#8

12.9K 2.3K 78
                                    

| RavAges, #8 | 420 words |

AKU TIDAK yakin lagi apa itu rumah sejak berpindah dari kompleks ke kompleks

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AKU TIDAK yakin lagi apa itu rumah sejak berpindah dari kompleks ke kompleks. Namun, jika ditanya tempat yang membuatku betah, akan kujawab: Kompleks 44.

Waktu terlama keluargaku menetap adalah di Kompleks 44—satu tahun penuh. Mungkin, itulah yang membuatku merasa lebih akrab dengan lingkungannya. Lagi pula, Ryan dan teman-temannya begitu aktif menarikku keluar dari sangkar.

Aku ingat saat kali pertama kami bertemu. Dengan kaki gemetar, aku mengekori ketujuh remaja itu—Ryan, Blec, Hyena, Irene, Pat, Rustle, dan Honoka.

Tentu saja beberapa nama mereka bukan nama sebenarnya. Sebagian besar orang tidak lagi memiliki identitas tetap sejak Kesatuan NC datang. Tidak ada lagi sekolah, perkantoran, sampai kepengurusan daerah. Banyak yang mesti membakar akta kelahiran dan ijazah sekolah demi menghindari perekrutan NC. Sedangkan para remaja selalu ingin memilih nama mereka sendiri, kadang membubuhinya dengan julukan-julukan aneh. Aku bahkan mengenal seorang anak gemuk pendek bernama John Doe di Kompleks 28. Kurasa, dia hanya tidak tahu arti nama itu.

Jadi, kembali ke uji nyali di Garis Merah, saat Irene dan Pat berciuman di depan wajahku. Aku membuang muka dengan risih dan mundur perlahan, mencoba kembali ke Kompleks 44, tetapi Ryan menyadarinya. Dia mencengkram tanganku. Dengan tampang sangarnya, Ryan mengancam, kalau aku kabur, dia akan mengadu kepada ayahku bahwa aku melanggar jam malam dan batas Garis Merah.

Aku langsung menetapkannya sebagai musuhku.

Namun, begitu uji nyali dimulai, dan aku mesti berpasangan dengannya, kudapati Ryan lebih hangat dan lebih lembut dari yang diperlihatkannya di depan teman-temannya. Satu tangannya membawa lilin, satu tangannya yang lain masuk ke saku jaket. Awalnya dia tampak menjaga jarak, tetapi begitu kami mulai mengobrol, Ryan mengarungi jarak di antara kami sedikit demi sedikit.

Aku tidak terbiasa mengobrol akrab dengan seseorang, terutama sejak menjadi keluarga nomaden, tetapi Ryan terus memancingku untuk bersuara. Dia bertanya tempat asalku, sekolah lamaku, sampai hal-hal remeh seperti warna yang kusukai. Dia bahkan menungguku menyelesaikan kata-kata. Sepasang mata tajamnya mengamatiku, menekankan betapa dia sungguh menyimak. Kebanyakan orang senang menyela perkataanku kalau aku lambat menyelesaikan jawaban. Dengan Ryan, dia bahkan mendengar gumaman dan bisikan lirihku yang paling pelan.

Uji nyali itu tidak berakhir dengan baik, karena aku nyaris mematahkan kakiku sendiri dengan terperosok jatuh di tangga yang separuh lebur, tetapi epilognya cukup berkesan. Ryan mengantarku pulang, menggendongku dari motornya sampai rumahku. Dia mengambing-hitamkan dirinya sendiri saat Ayah akan meledak dalam pusaran kemarahan karena melihat kakiku yang cedera. Ryan berbohong bahwa dia mengajakku berkendara dengan motor gedenya hingga kami berdua jatuh ke selokan, menjelaskan bekas lumpur di celana kami berdua.

Malam-malam berikutnya, aku mengikuti Ryan ke mana pun dia membawaku pergi.

Malam-malam berikutnya, aku mengikuti Ryan ke mana pun dia membawaku pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang