karena tidak ada lagi tempat. Kompleks 45 adalah pelosoknya dari pelosok. Harusnya aku tahu—orang-orang cenderung pergi ke ujung peradaban karena NC hanya meninggalkan sedikit petugas di sana, dan lebih memfokuskan serangan ke dalam kota. Sebagian besar Kompleks yang berada di pelosok memiliki teritori teramat kecil dan kelebihan penduduk, dikepung luasnya Garis Merah yang berupa hutan lebat tanpa penghuni.

Kompleks 45 sendiri terletak di pesisir. Aku bisa melihat garis pantai dari jendela kamar baruku. Namun, pantai itu tidak lagi indah seperti dulu. Tidak ada langit biru dengan awan putih yang terurai. Tidak ada bunyi ombak. Tidak ada rona biru-cokelat perairan. Hanya ada asap di mana-mana. Kerangka manusia memenuhi pesisir, sebagiannya sudah terkubur pasir bersama bangkai pesawat dan kapal—beberapanya berbendera NC. Pohon-pohon kelapa menghitam. Semak berduri dan tumbuhan sulur tumbuh dengan pesat sehingga garis hutan maju beberapa meter.

Meski tiga bulan yang lalu aku sudah menginjak usia 17, aku tetap merengek ingin pulang seperti anak 7 tahun. Aku benci Kompleks 45.

"Ini rumah," kata ayah tegas, sama sekali tidak luluh oleh air mataku.

Ibu diam di dapur, tidak masuk ke pertengkaran kami.

Ayah kemudian berkata lagi tentang perubahan sikapku sejak aku bergaul dengan orang-orang di Kompleks 44, dan perkataannya membuatku makin marah. Sudah cukup buruk aku terpaksa memutuskan hubungan dengan pacar pertamaku (sekarang mantanku) di sana, dan sekarang ayah malah menjelek-jelekkannya, juga teman-temanku di Kompleks 44.

Aku pun balas membentaknya, kemudian berlari ke kamarku dengan dirinya berusaha mengejarku. Kubanting pintu tepat di depan wajahnya.

"Jangan berani-berani keluar!" bentak ayah seraya menggedor pintu yang kukunci. "Kau dengar? JANGAN KELUAR SELANGKAH PUN!"

Tentu aku tidak keluar dari rumah karena saat itu masih malam. Dan, aku juga merasa ngeri membayangkan diriku berjalan di antara tulang-tulang manusia dan bangkai hewan yang dipatuki burung-burung, diulati, dan berbau busuk.

"Sayang," panggil ibu saat lewat tengah malam. "Kau sudah tidur?"

"Sudah," jawabku.

Ibu mendengus dari balik pintu, antara tertawa dan gusar. "Jangan diambil hati, ya, tentang kata-kata ayahmu. Dia hanya ingin menjaga kita semua."

"Hm," aku menyetujui, meski di dalam hati tidak.

"Jangan terlalu larut," ibu mengingatkan. "Selamat malam."

Tidak lama setelah ibu pergi, aku mengemasi barang-barangku—ponsel, jaket, sebotol air, dan tiga bungkus makanan ringan. Aku tidak berniat kabur atau apa. Aku hanya ingin keluar sebentar. Jika ayah atau ibu menyadari kamarku kosong sebelum aku kembali, itu bagus. Ada secercah rasa tega di hatiku untuk membiarkan mereka cemas setelah pertengkaran kami. Toh, aku akan kembali sebelum tengah hari.

Atau begitulah pikirku.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang