#4

21.8K 2.8K 307
                                    

| RavAges, #4 | 1180 words |

MELIHAT BANGUNAN ruko yang miring dan separuh terbakar itu mengingatkanku pada suatu malam saat uji nyali di area Garis Merah dengan Ryan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MELIHAT BANGUNAN ruko yang miring dan separuh terbakar itu mengingatkanku pada suatu malam saat uji nyali di area Garis Merah dengan Ryan. Jauh sekali jarak kami sekarang. Aku di Kompleks 45, dia masih di Kompleks 44.

Beberapa jam sebelum menemukan ruko itu, aku dihadang Aaron—lelaki seumuranku yang mendiami vila bersama Kompleks 45. Yang lain memanggilnya Anak Jaring. Aaron sudah melarangku ke Garis Merah, tetapi aku mengabaikannya.

Cowok kerempeng itu sempat mengejarku, jala masih terkait di bahunya seolah dia mau menjaringku seperti ikan tangkapan. Dia meneriakiku, barangkali berharap warga berdatangan. Namun, tak seorang pun di Kompleks 45 menampakkan dirinya pukul 3 pagi. Bahkan jikalau teriakan Aaron adalah lolongan minta tolong, kupastikan tiada orang yang keluar menolongnya. Perangai acuh-tak-acuh macam itu biasa kutemui sejak berpindah-pindah. Aku sendiri heran kenapa Aaron berada di pesisir, sedangkan ikan-ikan layak konsumsi sudah tidak ada di sekitar pantai.

"Akan kuadukan kau ke ayahmu!" teriak Aaron dengan langkah yang melambat. Napasnya pendek-pendek. "Kuadukan kau!"

"Adukan saja, Anak Jaring!" balasku berteriak, terus berjalan menjauhinya.

"Jangan ke Garis Merah!" Aaron berteriak lagi, terdengar lebih putus asa.

"Oh, aku akan pergi ke sana!" teriakku seraya tertawa.

"Kau akan ditangkap mereka!" Suara Aaron bergetar. "Kau akan dibunuh oleh mereka! Mereka monster—monster Garis Merah!"

Aku hampir berbalik, tetapi kutahan diriku dan berjalan terus. Cowok cengeng itu bukan urusanku. Dia hanya Anak Jaring, culun dan pengecut. Dan, perihal monster di Garis Merah, aku sudah kenyang menelan semua bualan itu.

Beberapa kompleks yang kudiami belakangan mengalami krisis listrik, tetapi tidak ada lingkungan segelap Kompleks 45. Kugunakan senter dari ponselku, dan aku masih kesulitan melihat ke depan. Saat langit mulai terang, garis pantai tidak lagi terlihat dan aku sampai di perbatasan Garis Merah. Aku tersenyum puas meski berkeringat dan tersengal karena berjalan sejauh itu seorang diri.

Hutan menjulang ganjil dengan tinggi pohon yang timpang dan tumbuhan merambat yang melilit-lilit. Seperti namanya, dibatasi oleh pagar kawat, Garis Merah dipenuhi cat semprot merah yang menyala mengerikan dalam gelap hutan pada dedaunan yang mati, bersinar-sinar seperti peringatan untuk tidak masuk.

Tentu saja aku masuk.

Ryan pernah mengajariku untuk menyusuri pagar batas Garis Merah karena selalu ada lubang tiap beberapa ratus meter. Ryan berjanji kalau listrik di pagar itu tidak akan membunuh siapa pun karena hanya dialiri listrik DC. Malah, beberapa waktu pagar itu tidak dialiri listrik sama sekali. Saat aku menemukannya, ukuran lubang itu cukup untuk kulewati. Aku hanya perlu merangkak melaluinya dan memastikan rambut atau ranselku tidak mengenai kawatnya.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang